Penulis : R.Wijaya
Kategori : Cerpen
Aku tidak digariskan oleh langit tuk menjadi
sesosok lelaki semenjak masih di alam rahim ibuku, tapi, entah mengapa dengan
diriku,?!" Perkembangan buah dadaku amat lama membesar seperti biasanya
perempuan pada umumnya."Kata ibuku itu hal wajar sambil mengulas kepalaku.
Tidak semua perempuan mengalami pembesaran buah dada di
usianya tujuh belas tahun. Adapun yang dua puluh tahun baru benar-benar
kelihatan menonjol buah dadanya. Meski terdengar gelisah,
"aku memilih
percaya pada omongan ibuku.
Sejak itu lah rabutku selalu di
potong pendek, tapi tidak cepak seperti teman laki-lakiku. Pakaian yang
kukenakan selalu bernuansa gelap. Sebab Aku tidak terlalu suka warna cerah,
seperti merah muda atau ungu.begitu juga dengan Celanaku tidak ada yang di
bawah lutut, karena akan mengangguku saat berlari atau bermain bola
Ketiadaan buah dadaku telah
menyeretku pada dunia para lelaki yg membuatku lupa kodratku.
pernah ibuku memberiku obat
pembesar payudara. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya. Rasanya persis
kunyit rebus yang dicampur perasan parutan batang jambu biji. Pada umumnya ini
merupakan ramuan saat dilanda datang bulan dan hampir Semua teman perempuanku
pernah meminumnya, bahkan ada yang rutin sebulan sekali, sehabis haid. Tapi
ibuku bilang itu ramuan pembesar payudara. Rasanya pahit, tapi aku tetap
menenggaknya.
Tiga bulan sudah kuminum ramuan
yang di berikan oleh ibuku, tapi tidak memberikan efek.
Hanya menyisakan Kencingku
beroma kunyit, begitu pula keringatku. Banyak temanku yang
enggan duduk bersama karena keringatku yang berbau itu.
Mereka bilang baunya seperti telur busuk,
padahal aku tak pernah memakan telur busuk. Hanya ramuan kunyit untuk
membesarkan payudaraku.
Seumur- umurnya hidupku nyaris
tak pernah aku bertemu dengan perempuan berpayudara kecil. Paling kecil ya
seukuran batok kelapa muda.disamping itu, Aku juga belum pernah dibelikan beha
oleh ibuku, hanya kutang dan miniset, kaos dalam seukuran dada. Kata ibuku,
kelak nanti bila dadaku benar-benar
telah menunjukkan pertumbuhan, aku akan dibelikan lima belas pasang BH sebagai
kado kecil untukku.
Genap sudah usia ku di penghujung
tahun ini. Ritual gata-gata yang pernah ibuku ceritakan di Tahun 1960an,
bahwasanya hampir semua gadis di pesisir Tidore harus melakukan ritual
gata-gata, menahan sakit saat payudaranya ditekan dengan bambu panas, konan
katanya ritual itu untuk mengecilkan payudara anak gadis, agar para gadis tidak
segampang- gampang nya menggoda dan menaklukan pria kala itu, dan ibuku adalah
korban dari ritual gata- gata.
Meski begitu, punya ibu lebih
besar dibanding buah dadaku.
Tiga puluh tahun telah berjalan
ritual gata- gata kian mulai lenyap berlahan-lahan, akibat penyuluhan kesehatan
membeberkan segala macam penyakit mematikan, termasuk kanker payudara.
Tidak heran,
jikalau gadis zaman sekarang memiliki payudara sebesar mangkok bakso,
kecuali aku," Aswita Goslaow.
Banyak sekali gurauan dan dugaan
yang mereka katakan padaku.Tapi tak ada satu pun yang kupedulikan. Aku bukan
laki-laki yang terperangkap dalam jasmani perempuan. Aku tetaplah perempuan,
kemaluanku tidak memanjang, meski payudaraku tidak kunjung membesar.
Pernah pun kutanya pada ibuku dan
ayahku, apa benar mereka menantikan anak perempuan saat menunggu kelahiranku.
Dua-duanya menjawab tidak. Karena bagi mereka, anak adalah anugrah dan titipan
terindah dari Tuhan, tak peduli kelamin apa yang Ia berikan. Semenjak mendengar
jawaban itu, aku tak lagi peduli perkataan tetangga dan teman-temanku. Karena
sejak kecil, aku memang perempuan, dan aku akan selalu ingin menjadi perempuan.
Malam telah tiba, cahaya bulan
tampak bersinar terang di langit Zajirah Al- Muluk, menandakan sebentar lagi
Tidore akan berumur 112 tahun. Dan di Tanggal dua belas nanti akan diadakan
upacara adat dan pertunjukkan tradisional.
