Showing posts with label SEDIH. Show all posts
Showing posts with label SEDIH. Show all posts

Wednesday, July 24, 2019

Arman dan Air Matanya

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Ketika Jamaah sholat Subuh mulai melangkahkan kakinya keluar dari suroh, ada simbolis kedukaan yang dikibarkan melalui bendera setengah tiang di pelantaran jalan

Dari ujung jalan, kini mulai terdengar Isak tangis pecah menyelimuti kubuk kecil tua tersebut. Kecelakaan lah yang telah merenggut jiwanya kemarin sore, menyisakan cita-cita dan mimpi yang belum usai diwujudkan. Sebuah harapan dari dalam dirinya sebelum menjadi mendiang. Kepada satu-satunya buah hati, yaitu Arman

Kisah tamat telah terpredikat pada almarhum ayahnya Arman, seorang Pedagang keliling yang tiap harinya menjajakan beragam barang mainan dari kampung ke kampung. Demi Mengayuh hidup.

Tuhan Maha Tahu. Lebih tahu dari mereka yang hidup lalu menebak-nebak. Bagaimana kisah sedih itu dimulai, dan mengapa riwayat bahagia tak kunjung tiba. Sudah semestinya begitu. Dan tak perlu menjadi perdebatan panjang tentang mengapa nasib sial selalu menimpa pada sosok yang kerap tak mengenyam keberuntungan seperti ayahnya Arman.


Matahari mulai naik. Kubuk kecil tua cepat dipenuhi para pelayat. Berbela sungkawa dengan cara yang berbeda-beda. Tapi tak berbeda ketika mereka mulai memperbincangkan sosok yang ditinggalkan almarhum. Putra tunggalnya yang bernama Arman.

Di sudut rumah almarhum, di bawah dahan mangga yang patah, segerombol bapak-bapak mulai bercakap mengurai kesedihan yang mengeram kelabu di kubuk tua kecil itu.


"Sungguh malang nasib almarhum. Ia tiga tahun menjadi langganan istriku saat ingin membelikan mainan buat si bungsu ..."


Kalimat senada dari pria sebelahnya pun tak kalah sungkawa

"Bagaimana dengan si Arman? Mana ibunya tak pernah kembali. Tiada juga sekadar berkabar berimba di mana. Bagaimana pula nanti nasib bocah itu ...?"


Lelaki kedua itu lantas menghisap kreteknya dalam-dalam. Menahan lebih lama pada pori paru-parunya, lalu menghembuskan asap putih keabuan mengepul pekat dari mulutnya. Seperti sebuah kekesalan akan minat Tuhan yang tak hendak mempersolek cantik nasib keluarga almarhum.

Ambulans tiba. Tetangga bergerak cepat merumat jasad yang dikeluarkan oleh petugas yang mengiringinya dari rumah sakit. Satu penghormatan terakhir untuk seorang tetangga, untuk seorang famili jauh, untuk seorang pria yang ditinggalkan istrinya, untuk seorang lelaki yang membesarkan seorang diri anak semata wayangnya.

Mata para pelayat tak sekedar bertumpu pada sebujur jasad yang telah di bawa masuk kedalam ruang tengah. Mereka rupanya juga tertarik untuk mencari Arman. Lalu memandang dan coba merabai bagaimana pilunya hati sang bocah.

Arman berdiri dengan tatapan mata kosong. Oleh gelayut kesedihan yang teramat berat. Memang ia sudah tak menangis. Barangkali kantong air matanya sudah terlampau perih. Dan buat apa menangis lebih lama? Toh semua memang demikian harus berjalan.

Bocah itu kusut dan lesu, barangkali terlalu dalam menopang lalu lalang duka yang teramat rajam. Dengan kaos kemarin yang berubah dekil hari ini, ia genggam erat bola kaki hadiah sang Bapak yang sekarang sudah terbujur kaku siap disuci lalu dikafani.

