Showing posts with label FIKSI. Show all posts
Showing posts with label FIKSI. Show all posts

Sunday, August 4, 2019

Percakapan Dua Lelaki Terpenjara


Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen | Fiksi


Siang ini adalah hari yang ke sepuluh, aku berada di Lapas ini.
Semua rentetan kejadian terasa begitu cepat berlalu. Namun tidak untuk hari-hariku mendekam di penjara sialan ini.

Di sini waktu terasa begitu lambat berputar. Kehidupan sampah di antara para bajingan, membuatku frustasi. Namun aku sadar, aku juga seorang bajingan seperti mereka.

Di antara bajingan itulah kini tempatku. Bahkan aku harus berbagi tikar dengan seorang pembunuh. Sama sepertiku, yang telah membunuh delapan manusia sekali tabrak. Bajingan memang, atau apalah aku ini. Aku sudah tak mau pusing memikirkan sebutan apa yang tepat untukku.

Dulunya aku kuliah. Sampai bapak berkata padaku;
"Buat apa kamu kuliah hah? Kuliah cuma bikin kita tambah miskin!" Aku tirukan kata-kata bapak padaku.

Itu terngiang samapai saat ini.
"Jadi itu alasanmu jadi kriminal? Dan ada di sini bersamaku?" Tanya Waris, teman satu selku.
"Sebenarnya bukan itu. Ada cerita panjang sampai aku ada di sini."

"Ceritakanlah untukku. Mungkin bisa kutulis dan jadi sebuah cerita yang menarik." Kata Waris sambil sedikit terkekeh.

"Tak ada yang menarik dari cerita ini. Selepas aku berhenti kuliah, aku lebih suka menyendiri di kamar. Merancang bom, untuk meledakkan kampusku. Atau merencanakan demo besar-besaran di jalan," kataku sambil tertawa. Merasa lucu dengan leluconku sendiri.

"Ayolah bung ... Ceritakan saja. Kita ini senasib," katanya, sambil menyodorkan puntung rokok yang masih menyala.

Kuambil, kuhisap, lalu asapnya kuhempaskan perlahan.

"Hidupku dulu nyaris terasa sempurna. Aku punya istri cantik, pekerjaan yang lumayan. Anak yang lucu. Tapi semua itu terasa hilang, hanya karena lelucon isi celana dalam. Istriku selingkuh. Aku mulai suka mabuk-mabukan. Sampai melakukan seks dengan sembarang perempuan. Namun ada seorang gadis yang membuatku kembali hidup. Rahma namanya. Tapi pada akhirnya dia kembali membuatku menjadi mayat hidup. Dan aku membunuhnya pagi itu, bersama dengan pria yang telah merenggut istriku, dan juga Rahma dari hidupku."

"Ceritamu membuat perutku tersa terpelintir bung. Aku paham amarah dan sakit yang kau rasakan. Aku juga membunuh untuk alasan yang sama. Aku membunuh istriku dan selingkuhannya di hotel. Aku puas melakukan itu."

"Kau memang bajingan Ris." Kataku sambil mengelengkan kepala.

"Apa lagi yang bisa kulakukan bung? Harga diriku sudah terinjak-injak sebagai laki-laki."

"Aku sudah lupa, apa itu harga diri. Bagiku itu hanya omong kosong. Hidupku hancur. Apa lagi yang bisa kuharap di luar sana. Kecuali satu hal yang masih tersisa. Anakku. Hanya dia yang ada di kepalaku sekarang."

"Aku tak punya anak. Ini mungkin perbedaan kita bung. Tapi aku percaya anakkmu akan tetap mengingatmu sebagai bajingan, yang masuk penjara. Dan itu pasti, pasti membebaninya bung."

"Bangsat!!!!" aku berteriak, memgangi kepalaku yang tersa berputar-putar mendengar perkataan Waris, "Aku memang goblok! Tolol! Sampai semua ini terjadi. Kau mungkin benar."

Aku terdiam cukup lama, ada rasa yang begitu getir dalam dadaku. Mataku mulai nanar, dan anaganku mulai menapaki kejadian-kejadian di masa lalu. Hidupku yang bahagia. Hari-hari itu tak mungkin kembali.

"Sudahlah bung ... Untuk apa kau menyesal hah? Memang dengan menyesal dunia akan mengampunimu hah? Tidak! Duniamu tetap akan menghukummu bertubi-tubi. Jadilah bajingan yang kuat! Hidup kita bukan untuk menyesal. Keluarlah dari tempat ini, rebut kembali hidupmu bung!"

"Kenapa bukan kau saja! Hah? Kenapa kau masih tetap di sini?" sergahku.

"Aku akan mati di lapangan tembak. Dan itu kenyataannya bung. Lagi pula apa yang harus aku kejar di luar sana? Kau berbeda. Pikirkan tentang anakkmu. Aku tak punya siapapun di luar sana."

