Monday, July 29, 2019

JACK



Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen


Kini aku merasa waktu benar-benar nyaris habis. Hanya selangkah dan purna sudah. Diiringi kecipak gerimis pertengahan Desember, tak sekalipun membuat langkahku surut, meniti rentang buram garis nasib. Penghujung tahun penuh ratap dalam pelarian.

Menang atau kalah! Dua tebakan tipis yang saling melekat. Memiliki satu di antaranya, bukan berarti kehilangan sisi lainnya.


Menang, berarti akan menanggung kekalahan yang teramat dahsyat. Sementara kalah, tak musti bahagia lesat luput dari pelukan.
Lalu, apalagi?

Tak perlu memaksa, betapa banyak nama yang bangkit menelusup di kepalaku. Mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka adalah orang yang layak kukira untuk meneruskan tali-temali hidupnya.
Menuntaskan satu harapan yang kadang meredup karena ketidakberdayaan. Kerap menanggung kekalahan yang entah dari mana sebab pastinya.

Joni, bocah delapan tahun yang tak mampu sekolah karena ayahnya dibui.  Sementara sang ibu, entah ke mana.

Mbok Dimah, perempuan renta yang selalu menanggung beban dari ketiga anaknya, sedang sang suami lumpuh total tak berdaya di atas dipan.

Jangkung, perjaka sakit-sakitan yang bertahan. Mungkin ia tengah menunggu, satu hari tiba. Sang malaikat datang dan merenggut nyawa. Jangkung, sepertinya sudah pasrah, ia terlalu letih dan teramat putus asa menanggung rasa sakit yang tiada pernah tersembuhkan. Ia meras hidupnya telah sekarat. Kata orang-orang, konon ia mengidap HIV.

Karin, wanita lajang yang tak lagi lajang. Bertempat tinggal di lantai enam sebuah apartemen mewah. Kata relasi dan partner bisnisnya yang kukenal, Karin menjadi 'piaraan' seorang bos yang punya puluhan bisnis, sekitar 3 tahun lalu.

Tapi, apakah Karin akhirnya merasai bahagia seperti yang pernah diimpikan semenjak ia masih kencur?
Tidak!

"Kau tahu, Jack ...! Aku hanya seekor dara yang cuma hidup di indahnya puisi seseorang. Aku tahu, sudah tak mampu kembali lagi. Bahagia ini adalah penjara yang memborgolku, dan tidak cuma itu. Nanti engkau akan paham"

Kalimat itu pernah terlontar dari mulut Karin, ketika aku mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat selepas clubing. Aku, hanya seorang sopir dari banyak pengemudi kendaraan si tuan yang 'memenjarakan' Karin saat itu.

Rasa kasihan dan tidak tega membekapku ketika Karin akhirnya bercerita lebih mendalam. Mungkin lubuk hatinya telah bedah ...!

Tak lama berselang, aku memilih jalanku sendiri. Jalan nafkah yang kubulatkan untuk kuputus, keluar dari pekerjaan itu.

Metropolitan, adalah rimba yang membutakan bagi kebanyakan mereka. Ganas, buas, brutal. Kesemena-menaan, penipuan, penindasan, kesewenangan, keculasan juga rasa tega.

Entah, bagaimana sebagian mereka mampu mengemas itu semua dan melakoninya dan entah bagaimana pula sebagiannya lagi, mampu bertahan dengan perasaan kebal yang aku yakini tak tumbuh membebat secara mendadak.

Aku ada dan hidup di dalamnya,  sepuluh tahun lebih. Mengalami banyak hal, dan terus bertahan. Impitan perih juga tentu saja berakhir dengan tunduk kekalahan.

Namun aku, bukan ilalang yang harus patah atau mati dalam dalam sekali injakan. Hanya seorang lajang yang telah kehilangan ayah dan ibu, tak ada saudara kandung, hanya secarik surat yang menerangkan bahwa aku terlahir entah dari rahim perempuan siapa ... juga bapak siapa.

Panti asuhan yang lumayan bagus, aku tinggal di sana hingga masa remajaku. Sampai ketua yayasan menawariku untuk bekerja di Jakarta.

