Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Fiksi | Cerpen
Saudaraku dibalik jeruji besi,
kau sudah sekian kalinya nyaris tak melihat indahnya matahari terbit dan
tenggelam dari balik ruang dua kali dua yang di sekat penuh lembab tersebut.
Pastinya aku tau, kau enggan
menghitungnya seberapa banyak bola api raksasa itu, luput dan berlalu dari
pandanganmu.
Saudaraku, kuberitahu padamu
Matahari tak pernah berubah. Ia senantiasa terbit dan tenggelam. Tapi, ada
narasi yang harus kau ketahui. Sebuah narasi yang liris tentang perjalanan
hidup. Sebuah narasi tentang penderitaan yang teramat sangat.
Terakhir, tahun 2016, seroang
kawan datang padaku dan menyampaikan kabar bahwa kau menanggung sakit usai
dikeroyok sesama tahanan perkara tempat tidur. Sekejap perasaan antara sedih
dan marah berkecamuk di jiwaku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya
membayangkan betapa perihnya luka di sekujur tubuh. Dari wajah hingga kaki.
Lima orang bukanlah jumlah yang sedikit. Dan sebagai sebuah konsekuensi, kau
harus menerimanya.
Dua tahun sudah kini. Bagaimana
kabarmu? Siapa yang tahu? Kawan itu sudah pergi. Entah di mana kini ia. Kau
tahu, Saudara, Mamak mulai sakit-sakitan. Ia menjatuhkan air matanya ketika
membaca tulisanku tentangmu. Maka tahulah aku, betapa Mamak merindukanmu.
Sebusuk-busuknya daging busuk, kau tetaplah anaknya! Bukan begitu?
Aku bukan saudara kecilmu lagi.
Aku sudah tumbuh menjadi apa yang kukehendaki. Tak perlu kau tahu apa itu.
Namun meski aku sudah begini adanya, memoar-memoar yang pernah terjadi di hidup
kita tak pernah berhenti datang.
Kadang ketika aku melihat seorang
anak kecil bersama sang abang, aku ingat satu memoar ini:
Ingat kau? Kalau suatu kali kita
pernah lari tergapah-gopoh karena dikejar beberapa ekor anjing yang sedang
lapar, yang hendak mengambil ikan yang kita jual? Masih ingat kau? Kadang kalau
ingat memoar itu aku tertawa. Namun setelah itu, aku kembali menghela napas.
Karena sepulang dari jual ikan, Mamak tak ada di rumah. Ia sedang pergi ke
rumah Nenek mengambil beras. Saat itu senja dan hujan. Dan kita sama-sama
menanggung lapar.
Tapi memoar tetaplah memoar,
Saudara. Ada yang liris. Ada yang manis. Bukankah memang begitu bunga
kehidupan?
Waktu dewasa ini, Saudara,
rupanya apa yang kubayangkan sejak kecil--bahwa kehidupan akan indah pada
waktunya, semuanya takhayul. Tak ada keindahan yang kutemukan. Hanya ada
penderitaan yang jauh lebih lengkap dari yang pernah kurasakan. Dan sekarang
aku hidup di kota. Tempat paling suram dan mengerikan.
Kau bayangkan saja, Saudara.
Nyaris setiap menit ada saja penderitaan yang tiba dengan wajah lain.
Perampasan lahan, pembunuhan, pembantaian orang oleh orang, pelacuran
identitas, pemerkosaan anak perempuan dan perempuan remaja, dan seterusnya. Dan
seterusnya.
Dan Mama, Saudaraku, dan Mama,
makin jarang kulihat ia tersenyum. Terlalu masak pikiran dan tubuhnya dihajar
penderitaan baik oleh keadaan (kekacauan ekonomi-politik) dan perampasan hak
bertahan hidup. Kupikir itulah penyebab ia sakit-sakitan kini. Tapi diam-diam
aku kerap berdoa untuknya. Tanpa Mamak apalah hidup ini artinya.
Saudaraku, selama aku hidup di
kota tua yang kelam dan mengerikan ini, aku semacam berada dalam lingkaran
setan. Ya, seperti ceritamu! Kau masih ingat? Ah, jangan bilang kau lupa!
Lingkaran setan yang kau ceritakan malam-malam sepulang kita jualan bibit
cengkeh
Begini ceritamu kalau aku tak
salah ingat :
Malam itu angin dingin berhembus.
Suara dedaunan yang digesek angin, menyerupai suara manusia yang memanggil.
Malam itu aku kedinginan. Dan betul, aku mendengar suara gelak tawa orang
banyak. Namun jauh.
Aku bangkit dan menyusul suara
itu. Suara itu makin jauh, makin jauh, hingga akhirnya aku sampai di sebuah
kolam yang merah airnya. Di situlah aku melihat orang melingkariku. Orang-orang
yang tak menginjak bumi. Dan wajah mereka menyerupai binatang.
Lututku bergetar. Suaraku tak
mampu keluar. Energiku seakan habis. Akhirnya aku tak sadarkan diri.
Nah, Saudaraku. Kini aku
merasakan hal yang sama. Aku berada dalam lingkaran setan. Lingkaran setan
berwujud manusia yang dengan kekuasaannya menindas manusia lainnya yang
dimiskinkan yang hidup di jantung kota atau di pinggiran kota. Dan di antara
orang yang dimiskinkan itu, aku melihat keluarga kita. Ada Mama, kau, dan dua
adik kita.
Lututku bergetar. Aku marah. Tapi
tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhku seakan kehilangan daya dan upaya. Aku hanya
melihat. Dan melihat! Ah, Saudaraku Jika kau ada di sini tentu sudah kau hantam
aku dengan kepalan tanganmu!
"Bahkan, dalam keramaian
yang paling riuh,
selalu dapat kudengar derit daun
jendela penderitaan, yang terayun-ayun angin rindu Keadilan. Sesekali,
kutuliskan derita cinta dan perjuangan pada jalan sunyi. Biar kelak di suatu
ketika, cinta dan perjuangan anak jalanan mekar di sepanjang musim.
Kusudahi dulu surat ini,
Saudaraku.Jika masih ada umur, akan kutulis surat selanjutnya untukmu
0 comments:
Post a Comment