"Tapi bagaimana caranya? Kita ini di penjara. Hukumanku masih dua puluh tahun lagi. Itu pun jika masih hidup."

"Aku tau kau punya banyak uang bung. Apa yang tak bisa dilakukan uang hah?"

"Uang? Kau pikir aku banyak uang? Aku ini kere, kere dan tukang mabuk."

"Sudahlah bung. Kau jangan pura-pura. Aku tau kau sebentar lagi dibebaskan. Itu yang aku dengar dari kepala penjara tadi pagi."

"Omong kosong! Kau jangan bercanda Ris. Manamungkin itu terjadi? Aku tak punya apapun untuk membeli kebebasanku."

"Bukan kau bung. Ada orang lain, dia yang membebaskanmu.

"Siapa dia? Istriku? Itu tak mungkin."

Waris mengacungkan telunjuknya ke arahku.

"Dia yang membaskanmu."

Aku berbalik. Dan kulihat ada seorang wanita berdiri di balik jeruji selku. Wajah tak asing bagiku. Wajah keras, namun tetap cantik untuk ukuran seorang polwan. Erlani, aku ingat dia. Dia istri bajingan yang kutabrak. Tak mungkin dia akan membebaskanku.
Aku berdiri berhadapan dengannya.

"Aku akan membebaskanmu." Katanya tanpa basa-basi.

"Untuk apa?" kataku.

"Besok saja kau tanyakan itu. Besok kau sudah bisa keluar. Temuai aku besok jam delapan malam di restoran sebelah kantorku." Dia berkata dan pergi begitu saja. Tanpa menunggu jawabanku.

Batin Seorang Wanita

Penulis : R. Wijaya
Kategori : Cerpen | Fiksi

Di kala hubunganku kian menjulang memuncak di ujung tanduk, seorang wanita muda datang ke rumah, dan mengaku sangat mencintai belahan jiwaku ...!
Haruskah aku merelakan dia memiliki suamiku?

Sungguh ini mukul bantinku, sepanjang hayat aku tidak pernah membayangkan hal ini akan menimpa diriku. Seorang perempuan muda datang kepadaku dan dengan bahasa lugas, mengatakan bahwa ia mencintai suamiku!

Cinta? Gila, segampang dan semudah itukah perempuan itu berucap kata dasar itu kepadaku. Seperti tak ada perasaan bersalah. Seperti aku bukan seorang wanita seperti dirinya, dan sepertinya ia adalah perempuan yang belum sembuh benar dari sakit gilanya!

Ya, mulanya memang aku mengira bahwa perempuan itu tak waras, atau punya kelainan di jiwa. Dan entah mengapa ia terperangkap pada obsesi akut tentang suami orang.

Aku tak habis pikir. Bagaimana ia bisa sebuta itu? Tidak melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya anak dan istri.

Ingin rasanya aku memaki habis-habisan, lalu menamparnya berkali. Karena kupikir dia memang sengaja datang untuk memporakporandakan keutuhan rumah tanggaku. Apapun motifnya.

Tapi anehnya ...! Aku tidak punya kekuatan untuk melakukan hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa justru rasa iba yang hadir dalam hati ini. Mendengar pengakuannya yang jujur dan polos, tidak takut kepada diriku. Pemilik sah Bang Nurdin, suamiku sekaligus pria yang kini ia sembagi dengan bahasa cinta itu. Ayah dari seorang anak yang terlahir dari rahimku, tujuh tahun lalu.

Dan sampai kapanpun, aku tidak akan bisa melupakan ucapannya di siang itu!

"Maafkan saya, Mba. Saya memang mencintai suami Mba. Suami Mba memang perhatian, penuh pengertian dan lembut. Saya mencintainya! Karena dia memiliki sebagian besar sifat bapak saya yang telah meninggal, sewaktu saya masih kecil. Tapi, Mba jangan khawatir, saya akan tetap menjaga nama baik Bang Nurdin, suami Mba. Dan saya tidak akan pernah merebutnya dari Mba, meskipun saya mencintainya ..."

"Tapi, untuk apa kamu katakan itu padaku? Apa kamu tidak malu?," tanyaku kasar, dengan perasaan heran dan geram.

"Justru saya malu kalau saya membohongi Mba. Diam-diam mencuri Bapak dari peraduan cinta biduk rumah tangga Mba. Saya bukan seorang maling, Mba. Saya masih punya harga diri. Tapi saya ingin jujur, karena merasa tulus mencintai dan menyayanginya! Saya ... saya, merasa nyaman, tenteram dan bahagia bila sedang berdekatan dengan Bapak."

Sedetik setelah menatap mulutnya yang kemudian bungkam, dengan wajahnya yang menunduk dan pasrah. Aku ingin sekali mengunyahnya dengan sepasang rahangku yang mulai bergemeretak menahan murka.

