Sunday, August 4, 2019

Percakapan Dua Lelaki Terpenjara


Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen | Fiksi


Siang ini adalah hari yang ke sepuluh, aku berada di Lapas ini.
Semua rentetan kejadian terasa begitu cepat berlalu. Namun tidak untuk hari-hariku mendekam di penjara sialan ini.

Di sini waktu terasa begitu lambat berputar. Kehidupan sampah di antara para bajingan, membuatku frustasi. Namun aku sadar, aku juga seorang bajingan seperti mereka.

Di antara bajingan itulah kini tempatku. Bahkan aku harus berbagi tikar dengan seorang pembunuh. Sama sepertiku, yang telah membunuh delapan manusia sekali tabrak. Bajingan memang, atau apalah aku ini. Aku sudah tak mau pusing memikirkan sebutan apa yang tepat untukku.

Dulunya aku kuliah. Sampai bapak berkata padaku;
"Buat apa kamu kuliah hah? Kuliah cuma bikin kita tambah miskin!" Aku tirukan kata-kata bapak padaku.

Itu terngiang samapai saat ini.
"Jadi itu alasanmu jadi kriminal? Dan ada di sini bersamaku?" Tanya Waris, teman satu selku.
"Sebenarnya bukan itu. Ada cerita panjang sampai aku ada di sini."

"Ceritakanlah untukku. Mungkin bisa kutulis dan jadi sebuah cerita yang menarik." Kata Waris sambil sedikit terkekeh.

"Tak ada yang menarik dari cerita ini. Selepas aku berhenti kuliah, aku lebih suka menyendiri di kamar. Merancang bom, untuk meledakkan kampusku. Atau merencanakan demo besar-besaran di jalan," kataku sambil tertawa. Merasa lucu dengan leluconku sendiri.

"Ayolah bung ... Ceritakan saja. Kita ini senasib," katanya, sambil menyodorkan puntung rokok yang masih menyala.

Kuambil, kuhisap, lalu asapnya kuhempaskan perlahan.

"Hidupku dulu nyaris terasa sempurna. Aku punya istri cantik, pekerjaan yang lumayan. Anak yang lucu. Tapi semua itu terasa hilang, hanya karena lelucon isi celana dalam. Istriku selingkuh. Aku mulai suka mabuk-mabukan. Sampai melakukan seks dengan sembarang perempuan. Namun ada seorang gadis yang membuatku kembali hidup. Rahma namanya. Tapi pada akhirnya dia kembali membuatku menjadi mayat hidup. Dan aku membunuhnya pagi itu, bersama dengan pria yang telah merenggut istriku, dan juga Rahma dari hidupku."

"Ceritamu membuat perutku tersa terpelintir bung. Aku paham amarah dan sakit yang kau rasakan. Aku juga membunuh untuk alasan yang sama. Aku membunuh istriku dan selingkuhannya di hotel. Aku puas melakukan itu."

"Kau memang bajingan Ris." Kataku sambil mengelengkan kepala.

"Apa lagi yang bisa kulakukan bung? Harga diriku sudah terinjak-injak sebagai laki-laki."

"Aku sudah lupa, apa itu harga diri. Bagiku itu hanya omong kosong. Hidupku hancur. Apa lagi yang bisa kuharap di luar sana. Kecuali satu hal yang masih tersisa. Anakku. Hanya dia yang ada di kepalaku sekarang."

"Aku tak punya anak. Ini mungkin perbedaan kita bung. Tapi aku percaya anakkmu akan tetap mengingatmu sebagai bajingan, yang masuk penjara. Dan itu pasti, pasti membebaninya bung."

"Bangsat!!!!" aku berteriak, memgangi kepalaku yang tersa berputar-putar mendengar perkataan Waris, "Aku memang goblok! Tolol! Sampai semua ini terjadi. Kau mungkin benar."

Aku terdiam cukup lama, ada rasa yang begitu getir dalam dadaku. Mataku mulai nanar, dan anaganku mulai menapaki kejadian-kejadian di masa lalu. Hidupku yang bahagia. Hari-hari itu tak mungkin kembali.

"Sudahlah bung ... Untuk apa kau menyesal hah? Memang dengan menyesal dunia akan mengampunimu hah? Tidak! Duniamu tetap akan menghukummu bertubi-tubi. Jadilah bajingan yang kuat! Hidup kita bukan untuk menyesal. Keluarlah dari tempat ini, rebut kembali hidupmu bung!"

