Kategori : Cerpen | Fiksi
Di kala hubunganku kian menjulang memuncak di ujung tanduk,
seorang wanita muda datang ke rumah, dan mengaku sangat mencintai belahan
jiwaku ...!
Haruskah aku merelakan dia memiliki suamiku?
Sungguh ini mukul bantinku, sepanjang hayat aku tidak pernah
membayangkan hal ini akan menimpa diriku. Seorang perempuan muda datang
kepadaku dan dengan bahasa lugas, mengatakan bahwa ia mencintai suamiku!
Cinta? Gila, segampang dan
semudah itukah perempuan itu berucap kata dasar itu kepadaku. Seperti tak ada
perasaan bersalah. Seperti aku bukan seorang wanita seperti dirinya, dan
sepertinya ia adalah perempuan yang belum sembuh benar dari sakit gilanya!
Ya, mulanya memang aku mengira bahwa perempuan itu tak
waras, atau punya kelainan di jiwa. Dan entah mengapa ia terperangkap pada
obsesi akut tentang suami orang.
Aku tak habis pikir. Bagaimana ia
bisa sebuta itu? Tidak melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya itu
sudah punya anak dan istri.
Ingin rasanya aku memaki
habis-habisan, lalu menamparnya berkali. Karena kupikir dia memang sengaja
datang untuk memporakporandakan keutuhan rumah tanggaku. Apapun motifnya.
Tapi anehnya ...! Aku tidak punya
kekuatan untuk melakukan hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa
justru rasa iba yang hadir dalam hati ini. Mendengar pengakuannya yang jujur
dan polos, tidak takut kepada diriku. Pemilik sah Bang Nurdin, suamiku
sekaligus pria yang kini ia sembagi dengan bahasa cinta itu. Ayah dari seorang
anak yang terlahir dari rahimku, tujuh tahun lalu.
Dan sampai kapanpun, aku tidak akan bisa melupakan ucapannya
di siang itu!
"Maafkan saya,
Mba. Saya memang mencintai suami Mba. Suami Mba memang perhatian, penuh
pengertian dan lembut. Saya mencintainya! Karena dia memiliki sebagian besar
sifat bapak saya yang telah meninggal, sewaktu saya masih kecil. Tapi, Mba
jangan khawatir, saya akan tetap menjaga nama baik Bang Nurdin, suami Mba. Dan
saya tidak akan pernah merebutnya dari Mba, meskipun saya mencintainya
..."
"Tapi, untuk apa
kamu katakan itu padaku? Apa kamu tidak malu?," tanyaku kasar, dengan
perasaan heran dan geram.
"Justru saya malu kalau saya membohongi Mba. Diam-diam mencuri
Bapak dari peraduan cinta biduk rumah tangga Mba. Saya bukan seorang maling,
Mba. Saya masih punya harga diri. Tapi saya ingin jujur, karena merasa tulus
mencintai dan menyayanginya! Saya ... saya, merasa nyaman, tenteram dan bahagia
bila sedang berdekatan dengan Bapak."
Sedetik setelah menatap mulutnya yang kemudian bungkam,
dengan wajahnya yang menunduk dan pasrah. Aku ingin sekali mengunyahnya dengan
sepasang rahangku yang mulai bergemeretak menahan murka.
"Dasar sundal
betina!" Batinku.
"Tapi ... tunggu
dulu! Apakah tak lebih bijak jika kemudian aku membaca rumah tanggaku sendiri
dengan Bang Nurdin? Sebelum aku mendepak hingga terjengkang si jalang ini dari
sofa ruang tamu, menyumpal mulutnya yang sudah kelewat berani dan kurang ajar
itu! Memperlakukan dia dengan serendah-rendahnya, lantas akan kubuat hina dina
di hadapanku?"
"Tunggu dulu.
Tentunya, perempuan ini bukanlah wanita sembarangan! Seperti halnya suamiku,
yang begitu pemilih jika ingin meletakkan perhatiannya kepada seseorang. Tidak
pada sembarang perempuan. Aku tahu watak suamiku."
Suara dari dalam tempurung kepala ini saling berdesakan, dan
minta secepatnya terjelma menjadi beruntunnya kata-kata.
Ya, intuisiku jelas mengatakan
jika perempuan ini berani datang sendirian! Artinya ia telah siap! Dan tidak
sekedar memperdengarkan berpotong-potong bualan perihal suamiku. Bagusnya, ia
tidak meninggalnya pesan sebuah ancaman atau provokasi tertentu. Justru posisi
inilah yang membuatku tak berkutik. Kecuali ... aku harus melihat lebih ke
dalam lagi, tentang perjalanan biduk rumah tanggaku dengan Bang Nurdin.
Obrolan pahit dengan perempuan itu tidak sampai setengah
jam, ia kemudian dengan santun. Meninggalkan aroma lembut parfum dari sintal
tubuhnya, saat aku mengantar hingga gerbang depan. Dan tentu saja tanpa
lambaian tangan!
Aku tahu nama pun varian wangi parfum yang ia pakai, persis
dengan koleksi parfum eksklusif kesayanganku yang nomor empat.
"Hemm, siapa dia?
Menjadi sangat pentingkah atau aku abaikan saja? Atau ...?"
Menurut keterangannya, ia teman sekantor suamiku. Satu
divisi!, tinggal sekota dengan kami dan berstatus lajang! Lajang ...? Ah, aku
tak yakin untuk yang satu ini. Hanya perempuan lajang sinting saja yang
menggilai pria yang sudah beristri
0 comments:
Post a Comment