"Dasar sundal betina!" Batinku.

"Tapi ... tunggu dulu! Apakah tak lebih bijak jika kemudian aku membaca rumah tanggaku sendiri dengan Bang Nurdin? Sebelum aku mendepak hingga terjengkang si jalang ini dari sofa ruang tamu, menyumpal mulutnya yang sudah kelewat berani dan kurang ajar itu! Memperlakukan dia dengan serendah-rendahnya, lantas akan kubuat hina dina di hadapanku?"

"Tunggu dulu. Tentunya, perempuan ini bukanlah wanita sembarangan! Seperti halnya suamiku, yang begitu pemilih jika ingin meletakkan perhatiannya kepada seseorang. Tidak pada sembarang perempuan. Aku tahu watak suamiku."

Suara dari dalam tempurung kepala ini saling berdesakan, dan minta secepatnya terjelma menjadi beruntunnya kata-kata.

Ya, intuisiku jelas mengatakan jika perempuan ini berani datang sendirian! Artinya ia telah siap! Dan tidak sekedar memperdengarkan berpotong-potong bualan perihal suamiku. Bagusnya, ia tidak meninggalnya pesan sebuah ancaman atau provokasi tertentu. Justru posisi inilah yang membuatku tak berkutik. Kecuali ... aku harus melihat lebih ke dalam lagi, tentang perjalanan biduk rumah tanggaku dengan Bang Nurdin.

Obrolan pahit dengan perempuan itu tidak sampai setengah jam, ia kemudian dengan santun. Meninggalkan aroma lembut parfum dari sintal tubuhnya, saat aku mengantar hingga gerbang depan. Dan tentu saja tanpa lambaian tangan!

Aku tahu nama pun varian wangi parfum yang ia pakai, persis dengan koleksi parfum eksklusif kesayanganku yang nomor empat.

"Hemm, siapa dia? Menjadi sangat pentingkah atau aku abaikan saja? Atau ...?"

Menurut keterangannya, ia teman sekantor suamiku. Satu divisi!, tinggal sekota dengan kami dan berstatus lajang! Lajang ...? Ah, aku tak yakin untuk yang satu ini. Hanya perempuan lajang sinting saja yang menggilai pria yang sudah beristri

Sunday, July 28, 2019

Taman Yang Tandus Berbuah Jeruk Yang Segar

Ditulis Oleh : Aljufri
Kategori : Cerpen | Fiksi

Inilah aku Rinto, seorang pekerja kantoran disebuah perusahaan yang penuh dengan banyak aktifitas diluar kota hingga jarang pulang kerumah, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Dingin pagi diwaktu subuh, terbangunkan diriku dari tidur malam yang lelap, suasana yang segar dan tenang pagi itu, aku menatap ke pekarangan rumah yg sudah tak terurus selama tiga bulan lebih karena sering tugas diluar kota, tanah yang tandus dihiasi bunga-bunga yang layu, seraya memanggil hatiku tergerak untuk memasng selang air di kran lalu kusemprotkan taman hingga basah kuyup membasahi taman yang tandus dan sudah tak sedap dipandang itu.

Tak lama keluarlah bibi dari dalam rumah yang pada saat itu baru selesai sholat subuh "Rin lagi ngapain?",  bertanya dengan nada heran sang bibi karena kaget melihatku dengan tumben-tumbennya menyiram taman yang tandus dan telah layu rumput dan bunga-bunganya.

Tak aku hiraukan sedikitpun sahutan pertanyaan dari bibi  yang dilontarkan kepadaku pagi itu, hingga yang kedua kali beliau melontarkan bahasa yang sama "Rin lagi ngapain?",
sambil asyik menyiram taman yang tandus, kemudian serentak aku merespon kalimat bibi dan akupun menjawab, "Aku lagi siram taman yang sudah kering tandus dan layu bunganya Bi" jawab aku kepada sang bibi.

Kemudian aku bercerita kepada bibi, "sudah cukup lama aku jarang pulang kerumah dan fokus dengan pekerjaan hingga taman ini tak lagi terurus",

Kemudian bibi pun kembali bertanya "emang dahulu sering dirawat taman ini?",  tanya bibi karena bibi baru saja tinggal dirumah ku.

 "iya bi, dulu taman ini sering ku urus, hingga kini jarang terurus karena aku lagi banyak kerjaan diluar kota", jawab ku kepada bibi

Tanpa banyak berkata-kata Bibi pun menyahut ceritaku "ohh yaa, selamat mengurus taman tandus ya Rin...!!!", sahut bibi spontan kepadaku, aku terdiam, tanpa ada balasan kata buat sang bibi, sambil fokus menyiram taman itu, karena aku tahu bibi tidak bakalan mengurusunya bahkan bibi sendiri tidak yakin aku akan mengurusnya sampai menjadi taman yang indah, tetapi aku tetap konsisten tetap akan kuurus taman ini hingga suatu ketika akan subur dan membuat mata semua orang yang tak sepaham denganku sadar bahwa dibalik sibuknya aku ada setitik keindahan yang kugambarkan dipandangan mereka diatas taman ini yang dianggap tandus dan jelek tak terurus.

