Wednesday, July 24, 2019

Lantunan Dabus Dalam Hiruk Pikuk Kehidupan Aswita


Penulis : R.Wijaya
Kategori : Cerpen

 Aku tidak digariskan oleh langit tuk menjadi sesosok lelaki semenjak masih di alam rahim ibuku, tapi, entah mengapa dengan diriku,?!" Perkembangan buah dadaku amat lama membesar seperti biasanya perempuan pada umumnya."Kata ibuku itu hal wajar sambil mengulas kepalaku.

Tidak semua  perempuan mengalami pembesaran buah dada di usianya tujuh belas tahun. Adapun yang dua puluh tahun baru benar-benar kelihatan menonjol buah dadanya. Meski terdengar gelisah, 
"aku memilih percaya pada omongan ibuku.

Sejak itu lah rabutku selalu di potong pendek, tapi tidak cepak seperti teman laki-lakiku. Pakaian yang kukenakan selalu bernuansa gelap. Sebab Aku tidak terlalu suka warna cerah, seperti merah muda atau ungu.begitu juga dengan Celanaku tidak ada yang di bawah lutut, karena akan mengangguku saat berlari atau bermain bola

Ketiadaan buah dadaku telah menyeretku pada dunia para lelaki yg membuatku lupa kodratku.
pernah ibuku memberiku obat pembesar payudara. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya. Rasanya persis kunyit rebus yang dicampur perasan parutan batang jambu biji. Pada umumnya ini merupakan ramuan saat dilanda datang bulan dan hampir Semua teman perempuanku pernah meminumnya, bahkan ada yang rutin sebulan sekali, sehabis haid. Tapi ibuku bilang itu ramuan pembesar payudara. Rasanya pahit, tapi aku tetap menenggaknya.

Tiga bulan sudah kuminum ramuan yang di berikan oleh ibuku, tapi tidak memberikan efek.

Hanya menyisakan Kencingku beroma  kunyit,  begitu pula keringatku. Banyak temanku yang enggan duduk bersama karena keringatku yang berbau itu.

Mereka bilang baunya seperti telur busuk, padahal aku tak pernah memakan telur busuk. Hanya ramuan kunyit untuk membesarkan payudaraku.

Seumur- umurnya hidupku nyaris tak pernah aku bertemu dengan perempuan berpayudara kecil. Paling kecil ya seukuran batok kelapa muda.disamping itu, Aku juga belum pernah dibelikan beha oleh ibuku, hanya kutang dan miniset, kaos dalam seukuran dada. Kata ibuku, kelak nanti  bila dadaku benar-benar telah menunjukkan pertumbuhan, aku akan dibelikan lima belas pasang BH sebagai kado kecil untukku.

Genap sudah usia ku di penghujung tahun ini. Ritual gata-gata yang pernah ibuku ceritakan di Tahun 1960an, bahwasanya hampir semua gadis di pesisir Tidore harus melakukan ritual gata-gata, menahan sakit saat payudaranya ditekan dengan bambu panas, konan katanya ritual itu untuk mengecilkan payudara anak gadis, agar para gadis tidak segampang- gampang nya menggoda dan menaklukan pria kala itu, dan ibuku adalah korban dari ritual gata- gata.

Meski begitu, punya ibu lebih besar dibanding buah dadaku. 

Tiga puluh tahun telah berjalan ritual gata- gata kian mulai lenyap berlahan-lahan, akibat penyuluhan kesehatan membeberkan segala macam penyakit mematikan, termasuk kanker payudara.

Tidak heran,  jikalau gadis zaman sekarang memiliki payudara sebesar mangkok bakso, kecuali aku," Aswita Goslaow.

Banyak sekali gurauan dan dugaan yang mereka katakan padaku.Tapi tak ada satu pun yang kupedulikan. Aku bukan laki-laki yang terperangkap dalam jasmani perempuan. Aku tetaplah perempuan, kemaluanku tidak memanjang, meski payudaraku tidak kunjung membesar.

Pernah pun kutanya pada ibuku dan ayahku, apa benar mereka menantikan anak perempuan saat menunggu kelahiranku. Dua-duanya menjawab tidak. Karena bagi mereka, anak adalah anugrah dan titipan terindah dari Tuhan, tak peduli kelamin apa yang Ia berikan. Semenjak mendengar jawaban itu, aku tak lagi peduli perkataan tetangga dan teman-temanku. Karena sejak kecil, aku memang perempuan, dan aku akan selalu ingin menjadi perempuan.