Setiap kampung diharuskan mengadakan upacara
adatnya sendiri- sendiri serta turut mengikutkan dua pemudanya dalam
arak-arakan pawai obor kesultanan nantinya.
Setiap tahun acara ini begitu diminati warga.
Bahkan, selain ramadhan, inilah momen ketika semua kampung bisa berkumpul dan
silaturahmi.
Biasanya para gadis diwajibkan
memakai kebaya adat berwarna putih dan jarik cokelat bercorak batik. Tidak
boleh memakai bedak, pengharum, atau pewarna bibir; kecuali bagi mereka yang
menari. Semuanya diharuskan mengikuti model tempo dulu. Bahkan tepat pada
tanggal 12 April, semua listrik sengaja dipadamkan hingga esok hari.
Ibuku bilang suasana seperti itu
mengingatkannya tentang masa kecil. Saat cerita tentang Nuku dan
panglima-panglima tempur masih dijadikan dongeng pengantar tidur. Saat nasi
adalah makanan paling mahal. Dikala sarapan dan makan malam selalu dihiasi menu
yang sama; ubi jalar dan singkong rebus. Atau menikmati senja dengan sepiring
pisang rebus dan air guraka saat menjelang sore.
Itulah sebabnya saat perayaan ulang tahun
kota, ibuku enggan memasak nasi. Meja makan kami akan dipenuhi sayuran dari
kebun.
“Hanya setahun sekali kita bisa
mengulang kenangan, ” ujar ibuku padaku.
Dia adalah satu-satunya orang yang tetap
memanggilku dengan nama," Ewi. Semenjak papaku telah mengubah namaku tujuh
tahun lalu.
Salah satu pertunjukkan
tradisional yang akan diselenggarakan adalah badabus. Kami menyebutnya ratib
badabus. Upacara ini dilaukan untuk mengirimkan salawat kepada nabi dan para
sahabatnya, serta meneruskan budaya yang diwariskan oleh Syeikh Abdul Kadir
Djaelani. Semua orang boleh mengikuti badabus. Satu hal yang menarik dari
badabus adalah proses menikam dada. Ada satu alat khusus yang dibuat besi untuk
menikam dada. Upacara ini sangat bergengsi di kalangan lelaki.
“Kau ikut badabus nanti, as?”
tanya Rian temanku, saat kami sudah berkumpul di balai.
Aku tak tahu. Rian masih
memandang, menunggu jawaban. Tapi aku diam saja. Ketidaktahuanku bukan sesuatu
yang dia harapkan. Semua pemuda kampung wajib berpartisipasi dalam upacara adat
dan pertunjukkan tradisional.
Dan aku tak tahu tempat apa yang
pantas aku isi.
“Ikut, mungkin,” jawabku
kurang yakin.
“Atau jangan-jangan kau akan
menari,” Rian curiga.
Aku menjauh, lalu menggeleng. “Aku
pulang dulu. Ibuku sendiri di rumah. Kabarkan aku besok, ya.
Dalam perjalanan pulang, aku
bergelut dengan pikiranku. Dulu, saat aku tidak begitu memikirkan pengaruhku
pada lingkungan sekitar, aku tidak pernah berpikir bahwa pertunjukkan
tradisional mampu membuatku bimbang. Aku tidak pandai menari, badanku terlalu
kaku untuk gerakkan mendayu-dayu. Pun aku tidak mungkin turut dalam badabus.
Walaupun tidak diharuskan membuka baju, tetap aneh rasanya bila menusuk-nusuk
dadaku yang rata ini dengan besi.
Aku menangis, lima ratus meter
dari rumah. Perjanalan tidak kuteruskan. Aku tidak mau bertemu ibu dalam
keadaan menangis. Jika saja aku adalah Ewi, Aswita Goslaow, bukan As, menangis
adalah hal yang wajar bagi perempuan.
“Kau menari saja, As,”
kata Ami, salah satu teman perempuanku.
Ami pandai sekali menari. Sudah
empat tarian tradisional yang ia kuasai. Guru kampung gemar sekali
membanggakannya setiap kali membuka kelas tari di balai. Setiap kali melihatku
duduk di barisan belakang, guru kampung akan melengos tak senang. Karena
kehadiranku akan merusak pemadangan tarian. Jadilah aku sering dibiarkan jadi
penabuh tifa atau pesorak di pinggiran.
“Jangan. Aku tidak sepandai kau.”
“Kalau begitu penabuh tifa saja.
Seperti biasa.”
“Tarian apa yang akan kalian
bawakan?”
“Lalayon.”