Pada sebuah perusahaan besar yang dimiliki oleh seorang bos.

Aku masih ingat kenangan itu. Begitu legit tersisip di setiap sepi yang merajahi hati.

Ada banyak pura menjulang, asap dupa, sesaji dan orang-orang asing. Mereka menyebutnya sebagai tanah para dewa. Sebuah panti asuhan yang berada di bawah sebuah yayasan internasional, menjadi kediaman hangat walau tak mampu mengusir rindu.

Rindu pada siapa? Ayah, ibu, saudara ...? Atau barangkali kekasih?

Sekali lagi kukatakan tidak! Aku, cukup bersyukur, tumbuh dan mulai terbiasa dengan perasaan payau itu.

Tak kudapati hal lebih jika ingin membaca riwayat diri ini. Aku hanya tahu, terlahir di box bayi pada panti asuhan daerah Nusa Dua.

Kerap aku melihat sepasang bule. Terlihat bahagia memanggul seorang anak lelaki mereka. Bocah itu sebayaku. Bermain dengan kedua orang tuanya di pantai berpasir lembut. Menikmati sunrise, menikmati sunset. Bermanja-manja ...

Sekilas ... kubandingkan tubuhku. Sama persis dengan bocah itu. Tapi nasib tak persis sama. Memandangi bocah itu bersama kedua orang tuanya, menikmati indahnya weekend dari balik jendela berkaca tebal panti asuhan. 

Sebelum akhirnya aku melap kaca itu hingga bening dan melanjutkan untuk mengepel lantai.

Namaku Jack. Hampir seperti merk minuman keras, dan aku tak peduli. Sebab sedikit atau banyak seseorang pasti mempunyai alasan khusus mengapa memberiku nama demikian.

Tak perlu juga risau ... sebab sadar atau tidak seseorang pasti akan memegang dan memainkan kartu di hidupnya sendiri. Tak terkecuali diriku ....

Delapan minggu mereka memburuku! Memasukkan nama pada papan atas daftar sosok yang paling dicari.

Itu terjadi pada dua hari setelah bos mafia yang juga tuan pemelihara Karin, tewas mengenaskan.
Tenggorokannya jebol, tertusuk oleh pena berharga jutaan miliknya. Tubuhnya setengah bugil, hanya mengenakan celana dalam dan kaus singlet, dilempar paksa dari lantai sebelas sebuah apartemen mewah di kawasan elit ibu kota.

Kubayangkan tubuh Cabino meluncur deras ke bawah membelah angin, lalu terempas keras di lantai yang terbuat dari beton.

Sampai di bawah tubuh itu seperti rendang dengan kuah darah ...!
Berceceran seluruh bagiannya. Menjijikkan sekali. Semenjijikkan tingkahnya yang kelewat bejat.
Bejat? Apa hakku menghakiminya? Bukankah ia kekasih gelap Karin yang sekaligus bosku juga. Seseorang yang aku harus patuh pun sangat menghormatinya?

Aku melihat berita itu dari siaran berita televisi lokal, dan mengikuti berita itu seterusnya di tiap kesempatan.

Bergidik ngeri! Siapa pembunuh keji yang sanggup melakukannya? Tidakkah mereka tahu, Cabino sang bos yang telah tewas itu adalah orang yang sangat penting dan berpengaruh di lingkar kekuasaan formal dan anggota kumparan bisnis ibu kota.

Kolega dan anak buahnya dengan segala daya, mampu memburu dan mengungkap siapa pelaku dan dalang dibalik peristiwa berdarah yang mengejutkan seantero ibu kota.

Sementara itu Karin terus dijadikan saksi. Ia tak bisa ke mana-mana. Gawainya disadap pun semua gerak-geriknya sangat diawasi dengan seksama.

Ingin sekali aku bertemu dengan Karin dan bertanya banyak hal, sebelum polisi menetapkannya sebagai saksi di antara saksi-saksi lain.

Namun semua telah terlambat! Itu terjadi kukira beberapa jam menjelang kematian si Cabino. Karin beberapa kali meneleponku, tak kuangkat karena sedang berada di kamar mandi.

Ketika aku panggil balik, gawainya sudah tidak aktif.

Ia hanya meninggalkan pesan cukup panjang.

"Thanks, Jack ... kini pergilah! Polisi dan orang-orang sialan Cabino pasti akan memburumu sebentar lagi. Pergilah ke luar kota secepatnya. Semua keperluan ada di dalam tas kulit lusuh dalam almarimu. Maaf, aku menempatkannya kemarin tanpa seizinmu. Sekadar kau tak bertanya lebih jauh lagi ..."

Berterima kasih padaku? Tapi ... apa yang telah kulakukan untuk Karin? Kami tak membuat kesepakatan apa-apa, dan aku tak merasa melakukan apa-apa.

Atau aku memang sudah lupa?

Entahlah, sebab yang kuingat setelah mengantar Karin pulang ke apartemen, aku langsung pergi bersama kendaraan yang kubawa karena tugas untuk Karin sudah selesai juga karena malam sudah larut.

CCTV dari berbagai sudut yang terpasang di lantai basement itu kukira bisa membuktikan. Aku meluncur cepat. Keluar mengendari sedan mewah warna hitam, Benz E 200 hadiah dari Cabino untuk Karin.

Gawaiku berdenyut. Tanda panggil dari Karin, sekilas kulirik arloji. Pukul 02.40 WIB. Malam hampir habis.

"Jack, jemput aku di lobby ya, cepat! Aku tunggu di sofa ..."

Suara Karin tak seperti biasanya. Intuisiku mengatakan demikian. Sebab tak pernah sekasar itu ia memerintah dengan kata yang baru sekali itu kudengar.

"Oke!"

Aku matikan rokokku yang masih tersisa setengah dan bergegas menuju lobby hotel. Tempat party diselenggarakan oleh seorang taipan yang tengah merayakan ulang tahun.

Perihal acara apa pun itu, aku tak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana Karin selamat, merasa nyaman saat berangkat hingga pulang. Memastikan ia baik-baik saja hingga tiba di depan pintu apartemen.

Karena memang itu tugasku.
Dalam lobby kudapati sosok Karin dengan pakaian malam seksinya, namun kali ini tampak lain. Tubuh dan wajah itu tampak cemas, walau pada raut ayunya bersikeras coba mengusir sesuatu yang tengah ia pendam.

Karin, menyambar lenganku! Memaksa dengan kasar meninggalkan lobby hotel. Sekilas aku merasa diperlakukan bak kekasih malamnya, untuk semalam saja! Walau tak mesra ... sementara intuisiku justru berkata sebaliknya.

Ada sesuatu yang tidak beres tengah dialami Karin saat menikmati pesta di dalam sana.
"Biar aku duduk di depan bersamamu, Jack"

"Silakan jika mau"
Aku menyahut tanpa memperhatikan dua kali bagaimana reaksi wajahnya, melukiskan rasa cekam yang kali ini bertambah besar. Semenjak kami tergesa-gesa meninggalkan lobby hotel berbintang lima itu.

Pesta belum lagi usai, namun Karin tak hendak menuntaskannya.
Mobil kukendarai, melesat cepat membelah malam kota Jakarta dengan pedal gas yang kian dalam kuinjak, seiring perpindahan gigi menuju kecepatan puncak. Jakarta, tetap khas dengan lalu lintas yang tak pernah tidur

Karin hanya diam. Menyeduh keheningan yang kutafsirkan begitu hampa. Matanya kaku memandang lintasan lajur tol yang diterangi sepasang lampu depan. Ia sama sekali tak terusik oleh lalu lalang dan bias terang lampu kendaraan, dari arah ruas yang berlawanan. Hatinya seperti padam.
Kulirik. Ia menangis ...!

"Tolong kenakan sabuk pengamanmu, Karin. Ini prosedur standar" kataku tanpa menoleh kepadanya.

Karin geragapan, seperti tersadar. Cepat ia mengkaitkan belt dan memasukkan kepala logam hingga terkunci.

"Maaf, seorang Cabino pun akan kutegur jika ia lalai mengenakannya ..." lanjutku dengan nada datar lagi dingin.