Kubur, peristirahatan terakhir buat sang Bapak, lahat yang sempit nan gelap. Dan rumah, tempat Arman menimpakan segala luruh payahnya kehidupan. Satu lukisan hidup yang siapapun tak perlu bertanya dua kali.

"Betapa malangnya anak itu ..."

Seorang perempuan paruh baya mengenakan gamis berwarna hitam melintas di antara kerumunan pelayat. Ia datang entah dari mana dan memeluk Arman dengan tiba-tiba. Dengan sekeranjang iba begitu kasat. Menyelipkan satu amplop putih tebal ditengah rasa sedih dan keharuan mereka yang hadir.

"Tetaplah sabar ya, Nak. Sesungguhnya Allah memeluk erat seorang yatim sepertimu ..."


Arman hanya bisa merasai dingin dan hambar dari semua pelukan dan kata-kata tabah yang terus disemangatkan tak penat oleh para pelayat. Juga ia, tak bisa memaknai apa arti selipan amplop itu. Ditengah segala bela duka tak bertepi yang sangat agung merundung.

Ketika keranda mayat diangkat, terdengar suara sang Modin seusai ia membacakan doa-doa kebaikan dan pengampunan. Sekedar memastikan pada yang hidup dan kenan hadir di situ.

"Apakah semasa hidupnya, almarhum adalah orang yang baik ...?"


Suara sang Modin mengudara penuh duka

"Baaiikkk ...!"


Para pelayat menjawab sangat keras dan serempak
Sang Modin mengulangnya hingga tiga kali. Para pelayat menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Baaiikkk ...!"

Kecuali satu yang tak menjawab! Bukan tak menjawab, namun sudah tak sanggup menjawab. Ia adalah Arman!

Segala tanya bergumul dalam benak. Perihal sesuatu yang belum sempurna ia pahami. Tentang jagad manusia yang terlampau gelap untuk ia jalani pada hari sesudah ini. Tentang berjuta kesedihan yang sangat dadak menghimpit rapat jiwanya. Membingkai rapat membuat sesaknya dada di esok hari.
Arman sedikit berkomat-kamit. Sesuatu meluncur lelah dari mulut mungilnya. Barangkali itu adalah doa bekal untuk sang Bapak. Tapi bisa jadi itu justru kalimat sanggahannya yang sangat berairmata. Kalimat yang tak seorang pun tahu.

"Jika Bapak orang yang baik semasa hidupnya, kenapa ia begitu tega? Pergi untuk selamanya meninggalkan aku?"


Begitulah kira-kira betik batinnya.

Atas pertanyaan ini jika diudara keras kepada para petakziyah. Adakah yang mampu menjawab? Terkadang, bahkan satu pertanyaan tak perlu dijawab. Apalagi, ketika garis nasib sedang tak santun menyambang pada pelataran kehidupan seseorang.

Kalimat tahlil dikumandangkan seiring dengan keranda yang bergerak dipikul para pelayat menuju kompleks pekuburan. Kembang ditebar sebagai 'sawur duka'. Ada yang lebur mengiring jenazah almarhum ayahnya Arman. Orang-orang bergegas, berdesak mengikuti di belakang dengan lafal doa seadanya.

Kemudian rumah duka itu pun sepi. Hanya tanah basah di pelataran yang menampung becek. Ada kembang mawar warna merah terinjak, juga putih melati terbenam di sana-sini. Sisa air yang sedikit menggenang. Mengantarkan jasad almarhum dalam mandi terakhirnya. Berpulang kepada Sang Maha Pencipta.

Malam pun tiba, masih ada tetangga kanan-kiri berempati, satu dua di antaranya menemani bocah lelaki yang belum juga genap sepuluh tahun itu. Tiada kerabat, tak ada famili. Apalagi sang Ibu yang tiga tahun lalu tak berberita semenjak ia berpamit pergi mengais ringgit ke negeri jiran, Malaysia.
Arman akan hidup mandiri di rumah itu. Sebisanya! Menghidupi diri sendiri dengan jalan mencari nafkah yang entah.