"Kenapa bukan kau saja! Hah? Kenapa kau masih tetap di sini?" sergahku.

"Aku akan mati di lapangan tembak. Dan itu kenyataannya bung. Lagi pula apa yang harus aku kejar di luar sana? Kau berbeda. Pikirkan tentang anakkmu. Aku tak punya siapapun di luar sana."

"Tapi bagaimana caranya? Kita ini di penjara. Hukumanku masih dua puluh tahun lagi. Itu pun jika masih hidup."

"Aku tau kau punya banyak uang bung. Apa yang tak bisa dilakukan uang hah?"

"Uang? Kau pikir aku banyak uang? Aku ini kere, kere dan tukang mabuk."

"Sudahlah bung. Kau jangan pura-pura. Aku tau kau sebentar lagi dibebaskan. Itu yang aku dengar dari kepala penjara tadi pagi."

"Omong kosong! Kau jangan bercanda Ris. Manamungkin itu terjadi? Aku tak punya apapun untuk membeli kebebasanku."

"Bukan kau bung. Ada orang lain, dia yang membebaskanmu.

"Siapa dia? Istriku? Itu tak mungkin."

Waris mengacungkan telunjuknya ke arahku.

"Dia yang membaskanmu."

Aku berbalik. Dan kulihat ada seorang wanita berdiri di balik jeruji selku. Wajah tak asing bagiku. Wajah keras, namun tetap cantik untuk ukuran seorang polwan. Erlani, aku ingat dia. Dia istri bajingan yang kutabrak. Tak mungkin dia akan membebaskanku.
Aku berdiri berhadapan dengannya.

"Aku akan membebaskanmu." Katanya tanpa basa-basi.

"Untuk apa?" kataku.

"Besok saja kau tanyakan itu. Besok kau sudah bisa keluar. Temuai aku besok jam delapan malam di restoran sebelah kantorku." Dia berkata dan pergi begitu saja. Tanpa menunggu jawabanku.

Jeritan Jelata


Karya By : Rahmat Sangaji

Kali-kali mengalirkan kata-kata bau busuk, hujat alam pada dada dan kepala yang kian dangkal.

Sementara para pesorak sibuk memunguti muntahan kata-kata bualan dalam sukacita yang imitasi.

Sementara para pendoa sibuk meminta rasa cukup, dan lupa tetangganya kemarin mati satu demi satu, sebab tak punya nasi barang sebiji.

Para pemegang kepala mulai merasa ngantuk, dan tak ingin melepaskan tangan dari kepala, sementara matanya terpejam sedikit barang sedikit.

Setelahnya para manusia jelata yang paling resah mulai mengibarkan bendara setengah tiang, dan menyanyikan lagu berkabung, gejolak dalam dadanya muncrat sampai pada matanya, ia menyaksikan arak-arak menuju pemakaman, lalu mengerumuni nisan berepitaf, keadilan.

Di luaran sana para guru tetap saja basa-basi, memberi petuah yang hangat, sementara ia lupa membersihkan sisa kebodohan yang melekat di kursi yang diduduki muridnya.

Dan akhirnya di seantero rimba terdengar kabar kematian dari sebuah bangsa yang gagal mengonani kelaminnya sendiri.

Dan para burung bangkai yang telah lama menantikan itu bergegas untuk ritual makan malam, setelah semua kepala tak lagi ada isi.

Batin Seorang Wanita

Penulis : R. Wijaya
Kategori : Cerpen | Fiksi

Di kala hubunganku kian menjulang memuncak di ujung tanduk, seorang wanita muda datang ke rumah, dan mengaku sangat mencintai belahan jiwaku ...!
Haruskah aku merelakan dia memiliki suamiku?

Sungguh ini mukul bantinku, sepanjang hayat aku tidak pernah membayangkan hal ini akan menimpa diriku. Seorang perempuan muda datang kepadaku dan dengan bahasa lugas, mengatakan bahwa ia mencintai suamiku!

Cinta? Gila, segampang dan semudah itukah perempuan itu berucap kata dasar itu kepadaku. Seperti tak ada perasaan bersalah. Seperti aku bukan seorang wanita seperti dirinya, dan sepertinya ia adalah perempuan yang belum sembuh benar dari sakit gilanya!

Ya, mulanya memang aku mengira bahwa perempuan itu tak waras, atau punya kelainan di jiwa. Dan entah mengapa ia terperangkap pada obsesi akut tentang suami orang.