Tapi di luar dugaan. Karin menoleh, menatapku tajam dengan pelupuk matanya yang berat oleh sembab.

"Seharusnya biarkan saja, Jack. Si Cabino binatang itu mampus jika terjadi apa-apa dalam kendaraan ini"

Pancinganku berhasil.

"Kau keliru, Karin. Menyakiti kekasihmu, bukankah sama halnya dengan menyakiti dirimu sendiri? Ia sudah sangat baik dan berhasil membuat hidupmu penuh arti ..."

Karin beringsut. Tubuhnya tak lagi berada pada posisi menghadap ke depan layaknya seseorang pengemudi. Namun malah menghadap kepadaku.

Ekor mataku sempat menelisik. Dadanya kembang kempis mendadak, napasnya mulai memburu dengan tiba-tiba. Karin berubah garang dalam sekejap.

"Dengar Jack, andai Tuhan berkenan mengabulkan doaku malam ini. Aku akan meminta agar Cabino dicabut  nyawanya dalam keadaan sangat regang lagi kesakitan. Aku ingin ia mati, binasa untuk menebus semua kebejatan yang sudah melampau batas. Dan aku, akan bersedia menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika aku harus mendekam dalam penjara seumur hidup ..."

Nada suaranya tegas. Ada geram yang begitu menggelegak. Dari mulutnya, aku tak mencium bau alkhohol. Tumben ia waras untuk party malam ini.

"Bajingan busuk itu, mampus saja ...!"
Ia seperti belum puas tanpa menutup dengan kalimat makian, jika itu sudah menyangkut nama bos Cabino dalam setiap pembicaraannya, terutama dengan aku. Entah jika dengan orang lain.

"Ucapanmu bisa sangat bermasalah, Karin. Kuharap kau tak berpikir layaknya si cantik Barbie yang sedang patah hati atau putus asa"

Kujawab pertanyaan Karin tanpa menengoknya, dan tetap konsentrasi penuh dengan kendaraan dan jalan yang sedang kulintasi dengan kecepatan tinggi.

Kubiarkan ia menatapku dalam keadaan utuh dan puas. Mungkin, ini jalan terbaik baginya untuk menimpakan kekesalan yang menyedak di dada. Melampiaskan barang sekejap kepada lelaki yang berada di sebelahnya.

"Kau pikir aku bodoh, Jack! Karena tak ada yang kupercayai selama ini, selain dirimu ... dan aku tak pernah mengucap apa pun di luar sana. Aku bukan perempuan dungu yang tidak tahu resiko"

Kuinjak rem, kecepatan turun mendadak. Aku bahkan tanpa sadar telah melakukannya. Cepat-cepat kukembalikan mobil ke posisi kecepatan semula.

Melaju tenang membelah jalan tol sepanjang malam yang terus menghunjam ke waktu dini hari.

"Kenapa Jack? Kau grogi? Kau lupa betapa dekatnya kita?"
"Aku hanya kacung rendahan suruhan si hebat Cabino, harus paham derajatku ..."

Getir kujawab, dan berharap ia tak berkelanjutan meracau lagi dengan kalimat-kalimat lain yang lebih menusuk.

"Manusia, berderajat sama Jack. Hanya apa yang ia punya dan ia kenakan saja, akhirnya membedakan ia di mata manusia lain"

Karin diam, lalu menghela napas sangat dalam. Matanya mengelana jauh. Menerobos langit gelap yang tak tersentuh oleh jagad dirinya saat ini.

"Walau ia seorang lelaki peranakan Eropa-Indonesia yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Hidup tanpa kasih sejati bertahun di panti asuhan, mengenaskan ...! Rajin mengelap kaca dan mengepel lantai, mengorek toilet. Membekap rasa rindu yang terus terkatung-katung, kala kerap melihat bocah seusianya, ceria bermain di pantai indah berpasir lembut, dari balik kaca jendela. Dia sering melongo, kasihan ...! Berharap dalam andai jika ia adalah bocah itu, menggenggam ronce nasib yang sangat berbeda ..."

