Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen | Fiksi
Siang ini adalah hari yang ke sepuluh, aku berada di Lapas
ini.
Semua rentetan kejadian terasa begitu cepat berlalu. Namun
tidak untuk hari-hariku mendekam di penjara sialan ini.
Di sini waktu terasa begitu lambat berputar. Kehidupan
sampah di antara para bajingan, membuatku frustasi. Namun aku sadar, aku juga
seorang bajingan seperti mereka.
Di antara bajingan itulah kini tempatku. Bahkan aku harus
berbagi tikar dengan seorang pembunuh. Sama sepertiku, yang telah membunuh
delapan manusia sekali tabrak. Bajingan memang, atau apalah aku ini. Aku sudah
tak mau pusing memikirkan sebutan apa yang tepat untukku.
Dulunya aku kuliah. Sampai bapak berkata padaku;
"Buat apa kamu
kuliah hah? Kuliah cuma bikin kita tambah miskin!" Aku tirukan
kata-kata bapak padaku.
Itu terngiang samapai saat ini.
"Jadi itu
alasanmu jadi kriminal? Dan ada di sini bersamaku?" Tanya Waris, teman
satu selku.
"Sebenarnya bukan
itu. Ada cerita panjang sampai aku ada di sini."
"Ceritakanlah
untukku. Mungkin bisa kutulis dan jadi sebuah cerita yang menarik."
Kata Waris sambil sedikit terkekeh.
"Tak ada yang menarik dari cerita ini. Selepas aku berhenti
kuliah, aku lebih suka menyendiri di kamar. Merancang bom, untuk meledakkan
kampusku. Atau merencanakan demo besar-besaran di jalan," kataku
sambil tertawa. Merasa lucu dengan leluconku sendiri.
"Ayolah bung ...
Ceritakan saja. Kita ini senasib," katanya, sambil menyodorkan puntung
rokok yang masih menyala.
Kuambil, kuhisap, lalu asapnya kuhempaskan perlahan.
"Hidupku dulu
nyaris terasa sempurna. Aku punya istri cantik, pekerjaan yang lumayan. Anak
yang lucu. Tapi semua itu terasa hilang, hanya karena lelucon isi celana dalam.
Istriku selingkuh. Aku mulai suka mabuk-mabukan. Sampai melakukan seks dengan
sembarang perempuan. Namun ada seorang gadis yang membuatku kembali hidup.
Rahma namanya. