Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019
Dari ujung jalan, kini mulai
terdengar Isak tangis pecah menyelimuti kubuk kecil tua tersebut. Kecelakaan
lah yang telah merenggut jiwanya kemarin sore, menyisakan cita-cita dan mimpi
yang belum usai diwujudkan. Sebuah harapan dari dalam dirinya sebelum menjadi
mendiang. Kepada satu-satunya buah hati, yaitu Arman
Kisah tamat telah terpredikat
pada almarhum ayahnya Arman, seorang Pedagang keliling yang tiap harinya
menjajakan beragam barang mainan dari kampung ke kampung. Demi Mengayuh hidup.
Tuhan Maha Tahu. Lebih tahu dari
mereka yang hidup lalu menebak-nebak. Bagaimana kisah sedih itu dimulai, dan
mengapa riwayat bahagia tak kunjung tiba. Sudah semestinya begitu. Dan tak
perlu menjadi perdebatan panjang tentang mengapa nasib sial selalu menimpa pada
sosok yang kerap tak mengenyam keberuntungan seperti ayahnya Arman.
Matahari mulai naik. Kubuk kecil
tua cepat dipenuhi para pelayat. Berbela sungkawa dengan cara yang
berbeda-beda. Tapi tak berbeda ketika mereka mulai memperbincangkan sosok yang
ditinggalkan almarhum. Putra tunggalnya yang bernama Arman.
Di sudut rumah almarhum, di bawah
dahan mangga yang patah, segerombol bapak-bapak mulai bercakap mengurai
kesedihan yang mengeram kelabu di kubuk tua kecil itu.
"Sungguh malang nasib
almarhum. Ia tiga tahun menjadi langganan istriku saat ingin membelikan mainan
buat si bungsu ..."
Kalimat senada dari pria
sebelahnya pun tak kalah sungkawa
"Bagaimana dengan si Arman? Mana ibunya tak pernah kembali. Tiada juga sekadar berkabar berimba di mana. Bagaimana pula nanti nasib bocah itu ...?"
Lelaki kedua itu lantas menghisap
kreteknya dalam-dalam. Menahan lebih lama pada pori paru-parunya, lalu
menghembuskan asap putih keabuan mengepul pekat dari mulutnya. Seperti sebuah
kekesalan akan minat Tuhan yang tak hendak mempersolek cantik nasib keluarga
almarhum.
Ambulans tiba. Tetangga bergerak
cepat merumat jasad yang dikeluarkan oleh petugas yang mengiringinya dari rumah
sakit. Satu penghormatan terakhir untuk seorang tetangga, untuk seorang famili
jauh, untuk seorang pria yang ditinggalkan istrinya, untuk seorang lelaki yang
membesarkan seorang diri anak semata wayangnya.
Mata para pelayat tak sekedar
bertumpu pada sebujur jasad yang telah di bawa masuk kedalam ruang tengah.
Mereka rupanya juga tertarik untuk mencari Arman. Lalu memandang dan coba
merabai bagaimana pilunya hati sang bocah.
Arman berdiri dengan tatapan mata
kosong. Oleh gelayut kesedihan yang teramat berat. Memang ia sudah tak
menangis. Barangkali kantong air matanya sudah terlampau perih. Dan buat apa
menangis lebih lama? Toh semua memang demikian harus berjalan.
Bocah itu kusut dan lesu,
barangkali terlalu dalam menopang lalu lalang duka yang teramat rajam. Dengan
kaos kemarin yang berubah dekil hari ini, ia genggam erat bola kaki hadiah sang
Bapak yang sekarang sudah terbujur kaku siap disuci lalu dikafani.
Kubur, peristirahatan terakhir
buat sang Bapak, lahat yang sempit nan gelap. Dan rumah, tempat Arman
menimpakan segala luruh payahnya kehidupan. Satu lukisan hidup yang siapapun
tak perlu bertanya dua kali.