Tak lama terfikirkan didalam benakku  bunga apa yang akan kutanam lagi diatas taman yang telah tandus itu, akhirnya aku menemukan ide untuk menanam jeruk dapur setelah aku menjelajahi dunia maya.

Tak luput semangatku, akhirnya ku praktekkan buat menanam jeruk, diatas taman itu dan setiap hari aku selalu rajin menyiram taman tersebut.

Setelah tiga bulan kemudian, ternyata apa yang dipikirkan diluar dari dugaan, taman tersebut yang tadi tandus memberikan hasil tanaman jeruk dengan buah yang lebat dan subur, hingga bukan hanya sekedar cerita bahwa sedap dipandang mata saja, tapi memberi hasil dari buah jeruk tersebut buat dimakan.

Suatu ketika bibi menghampiri aku disore hari yang lagi menyiram tanaman jeruk, bibi pun kaget apa yang telah kulakukan selama ini tidak sia-sia “wah,,, Rin, ternyata kamu konsisten apa yang kamu lakukan hingga akhirnya taman ini yang tadinya tandus bisa memberi hasil tanaman jeruk yang segar dan buahnya bisa dimakan”, sahut kaget dan keheranan sang bibi kepadaku.

Aku pun dengan sedikit egonya karena awalnya bibi tidak pernah yakin apa yang aku lakukan akan memberikan dampak sehebat ini, akhirnya dengan spontan dan nada sedikit sombong aku pun berkata kepada bibi “Ah biasa aja,,, kebetulan aja Bi, karena saya serius maka hasil yang saya dapatkan juga serius donk”, sahut aku kepada bibi sambil memetik buah jeruk.

Setelah kejadian itu bibi sering membantuku mengurus taman Jeruk bahkan ketika aku lagi bertugas diluar kota bibi masih tetap mengurus dan merawat tanaman itu bahkan beliau sempat merekrut karyawan yang bertugas memetik buah dan mendistribusi penjualan dari hasil buah jeruk ke pasar-pasar dikota.


Saturday, July 27, 2019

Siksaan Negara Didalam Jeruji


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Fiksi | Cerpen

Saudaraku dibalik jeruji besi, kau sudah sekian kalinya nyaris tak melihat indahnya matahari terbit dan tenggelam dari balik ruang dua kali dua yang di sekat penuh lembab tersebut.

Pastinya aku tau, kau enggan menghitungnya seberapa banyak bola api raksasa itu, luput dan berlalu dari pandanganmu.

Saudaraku, kuberitahu padamu Matahari tak pernah berubah. Ia senantiasa terbit dan tenggelam. Tapi, ada narasi yang harus kau ketahui. Sebuah narasi yang liris tentang perjalanan hidup. Sebuah narasi tentang penderitaan yang teramat sangat.

Terakhir, tahun 2016, seroang kawan datang padaku dan menyampaikan kabar bahwa kau menanggung sakit usai dikeroyok sesama tahanan perkara tempat tidur. Sekejap perasaan antara sedih dan marah berkecamuk di jiwaku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya membayangkan betapa perihnya luka di sekujur tubuh. Dari wajah hingga kaki. Lima orang bukanlah jumlah yang sedikit. Dan sebagai sebuah konsekuensi, kau harus menerimanya.

Dua tahun sudah kini. Bagaimana kabarmu? Siapa yang tahu? Kawan itu sudah pergi. Entah di mana kini ia. Kau tahu, Saudara, Mamak mulai sakit-sakitan. Ia menjatuhkan air matanya ketika membaca tulisanku tentangmu. Maka tahulah aku, betapa Mamak merindukanmu. Sebusuk-busuknya daging busuk, kau tetaplah anaknya! Bukan begitu?

Aku bukan saudara kecilmu lagi. Aku sudah tumbuh menjadi apa yang kukehendaki. Tak perlu kau tahu apa itu. Namun meski aku sudah begini adanya, memoar-memoar yang pernah terjadi di hidup kita tak pernah berhenti datang.

Kadang ketika aku melihat seorang anak kecil bersama sang abang, aku ingat satu memoar ini:
Ingat kau? Kalau suatu kali kita pernah lari tergapah-gopoh karena dikejar beberapa ekor anjing yang sedang lapar, yang hendak mengambil ikan yang kita jual? Masih ingat kau? Kadang kalau ingat memoar itu aku tertawa. Namun setelah itu, aku kembali menghela napas. Karena sepulang dari jual ikan, Mamak tak ada di rumah. Ia sedang pergi ke rumah Nenek mengambil beras. Saat itu senja dan hujan. Dan kita sama-sama menanggung lapar.