Aku tak habis pikir. Bagaimana ia bisa sebuta itu? Tidak melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya anak dan istri.

Ingin rasanya aku memaki habis-habisan, lalu menamparnya berkali. Karena kupikir dia memang sengaja datang untuk memporakporandakan keutuhan rumah tanggaku. Apapun motifnya.

Tapi anehnya ...! Aku tidak punya kekuatan untuk melakukan hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa justru rasa iba yang hadir dalam hati ini. Mendengar pengakuannya yang jujur dan polos, tidak takut kepada diriku. Pemilik sah Bang Nurdin, suamiku sekaligus pria yang kini ia sembagi dengan bahasa cinta itu. Ayah dari seorang anak yang terlahir dari rahimku, tujuh tahun lalu.

Dan sampai kapanpun, aku tidak akan bisa melupakan ucapannya di siang itu!

"Maafkan saya, Mba. Saya memang mencintai suami Mba. Suami Mba memang perhatian, penuh pengertian dan lembut. Saya mencintainya! Karena dia memiliki sebagian besar sifat bapak saya yang telah meninggal, sewaktu saya masih kecil. Tapi, Mba jangan khawatir, saya akan tetap menjaga nama baik Bang Nurdin, suami Mba. Dan saya tidak akan pernah merebutnya dari Mba, meskipun saya mencintainya ..."

"Tapi, untuk apa kamu katakan itu padaku? Apa kamu tidak malu?," tanyaku kasar, dengan perasaan heran dan geram.

"Justru saya malu kalau saya membohongi Mba. Diam-diam mencuri Bapak dari peraduan cinta biduk rumah tangga Mba. Saya bukan seorang maling, Mba. Saya masih punya harga diri. Tapi saya ingin jujur, karena merasa tulus mencintai dan menyayanginya! Saya ... saya, merasa nyaman, tenteram dan bahagia bila sedang berdekatan dengan Bapak."

Sedetik setelah menatap mulutnya yang kemudian bungkam, dengan wajahnya yang menunduk dan pasrah. Aku ingin sekali mengunyahnya dengan sepasang rahangku yang mulai bergemeretak menahan murka.

"Dasar sundal betina!" Batinku.

"Tapi ... tunggu dulu! Apakah tak lebih bijak jika kemudian aku membaca rumah tanggaku sendiri dengan Bang Nurdin? Sebelum aku mendepak hingga terjengkang si jalang ini dari sofa ruang tamu, menyumpal mulutnya yang sudah kelewat berani dan kurang ajar itu! Memperlakukan dia dengan serendah-rendahnya, lantas akan kubuat hina dina di hadapanku?"

"Tunggu dulu. Tentunya, perempuan ini bukanlah wanita sembarangan! Seperti halnya suamiku, yang begitu pemilih jika ingin meletakkan perhatiannya kepada seseorang. Tidak pada sembarang perempuan. Aku tahu watak suamiku."

Suara dari dalam tempurung kepala ini saling berdesakan, dan minta secepatnya terjelma menjadi beruntunnya kata-kata.

Ya, intuisiku jelas mengatakan jika perempuan ini berani datang sendirian! Artinya ia telah siap! Dan tidak sekedar memperdengarkan berpotong-potong bualan perihal suamiku. Bagusnya, ia tidak meninggalnya pesan sebuah ancaman atau provokasi tertentu. Justru posisi inilah yang membuatku tak berkutik. Kecuali ... aku harus melihat lebih ke dalam lagi, tentang perjalanan biduk rumah tanggaku dengan Bang Nurdin.

Obrolan pahit dengan perempuan itu tidak sampai setengah jam, ia kemudian dengan santun. Meninggalkan aroma lembut parfum dari sintal tubuhnya, saat aku mengantar hingga gerbang depan. Dan tentu saja tanpa lambaian tangan!

Aku tahu nama pun varian wangi parfum yang ia pakai, persis dengan koleksi parfum eksklusif kesayanganku yang nomor empat.

"Hemm, siapa dia? Menjadi sangat pentingkah atau aku abaikan saja? Atau ...?"

Menurut keterangannya, ia teman sekantor suamiku. Satu divisi!, tinggal sekota dengan kami dan berstatus lajang! Lajang ...? Ah, aku tak yakin untuk yang satu ini. Hanya perempuan lajang sinting saja yang menggilai pria yang sudah beristri