Aku kembali menggeleng. Tarian
lalayon memerlukan irama yang khas dan senada dengan penyanyi. Aku belum terbiasa
menyeimbangkan kedua hal itu. Karena setiap kali menabuh tifa di balai, guru
kampung tidak pernah menghadirkan seorang penyanyi untuk berlatih bersama.
Kutolak tawaran Ami, aku takut kehadiranku justru mengganggu seluruh penari dan
penyanyi sekaligus.
“Atau kau bisa bergabung dengan
adik kelas kau. Mereka akan menari dana-dana.”
Sejak pertama kali mengikuti
kelas tari di balai, aku senang betul dengan dana-dana. Gerakkannya mudah,
musiknya pun tidak lama. Tapi, tarian itu hanya boleh untuk pemula. Bila sudah
enam bulan mengikuti kelas, jenis tarian harus diganti yang lebih sulit.
“Aku tidak yakin guru kampung mau
memberiku tempat.”
Saat aku berulang kali meragukan
tawaran Ami, anak-anak yang lain sudah bersiap-siap dan bersolek. Pakaian adat
yang disewa dari salon para banci terlihat pas di tubuh mereka yang berisi.
Terlebih lagi pupur dan pewarna bibir dari daun delima.
Aku iri. Tanpa pikir panjang aku
menghampiri guru kampung. Aku ingin menari. Apa saja. Asalkan aku berada di
antara para perempuan. Asalkan aku memakai baju adat putih, pupur, dan pewarna
bibir daun delima. Asalkan aku tidak menjadi as malam itu. Cukup Ewi.Aswita
Goslaow
Tapi guru kampung menggeleng
cepat. Bahkan ia tak melihat tekad dalam mataku. Dia sibuk menyiapkan keperluan
tarian. Waktu pertunjukkan sudah dekat. Wajar bila dia tidak mempedulikan
permintaanku. Aku masih berdiri di sampingnya, hingga dia berjalan ke ruang
rias. Aku tak mau badabus, tapi aku ingin bergabung dalam pertunjukkan
tradisional.
Aku kembali pulang dalam keadaan
menangis. Rumah kosong, sepi. Ibu dan papaku sedang berada di kursi penonton.
Hanya satu lampu yang menyala di rumah. Aku masuk dengan lunglai. Deru tifa
terdengar dari jauh. Salawat terdengar samar-samar. Langkahku langsung menuju
kamar.
Aku mulai bersolek. Baju hitam
dan celana jeans corak tentara sudah kutanggalkan. Kuganti dengan baju adat
ibu. Aku tidak memakai pewarna bibir daun delima. Ibuku punya seperangkat alat
rias yang dibeli dari pasar kaget dua bulan lalu. Aku berdandan menor. Tak
peduli bila riasan itu tak rata atau tak senada warnanya. Yang penting riasan
itu mampu memperlihatkan sisi kewanitaanku. Tidak peduli bila aku lebih mirip
banci salon dibanding Ami dan para penari itu.
Papaku pernah menyimpan dua alat
badabus di gudang rumah. Waktu remaja papa adalah pemimpin ratib badabus.
Seminggu sekali ia selalu bertandang dari satu rumah ke rumah untuk memimpin
kegiatan adat itu. Pernah beberapa kali ayah mengajarkanku bagaimana badabus
dengan baik, agar rasa sakit tidak terlalu mengganggu konsentrasi.
Dengan dandanan menor, dengan
baju adat ibuku, dengan alat badabus ayahku, aku berdiri di teras rumah.
Berusaha mengikuti irama tabur tifa dan salawat dari kejauhan. Di ketukan
kelima, aku mulai menusuk dadaku sendiri. Aku larut dalam penyerahan diri yang
memabukkan. Darah mulai menetes ke lantai. Baju putih mulai bernoda. Aku
menangis. Samar-samar kurasakkan payudaraku membesar, mendesak kancing kebaya.
Ada buncah bahagia di hati. Kuberikan tekanan yang lebih besar setiap kali
badabus. Bila rasa sakit yang ditimbulkan bisa membesarkan payudaraku, aku tak
peduli bila dadaku dipenuhi luka tusukkan. Aku tak peduli bila sakit yang
kurasakan bisa mencandukkan
Aku hanya ingin menyerahkan
diriku dalam sebagai perempuan seutuhnya. Saat guru kampung tidak menerima
kehadiranku di antara para penari berbibir merah delima, saat masyarakat masih
memandang tabu kehadiran seorang perempuan di antara para pedabus lelaki, di
sinilah aku. Di teras rumah. Mempersembahkan dua pertunjukkan tradisional dalam
wujud seutuhnya.
0 comments:
Post a Comment