Tapi memoar tetaplah memoar, Saudara. Ada yang liris. Ada yang manis. Bukankah memang begitu bunga kehidupan?

Waktu dewasa ini, Saudara, rupanya apa yang kubayangkan sejak kecil--bahwa kehidupan akan indah pada waktunya, semuanya takhayul. Tak ada keindahan yang kutemukan. Hanya ada penderitaan yang jauh lebih lengkap dari yang pernah kurasakan. Dan sekarang aku hidup di kota. Tempat paling suram dan mengerikan.

Kau bayangkan saja, Saudara. Nyaris setiap menit ada saja penderitaan yang tiba dengan wajah lain. Perampasan lahan, pembunuhan, pembantaian orang oleh orang, pelacuran identitas, pemerkosaan anak perempuan dan perempuan remaja, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dan Mama, Saudaraku, dan Mama, makin jarang kulihat ia tersenyum. Terlalu masak pikiran dan tubuhnya dihajar penderitaan baik oleh keadaan (kekacauan ekonomi-politik) dan perampasan hak bertahan hidup. Kupikir itulah penyebab ia sakit-sakitan kini. Tapi diam-diam aku kerap berdoa untuknya. Tanpa Mamak apalah hidup ini artinya.

Saudaraku, selama aku hidup di kota tua yang kelam dan mengerikan ini, aku semacam berada dalam lingkaran setan. Ya, seperti ceritamu! Kau masih ingat? Ah, jangan bilang kau lupa! Lingkaran setan yang kau ceritakan malam-malam sepulang kita jualan bibit cengkeh

Begini ceritamu kalau aku tak salah ingat :

Malam itu angin dingin berhembus. Suara dedaunan yang digesek angin, menyerupai suara manusia yang memanggil. Malam itu aku kedinginan. Dan betul, aku mendengar suara gelak tawa orang banyak. Namun jauh.

Aku bangkit dan menyusul suara itu. Suara itu makin jauh, makin jauh, hingga akhirnya aku sampai di sebuah kolam yang merah airnya. Di situlah aku melihat orang melingkariku. Orang-orang yang tak menginjak bumi. Dan wajah mereka menyerupai binatang.

Lututku bergetar. Suaraku tak mampu keluar. Energiku seakan habis. Akhirnya aku tak sadarkan diri.
Nah, Saudaraku. Kini aku merasakan hal yang sama. Aku berada dalam lingkaran setan. Lingkaran setan berwujud manusia yang dengan kekuasaannya menindas manusia lainnya yang dimiskinkan yang hidup di jantung kota atau di pinggiran kota. Dan di antara orang yang dimiskinkan itu, aku melihat keluarga kita. Ada Mama, kau, dan dua adik kita.

Lututku bergetar. Aku marah. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhku seakan kehilangan daya dan upaya. Aku hanya melihat. Dan melihat! Ah, Saudaraku Jika kau ada di sini tentu sudah kau hantam aku dengan kepalan tanganmu!

"Bahkan, dalam keramaian yang paling riuh,

selalu dapat kudengar derit daun jendela penderitaan, yang terayun-ayun angin rindu Keadilan. Sesekali, kutuliskan derita cinta dan perjuangan pada jalan sunyi. Biar kelak di suatu ketika, cinta dan perjuangan anak jalanan mekar di sepanjang musim.

Kusudahi dulu surat ini, Saudaraku.Jika masih ada umur, akan kutulis surat selanjutnya untukmu

Kenangan Itu Sakit

Penulis : Rahmat Sangadji
Kategori : Cepen |Fiksi

Dentuman, hingar bingar musik dan manusia memenuhi ruangan menulikan ratusan pasang rungu pada keadaan di luar. Tatapan liar mendamba dan membara terpancar dari setiap pasang mata yang memandang.

Lekukan tubuh mengiringi musik dari negara barat. Tidak ada yang berkedip melihat pemandangan indah sempurna bagi laki-laki tak beriman. Yang lebih memilih merasakan api membara dan tusukan ribuan jarum panas dari Rabb.

Gelengan kepala seorang wanita menjawab tanya barista berambut perak dengan penampilan kemayu. Tangan wanita itu menyampirkan clutch di bahunya yang terbuka.

Hanya dehaman yang diterima lelaki kemayu itu seiring langkah kaki wanita  yang meninggalkannya dalam kebisingan teramat.
Wanita cantik dengan penampilan glamour itu keluar dari sebuah kelab malam dengan diiringi tatapan liar dari kaum adam.
Mengibaskan rambut rambut panjang kemerahannya hasil catokan tata rias ternama ketika melewati pria mata keranjang.