Malam telah tiba, cahaya bulan tampak bersinar terang di langit Zajirah Al- Muluk, menandakan sebentar lagi Tidore akan berumur 112 tahun. Dan di Tanggal dua belas nanti akan diadakan upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Setiap kampung diharuskan mengadakan upacara adatnya sendiri- sendiri serta turut mengikutkan dua pemudanya dalam arak-arakan pawai obor kesultanan nantinya.

Setiap tahun acara ini begitu diminati warga. Bahkan, selain ramadhan, inilah momen ketika semua kampung bisa berkumpul dan silaturahmi.

Biasanya para gadis diwajibkan memakai kebaya adat berwarna putih dan jarik cokelat bercorak batik. Tidak boleh memakai bedak, pengharum, atau pewarna bibir; kecuali bagi mereka yang menari. Semuanya diharuskan mengikuti model tempo dulu. Bahkan tepat pada tanggal 12 April, semua listrik sengaja dipadamkan hingga esok hari.

Ibuku bilang suasana seperti itu mengingatkannya tentang masa kecil. Saat cerita tentang Nuku dan panglima-panglima tempur masih dijadikan dongeng pengantar tidur. Saat nasi adalah makanan paling mahal. Dikala sarapan dan makan malam selalu dihiasi menu yang sama; ubi jalar dan singkong rebus. Atau menikmati senja dengan sepiring pisang rebus dan air guraka saat menjelang sore.

Itulah sebabnya saat perayaan ulang tahun kota, ibuku enggan memasak nasi. Meja makan kami akan dipenuhi sayuran dari kebun.

“Hanya setahun sekali kita bisa mengulang kenangan, ” ujar ibuku padaku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tetap memanggilku dengan nama," Ewi. Semenjak papaku telah mengubah namaku tujuh tahun lalu.

Salah satu pertunjukkan tradisional yang akan diselenggarakan adalah badabus. Kami menyebutnya ratib badabus. Upacara ini dilaukan untuk mengirimkan salawat kepada nabi dan para sahabatnya, serta meneruskan budaya yang diwariskan oleh Syeikh Abdul Kadir Djaelani. Semua orang boleh mengikuti badabus. Satu hal yang menarik dari badabus adalah proses menikam dada. Ada satu alat khusus yang dibuat besi untuk menikam dada. Upacara ini sangat bergengsi di kalangan lelaki.

“Kau ikut badabus nanti, as?” tanya Rian temanku, saat kami sudah berkumpul di balai.

Aku tak tahu. Rian masih memandang, menunggu jawaban. Tapi aku diam saja. Ketidaktahuanku bukan sesuatu yang dia harapkan. Semua pemuda kampung wajib berpartisipasi dalam upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Dan aku tak tahu tempat apa yang pantas aku isi.

“Ikut, mungkin,” jawabku kurang yakin.
“Atau jangan-jangan kau akan menari,” Rian curiga.

Aku menjauh, lalu menggeleng. “Aku pulang dulu. Ibuku sendiri di rumah. Kabarkan aku besok, ya.

Dalam perjalanan pulang, aku bergelut dengan pikiranku. Dulu, saat aku tidak begitu memikirkan pengaruhku pada lingkungan sekitar, aku tidak pernah berpikir bahwa pertunjukkan tradisional mampu membuatku bimbang. Aku tidak pandai menari, badanku terlalu kaku untuk gerakkan mendayu-dayu. Pun aku tidak mungkin turut dalam badabus. Walaupun tidak diharuskan membuka baju, tetap aneh rasanya bila menusuk-nusuk dadaku yang rata ini dengan besi.

Aku menangis, lima ratus meter dari rumah. Perjanalan tidak kuteruskan. Aku tidak mau bertemu ibu dalam keadaan menangis. Jika saja aku adalah Ewi, Aswita Goslaow, bukan As, menangis adalah hal yang wajar bagi perempuan.

“Kau menari saja, As,” kata Ami, salah satu teman perempuanku.

Ami pandai sekali menari. Sudah empat tarian tradisional yang ia kuasai. Guru kampung gemar sekali membanggakannya setiap kali membuka kelas tari di balai. Setiap kali melihatku duduk di barisan belakang, guru kampung akan melengos tak senang. Karena kehadiranku akan merusak pemadangan tarian. Jadilah aku sering dibiarkan jadi penabuh tifa atau pesorak di pinggiran.

“Jangan. Aku tidak sepandai kau.”
“Kalau begitu penabuh tifa saja. Seperti biasa.”
“Tarian apa yang akan kalian bawakan?”
“Lalayon.”

