Sunday, August 4, 2019

Batin Seorang Wanita

Penulis : R. Wijaya
Kategori : Cerpen | Fiksi

Di kala hubunganku kian menjulang memuncak di ujung tanduk, seorang wanita muda datang ke rumah, dan mengaku sangat mencintai belahan jiwaku ...!
Haruskah aku merelakan dia memiliki suamiku?

Sungguh ini mukul bantinku, sepanjang hayat aku tidak pernah membayangkan hal ini akan menimpa diriku. Seorang perempuan muda datang kepadaku dan dengan bahasa lugas, mengatakan bahwa ia mencintai suamiku!

Cinta? Gila, segampang dan semudah itukah perempuan itu berucap kata dasar itu kepadaku. Seperti tak ada perasaan bersalah. Seperti aku bukan seorang wanita seperti dirinya, dan sepertinya ia adalah perempuan yang belum sembuh benar dari sakit gilanya!

Ya, mulanya memang aku mengira bahwa perempuan itu tak waras, atau punya kelainan di jiwa. Dan entah mengapa ia terperangkap pada obsesi akut tentang suami orang.

Aku tak habis pikir. Bagaimana ia bisa sebuta itu? Tidak melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya anak dan istri.

Ingin rasanya aku memaki habis-habisan, lalu menamparnya berkali. Karena kupikir dia memang sengaja datang untuk memporakporandakan keutuhan rumah tanggaku. Apapun motifnya.

Tapi anehnya ...! Aku tidak punya kekuatan untuk melakukan hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa justru rasa iba yang hadir dalam hati ini. Mendengar pengakuannya yang jujur dan polos, tidak takut kepada diriku. Pemilik sah Bang Nurdin, suamiku sekaligus pria yang kini ia sembagi dengan bahasa cinta itu. Ayah dari seorang anak yang terlahir dari rahimku, tujuh tahun lalu.

Dan sampai kapanpun, aku tidak akan bisa melupakan ucapannya di siang itu!

"Maafkan saya, Mba. Saya memang mencintai suami Mba. Suami Mba memang perhatian, penuh pengertian dan lembut. Saya mencintainya! Karena dia memiliki sebagian besar sifat bapak saya yang telah meninggal, sewaktu saya masih kecil. Tapi, Mba jangan khawatir, saya akan tetap menjaga nama baik Bang Nurdin, suami Mba. Dan saya tidak akan pernah merebutnya dari Mba, meskipun saya mencintainya ..."

"Tapi, untuk apa kamu katakan itu padaku? Apa kamu tidak malu?," tanyaku kasar, dengan perasaan heran dan geram.

"Justru saya malu kalau saya membohongi Mba. Diam-diam mencuri Bapak dari peraduan cinta biduk rumah tangga Mba. Saya bukan seorang maling, Mba. Saya masih punya harga diri. Tapi saya ingin jujur, karena merasa tulus mencintai dan menyayanginya! Saya ... saya, merasa nyaman, tenteram dan bahagia bila sedang berdekatan dengan Bapak."

Sedetik setelah menatap mulutnya yang kemudian bungkam, dengan wajahnya yang menunduk dan pasrah. Aku ingin sekali mengunyahnya dengan sepasang rahangku yang mulai bergemeretak menahan murka.

"Dasar sundal betina!" Batinku.

"Tapi ... tunggu dulu! Apakah tak lebih bijak jika kemudian aku membaca rumah tanggaku sendiri dengan Bang Nurdin? Sebelum aku mendepak hingga terjengkang si jalang ini dari sofa ruang tamu, menyumpal mulutnya yang sudah kelewat berani dan kurang ajar itu! Memperlakukan dia dengan serendah-rendahnya, lantas akan kubuat hina dina di hadapanku?"

"Tunggu dulu. Tentunya, perempuan ini bukanlah wanita sembarangan! Seperti halnya suamiku, yang begitu pemilih jika ingin meletakkan perhatiannya kepada seseorang. Tidak pada sembarang perempuan. Aku tahu watak suamiku."

Suara dari dalam tempurung kepala ini saling berdesakan, dan minta secepatnya terjelma menjadi beruntunnya kata-kata.

Ya, intuisiku jelas mengatakan jika perempuan ini berani datang sendirian! Artinya ia telah siap! Dan tidak sekedar memperdengarkan berpotong-potong bualan perihal suamiku. Bagusnya, ia tidak meninggalnya pesan sebuah ancaman atau provokasi tertentu. Justru posisi inilah yang membuatku tak berkutik. Kecuali ... aku harus melihat lebih ke dalam lagi, tentang perjalanan biduk rumah tanggaku dengan Bang Nurdin.

Obrolan pahit dengan perempuan itu tidak sampai setengah jam, ia kemudian dengan santun. Meninggalkan aroma lembut parfum dari sintal tubuhnya, saat aku mengantar hingga gerbang depan. Dan tentu saja tanpa lambaian tangan!

Aku tahu nama pun varian wangi parfum yang ia pakai, persis dengan koleksi parfum eksklusif kesayanganku yang nomor empat.

"Hemm, siapa dia? Menjadi sangat pentingkah atau aku abaikan saja? Atau ...?"

Menurut keterangannya, ia teman sekantor suamiku. Satu divisi!, tinggal sekota dengan kami dan berstatus lajang! Lajang ...? Ah, aku tak yakin untuk yang satu ini. Hanya perempuan lajang sinting saja yang menggilai pria yang sudah beristri

0 comments:

Post a Comment