"Jesica Ahmad." wanita itu menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil setelah memberitahu sopir taksi alamat apartemennya.
Waktu satu jam dipergunakan wanita itu untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan otot sementara menunggu tiba di apartemen. Ingatannya menerawang dikala mata itu terpejam. Mengenang apa yang selama ini tidak pantas dikenang.
Wanita berusia 30 tahun yang selalu dibayangi masa lalu yang membuatnya sulit lepas dan terbebas dari masa kelam.
Wanita cantik itu turun setelah membayar ketika sopir memberitahunya sudah sampai di tempat tujuan dan segera masuk ke lobi apartemen.
Melempar asal clutch setelah sampai di kamar sebelum masuk ke kamar mandi. Namun, bunyi bip di gawai menghentikan langkahnya.
Sebuah pesan dari orang yang selalu memperhatikannya tanpa sama sekali diharapkan wanita itu.
'Besok ibu tunggu, pulanglah.'
Pulang?
Bahkan ia lupa kapan terakhir pulang.
Tidak berniat membalas, wanita itu melanjutkan niatnya. Berendam seperti biasa sampai satu jam lebih menikmati busa wangi memanjakan tubuhnya. Setelah puas, baru wanita itu keluar dan membalut tubuhnya dengan bathrobe.

"Kamu selalu cantik."
Bibir wanita itu melengkung, senyum manis terukir di bibir tipisnya yang mulai pucat karena terlalu lama berendam mengingat ucapan lelaki yang pernah membuat hatinya berbunga.
Tangannya mengusap rambut panjang yang basah dengan handuk seraya menatap intens bayangan dirinya di kaca.

"Rambut ini yang membuatku gila."

Lagi bibir itu menyunggingkan senyum. Kala wajah lelaki itu memenuhi ruangan memory-nya.
Dan seketika, senyum miris dan sinis dengan tatapan tajam mengancam menggantikan ketulusannya, ketika mengingat kalimat yang membuat wanita itu sakit hingga luka di sudut hatinya dipastikan tak akan sembuh.

"Maaf, aku akan segera menjadi Ayah."

Iya, dia lelaki yang sudah membuat wanita itu gila. Gila dengan perasaan yang sudah membuatnya jatuh. Menjatuhkan hati pada lelaki yang salah.

Hati wanita itu terluka, ketika cintanya di hempas tak bersisa. Meninggalkan kenangan mendalam yang menghancurkan hatinya.

Kesakitan yang mendalam, menyisakan luka yang menganga. Ketika hidupnya sudah disandarkan pada seorang pria dewasa yang mengkhianatinya, setelah lima tahun manjalin hubungan, hingga satu kenyataan pahit didapatkan wanita tersebut.

Deringan gawai membawa wanita itu kembali berpijak pada dunia nyata. Menatap datar nama penelpon, tanpa berniat mengangkat.

Satu nama yang selalu tertera di layar gawainya. Pagi, siang dan malam. Ibunya seakan tidak pernah bosan melakukan hal yang tidak pernah akan di sambut wanita itu dengan baik.
Persetan dengan semuanya, ia hanya akan menjadi dirinya yang sekarang. Selama tiga tahun ini hidupnya baik-baik saja tanpa orang terdekatnya.

Menolak semua kebaikan orang lain yang membuatnya hanya merasa dikasihani.

"Begini lebih baik. Tanpa ada dia ..." meski hati ini tak akan pernah melupakan pengkhianatanmu.
Setelah deringan berhenti dan berganti dengan bunyi bip tanda pesan masuk, wanita itu membuka pesan tersebut.

'Hanya kali ini. Ibu tidak akan mengganggumu lagi.'
Tidak cukupkah dengan kepergiannya selama ini? Kenapa seolah orang-orang ingin menjadi lebih dekat dengannya setelah kejadian itu?

Begitu miriskah keadaannya? Padahal, kehidupannya teramat baik tanpa sepeserpun saham orang tuanya yang menghidupinya selama ini.

Kenapa setelah kejadian yang menimpanya, orang tua itu semakin gencar menunjukkan peran nyata sebagai sosok orang tua.

Kepulan asap rokok, terhembus dari bibir pucat itu. Jari lentiknya menekan beberapa deretan angka di gawai. Ketika panggilan tersambung dengan seseorang di seberang.

"Besok aku akan ke Ternate." satu kalimat terucap, selanjutnya bantingan gawai terdengar memenuhi ruangan apartemennya.

Kepingan itu hancur bersama dengan kepingan hatinya yang kembali retak ketika ia memutuskan kembali ke kota yang menjadikan dirinya seperti sekarang. 

Wednesday, July 24, 2019

Pesona Perempuan Penari

Cerita Karangan : Aljufri
Kategori : Fiksi
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Diatas panggung tersimak penari perempuan tengah meliuk tubuhnya. Geliat tubuhnya penari itu, sangatlah mempesona. Lentik jemari dan ayun gemulai tangannya, mampu memulas mati puluhan para penggila nya dalam dengkur lelap tidur sekarat.