"Betapa malangnya anak itu ..."
Seorang perempuan paruh baya
mengenakan gamis berwarna hitam melintas di antara kerumunan pelayat. Ia datang
entah dari mana dan memeluk Arman dengan tiba-tiba. Dengan sekeranjang iba
begitu kasat. Menyelipkan satu amplop putih tebal ditengah rasa sedih dan
keharuan mereka yang hadir.
"Tetaplah sabar ya, Nak. Sesungguhnya Allah memeluk erat seorang yatim sepertimu ..."
Arman hanya bisa merasai dingin
dan hambar dari semua pelukan dan kata-kata tabah yang terus disemangatkan tak
penat oleh para pelayat. Juga ia, tak bisa memaknai apa arti selipan amplop
itu. Ditengah segala bela duka tak bertepi yang sangat agung merundung.
Ketika keranda mayat diangkat,
terdengar suara sang Modin seusai ia membacakan doa-doa kebaikan dan
pengampunan. Sekedar memastikan pada yang hidup dan kenan hadir di situ.
"Apakah semasa hidupnya, almarhum adalah orang yang baik ...?"
Suara sang Modin mengudara penuh
duka
"Baaiikkk ...!"
Para pelayat menjawab sangat
keras dan serempak
Sang Modin mengulangnya hingga
tiga kali. Para pelayat menjawabnya dengan jawaban yang sama.
"Baaiikkk ...!"
Kecuali satu yang tak menjawab!
Bukan tak menjawab, namun sudah tak sanggup menjawab. Ia adalah Arman!
Segala tanya bergumul dalam
benak. Perihal sesuatu yang belum sempurna ia pahami. Tentang jagad manusia
yang terlampau gelap untuk ia jalani pada hari sesudah ini. Tentang berjuta
kesedihan yang sangat dadak menghimpit rapat jiwanya. Membingkai rapat membuat
sesaknya dada di esok hari.
Arman sedikit berkomat-kamit.
Sesuatu meluncur lelah dari mulut mungilnya. Barangkali itu adalah doa bekal
untuk sang Bapak. Tapi bisa jadi itu justru kalimat sanggahannya yang sangat
berairmata. Kalimat yang tak seorang pun tahu.
"Jika Bapak orang yang baik semasa hidupnya, kenapa ia begitu tega? Pergi untuk selamanya meninggalkan aku?"
Begitulah kira-kira betik
batinnya.
Atas pertanyaan ini jika diudara
keras kepada para petakziyah. Adakah yang mampu menjawab? Terkadang, bahkan satu
pertanyaan tak perlu dijawab. Apalagi, ketika garis nasib sedang tak santun
menyambang pada pelataran kehidupan seseorang.
Kalimat tahlil dikumandangkan
seiring dengan keranda yang bergerak dipikul para pelayat menuju kompleks
pekuburan. Kembang ditebar sebagai 'sawur duka'. Ada yang lebur mengiring
jenazah almarhum ayahnya Arman. Orang-orang bergegas, berdesak mengikuti di
belakang dengan lafal doa seadanya.
Kemudian rumah duka itu pun sepi.
Hanya tanah basah di pelataran yang menampung becek. Ada kembang mawar warna
merah terinjak, juga putih melati terbenam di sana-sini. Sisa air yang sedikit
menggenang. Mengantarkan jasad almarhum dalam mandi terakhirnya. Berpulang
kepada Sang Maha Pencipta.
Malam pun tiba, masih ada
tetangga kanan-kiri berempati, satu dua di antaranya menemani bocah lelaki yang
belum juga genap sepuluh tahun itu. Tiada kerabat, tak ada famili. Apalagi sang
Ibu yang tiga tahun lalu tak berberita semenjak ia berpamit pergi mengais
ringgit ke negeri jiran, Malaysia.
Arman akan hidup mandiri di rumah
itu. Sebisanya! Menghidupi diri sendiri dengan jalan mencari nafkah yang entah.