Aku kembali menggeleng. Tarian lalayon memerlukan irama yang khas dan senada dengan penyanyi. Aku belum terbiasa menyeimbangkan kedua hal itu. Karena setiap kali menabuh tifa di balai, guru kampung tidak pernah menghadirkan seorang penyanyi untuk berlatih bersama. Kutolak tawaran Ami, aku takut kehadiranku justru mengganggu seluruh penari dan penyanyi sekaligus.

“Atau kau bisa bergabung dengan adik kelas kau. Mereka akan menari dana-dana.”

Sejak pertama kali mengikuti kelas tari di balai, aku senang betul dengan dana-dana. Gerakkannya mudah, musiknya pun tidak lama. Tapi, tarian itu hanya boleh untuk pemula. Bila sudah enam bulan mengikuti kelas, jenis tarian harus diganti yang lebih sulit.

“Aku tidak yakin guru kampung mau memberiku tempat.”
Saat aku berulang kali meragukan tawaran Ami, anak-anak yang lain sudah bersiap-siap dan bersolek. Pakaian adat yang disewa dari salon para banci terlihat pas di tubuh mereka yang berisi. Terlebih lagi pupur dan pewarna bibir dari daun delima.
Aku iri. Tanpa pikir panjang aku menghampiri guru kampung. Aku ingin menari. Apa saja. Asalkan aku berada di antara para perempuan. Asalkan aku memakai baju adat putih, pupur, dan pewarna bibir daun delima. Asalkan aku tidak menjadi as malam itu. Cukup Ewi.Aswita Goslaow
Tapi guru kampung menggeleng cepat. Bahkan ia tak melihat tekad dalam mataku. Dia sibuk menyiapkan keperluan tarian. Waktu pertunjukkan sudah dekat. Wajar bila dia tidak mempedulikan permintaanku. Aku masih berdiri di sampingnya, hingga dia berjalan ke ruang rias. Aku tak mau badabus, tapi aku ingin bergabung dalam pertunjukkan tradisional.

Aku kembali pulang dalam keadaan menangis. Rumah kosong, sepi. Ibu dan papaku sedang berada di kursi penonton. Hanya satu lampu yang menyala di rumah. Aku masuk dengan lunglai. Deru tifa terdengar dari jauh. Salawat terdengar samar-samar. Langkahku langsung menuju kamar.
Aku mulai bersolek. Baju hitam dan celana jeans corak tentara sudah kutanggalkan. Kuganti dengan baju adat ibu. Aku tidak memakai pewarna bibir daun delima. Ibuku punya seperangkat alat rias yang dibeli dari pasar kaget dua bulan lalu. Aku berdandan menor. Tak peduli bila riasan itu tak rata atau tak senada warnanya. Yang penting riasan itu mampu memperlihatkan sisi kewanitaanku. Tidak peduli bila aku lebih mirip banci salon dibanding Ami dan para penari itu.

Papaku pernah menyimpan dua alat badabus di gudang rumah. Waktu remaja papa adalah pemimpin ratib badabus. Seminggu sekali ia selalu bertandang dari satu rumah ke rumah untuk memimpin kegiatan adat itu. Pernah beberapa kali ayah mengajarkanku bagaimana badabus dengan baik, agar rasa sakit tidak terlalu mengganggu konsentrasi.
Dengan dandanan menor, dengan baju adat ibuku, dengan alat badabus ayahku, aku berdiri di teras rumah. Berusaha mengikuti irama tabur tifa dan salawat dari kejauhan. Di ketukan kelima, aku mulai menusuk dadaku sendiri. Aku larut dalam penyerahan diri yang memabukkan. Darah mulai menetes ke lantai. Baju putih mulai bernoda. Aku menangis. Samar-samar kurasakkan payudaraku membesar, mendesak kancing kebaya. Ada buncah bahagia di hati. Kuberikan tekanan yang lebih besar setiap kali badabus. Bila rasa sakit yang ditimbulkan bisa membesarkan payudaraku, aku tak peduli bila dadaku dipenuhi luka tusukkan. Aku tak peduli bila sakit yang kurasakan bisa mencandukkan

Aku hanya ingin menyerahkan diriku dalam sebagai perempuan seutuhnya. Saat guru kampung tidak menerima kehadiranku di antara para penari berbibir merah delima, saat masyarakat masih memandang tabu kehadiran seorang perempuan di antara para pedabus lelaki, di sinilah aku. Di teras rumah. Mempersembahkan dua pertunjukkan tradisional dalam wujud seutuhnya.

0 comments:

Post a Comment