Tarian perempuan itu kini telah menjadi giur yang membuat nalar para pengumumannya lunglai dan tersungkur seketika.

Decak, saling berbisik mulai terdengar diselingi tawa nakal yang pecah menderai. Disusul, ungkapan-ungkapan cabul kepada perempuan penari itu,
Luar biasa!

Malam yang larut tak akan membuat mata para pengagum melayu surut, Justru semakin panas, dan kian bergairah.

Apalagi diselingi bergelas-gelas arak mulai diputar ikut menjadi suguhan. Semula saat sadar masih menguasai akal, kini menjadi berbeda dengan cepat. Tak sekadar terakhiri sampai disitu, Namun juga sesekali ingin gapai tangan perempuan penari itu untuk melakukan saweran.

Bentuk apresiasi materi dari cara purba yang sangat digemari para kaum lelaki.
Menyisipkan lembar-lembar ribuan di balik longgar kutang-kutang penari perempuan tersebut.

Namun malam harus berlanjut Walaupun harus menyisakan sedikit saja kewarasan yang tertindih kuyub di bawah gelas-gelas minuman keras.

Liuk dan geliat tubuh perempuan itu, seolah telah mempertegas sebuah definisi tunggal, bahwa inilah surga semalam. Diperuntukan bagi para pria penyuka kegilaan sekejab.

Apalagi, ditambah dengan senyum genit yang sering sengaja di tebar. Membuka tantangan bagi para lelaki yang mengaku sejati.

Malam pun kian merangkak seperti tak peduli lagi dengan perasaan. Ya, ternyata malam pun begitu bejatnya semakin liar, jalang dan tak bertuan.

Arman dan Air Matanya

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Ketika Jamaah sholat Subuh mulai melangkahkan kakinya keluar dari suroh, ada simbolis kedukaan yang dikibarkan melalui bendera setengah tiang di pelantaran jalan

Dari ujung jalan, kini mulai terdengar Isak tangis pecah menyelimuti kubuk kecil tua tersebut. Kecelakaan lah yang telah merenggut jiwanya kemarin sore, menyisakan cita-cita dan mimpi yang belum usai diwujudkan. Sebuah harapan dari dalam dirinya sebelum menjadi mendiang. Kepada satu-satunya buah hati, yaitu Arman

Kisah tamat telah terpredikat pada almarhum ayahnya Arman, seorang Pedagang keliling yang tiap harinya menjajakan beragam barang mainan dari kampung ke kampung. Demi Mengayuh hidup.

Tuhan Maha Tahu. Lebih tahu dari mereka yang hidup lalu menebak-nebak. Bagaimana kisah sedih itu dimulai, dan mengapa riwayat bahagia tak kunjung tiba. Sudah semestinya begitu. Dan tak perlu menjadi perdebatan panjang tentang mengapa nasib sial selalu menimpa pada sosok yang kerap tak mengenyam keberuntungan seperti ayahnya Arman.


Matahari mulai naik. Kubuk kecil tua cepat dipenuhi para pelayat. Berbela sungkawa dengan cara yang berbeda-beda. Tapi tak berbeda ketika mereka mulai memperbincangkan sosok yang ditinggalkan almarhum. Putra tunggalnya yang bernama Arman.

Di sudut rumah almarhum, di bawah dahan mangga yang patah, segerombol bapak-bapak mulai bercakap mengurai kesedihan yang mengeram kelabu di kubuk tua kecil itu.


"Sungguh malang nasib almarhum. Ia tiga tahun menjadi langganan istriku saat ingin membelikan mainan buat si bungsu ..."


Kalimat senada dari pria sebelahnya pun tak kalah sungkawa

"Bagaimana dengan si Arman? Mana ibunya tak pernah kembali. Tiada juga sekadar berkabar berimba di mana. Bagaimana pula nanti nasib bocah itu ...?"


Lelaki kedua itu lantas menghisap kreteknya dalam-dalam. Menahan lebih lama pada pori paru-parunya, lalu menghembuskan asap putih keabuan mengepul pekat dari mulutnya. Seperti sebuah kekesalan akan minat Tuhan yang tak hendak mempersolek cantik nasib keluarga almarhum.

Ambulans tiba. Tetangga bergerak cepat merumat jasad yang dikeluarkan oleh petugas yang mengiringinya dari rumah sakit. Satu penghormatan terakhir untuk seorang tetangga, untuk seorang famili jauh, untuk seorang pria yang ditinggalkan istrinya, untuk seorang lelaki yang membesarkan seorang diri anak semata wayangnya.