Entah dari mana datangnya refleks ini. Secepat kilat kucabut Glock 17 dalam sepersekian detik dan ketempelkan ke pelipis kiri Karin!

Aku sangat tersinggung. Ucapan Karin membuat perasaan ini begitu berdarah.

"Katakan sesuatu sekali lagi, hei cantik ...! Kupastikan isi kepalamu akan berceceran menempel pada kaca jendela di sampingmu ... dan kupastikan pula tubuhmu akan kulempar bagai bangkai anjing dari kabin ini ...!"

Entahlah, aku seperti mendadak kesurupan! Darah dari jantungku meledak terpompa. Serasa melonjak penuh hingga ke kepala tanpa melewati dada.

Karin malah tersenyum. Sama sekali tak ada gemetar yang menjalari tubuhnya. Ia tampak tenang tanpa ada perasaan takut sedikit pun.

"Aku lapar ...! Butuh kopi dan menghisap rokok. Bisa kita keluar tol di pintu berikut?" ucapnya santai.

Pistolku masih menempel lekat di pelipis kiri Karin.

Kukuh lurus dalam titik bidik, dengan telunjuk kiriku yang sudah siap melingkar penuh di pelatuk.
Napasku terus memburu. Menghirup udara dari semburan double blower perangkat mewah AC yang sekejap kurasai tak lagi mampu mengatupkan pori-pori dengan suhu rendahnya.

Namun, secara tiba-tiba sudah berubah bak kepulan hawa panas dari tungku yang mengangakan seonggok bara.

Kami saling diam! Detik berlalu beberapa loncatan. Menunggu ...!
"Sudah kukatakan sebuah kalimat seperti pinta ancammu, Jack? Kenapa tak jadi menembakku ...?"

Perasaanku mereda, perlahan pistol kutarik menjauh dari pelipis lembutnya itu. Memindahkan laju kendaraan ke lajur kiri setelah menyarungkan Glock 17 di balik jaket.

Perlahan kukurangi kecepatan. Tampak gerbang tol di depan dengan tanda dan terang isyarat lampunya.

Entahlah, di hadapan Karin kerap aku menjelma menjadi sosok bodoh atau bertindak bodoh. Dua-duanya tetap hal yang sama bagiku.
Sial ...!

"Berhati-hatilah dengan dendammu, Karin. Ia bisa terwujud kapan saja. Kau telah meletakkan satu pengharapan gelap yang tak biasa, tanpa tersadari"

Karin melengos! Mendengus sinis.

Melemparkan tatapannya beralih ke kaca samping. Tak ada yang bisa tertangkap sempurna oleh lensa matanya, aku yakin itu. Kecuali gelap yang melaju dengan kilatan lampu yang menyilaukan dari laju berbagai kendaraan yang melintas.

"Sejak sore aku belum makan, Jack. Sebaiknya kita sedikit cepat"

Karin tak menggubrisku ketika aku mulai menyeriusi ucapannya. Hatiku serasa terbang ....!
Apakah selalu demikian ketika seorang perempuan ingin memainkan hati seorang pria? Entahlah. Bahkan aku teramat awam untuk merasai bagaimana seluk-beluk jatuh cinta. Mempertaruhkan segala hidupnya isi hati dan tumpah-ruahnya perasaan.

Bagiku, perempuan ibarat angsa cantik yang tengah berenang dan menari di tengah kolam. Sangat berisiko tenggelam ketika aku atau siapapun berusaha untuk menggapai. Ingin menegaskan dengan telapak tangan sendiri.

Betapa indah, cantik dan lembut bulu-bulu itu.

Resiko!

Mungkin aku akan mengulas ulang lebih dalam tentang kata dasar ini. Tapi bisa jadi ... aku termasuk lelaki yang membutakan resiko. Terhadap hidup sekali yang kerap kuberontaki.
Bukankah aku juga berhak menyisipkan sedikit bahagia atasnya?

Malam terus bergerak, kurasai melaju begitu tergesa. Mendendangkan awal sebuah lakon petualangan, pengorbanan, ketulusan juga perihnya pengkhianatan.
Cinta ... ternyata masih mampu menyelamatkan segalanya.

0 comments:

Post a Comment