Mata para pelayat tak sekedar bertumpu pada sebujur jasad yang telah di bawa masuk kedalam ruang tengah. Mereka rupanya juga tertarik untuk mencari Arman. Lalu memandang dan coba merabai bagaimana pilunya hati sang bocah.

Arman berdiri dengan tatapan mata kosong. Oleh gelayut kesedihan yang teramat berat. Memang ia sudah tak menangis. Barangkali kantong air matanya sudah terlampau perih. Dan buat apa menangis lebih lama? Toh semua memang demikian harus berjalan.

Bocah itu kusut dan lesu, barangkali terlalu dalam menopang lalu lalang duka yang teramat rajam. Dengan kaos kemarin yang berubah dekil hari ini, ia genggam erat bola kaki hadiah sang Bapak yang sekarang sudah terbujur kaku siap disuci lalu dikafani.

Kubur, peristirahatan terakhir buat sang Bapak, lahat yang sempit nan gelap. Dan rumah, tempat Arman menimpakan segala luruh payahnya kehidupan. Satu lukisan hidup yang siapapun tak perlu bertanya dua kali.

"Betapa malangnya anak itu ..."

Seorang perempuan paruh baya mengenakan gamis berwarna hitam melintas di antara kerumunan pelayat. Ia datang entah dari mana dan memeluk Arman dengan tiba-tiba. Dengan sekeranjang iba begitu kasat. Menyelipkan satu amplop putih tebal ditengah rasa sedih dan keharuan mereka yang hadir.

"Tetaplah sabar ya, Nak. Sesungguhnya Allah memeluk erat seorang yatim sepertimu ..."


Arman hanya bisa merasai dingin dan hambar dari semua pelukan dan kata-kata tabah yang terus disemangatkan tak penat oleh para pelayat. Juga ia, tak bisa memaknai apa arti selipan amplop itu. Ditengah segala bela duka tak bertepi yang sangat agung merundung.

Ketika keranda mayat diangkat, terdengar suara sang Modin seusai ia membacakan doa-doa kebaikan dan pengampunan. Sekedar memastikan pada yang hidup dan kenan hadir di situ.

"Apakah semasa hidupnya, almarhum adalah orang yang baik ...?"


Suara sang Modin mengudara penuh duka

"Baaiikkk ...!"


Para pelayat menjawab sangat keras dan serempak
Sang Modin mengulangnya hingga tiga kali. Para pelayat menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Baaiikkk ...!"

Kecuali satu yang tak menjawab! Bukan tak menjawab, namun sudah tak sanggup menjawab. Ia adalah Arman!

Segala tanya bergumul dalam benak. Perihal sesuatu yang belum sempurna ia pahami. Tentang jagad manusia yang terlampau gelap untuk ia jalani pada hari sesudah ini. Tentang berjuta kesedihan yang sangat dadak menghimpit rapat jiwanya. Membingkai rapat membuat sesaknya dada di esok hari.
Arman sedikit berkomat-kamit. Sesuatu meluncur lelah dari mulut mungilnya. Barangkali itu adalah doa bekal untuk sang Bapak. Tapi bisa jadi itu justru kalimat sanggahannya yang sangat berairmata. Kalimat yang tak seorang pun tahu.

"Jika Bapak orang yang baik semasa hidupnya, kenapa ia begitu tega? Pergi untuk selamanya meninggalkan aku?"


Begitulah kira-kira betik batinnya.

Atas pertanyaan ini jika diudara keras kepada para petakziyah. Adakah yang mampu menjawab? Terkadang, bahkan satu pertanyaan tak perlu dijawab. Apalagi, ketika garis nasib sedang tak santun menyambang pada pelataran kehidupan seseorang.

Kalimat tahlil dikumandangkan seiring dengan keranda yang bergerak dipikul para pelayat menuju kompleks pekuburan. Kembang ditebar sebagai 'sawur duka'. Ada yang lebur mengiring jenazah almarhum ayahnya Arman. Orang-orang bergegas, berdesak mengikuti di belakang dengan lafal doa seadanya.

Kemudian rumah duka itu pun sepi. Hanya tanah basah di pelataran yang menampung becek. Ada kembang mawar warna merah terinjak, juga putih melati terbenam di sana-sini. Sisa air yang sedikit menggenang. Mengantarkan jasad almarhum dalam mandi terakhirnya. Berpulang kepada Sang Maha Pencipta.

Malam pun tiba, masih ada tetangga kanan-kiri berempati, satu dua di antaranya menemani bocah lelaki yang belum juga genap sepuluh tahun itu. Tiada kerabat, tak ada famili. Apalagi sang Ibu yang tiga tahun lalu tak berberita semenjak ia berpamit pergi mengais ringgit ke negeri jiran, Malaysia.
Arman akan hidup mandiri di rumah itu. Sebisanya! Menghidupi diri sendiri dengan jalan mencari nafkah yang entah.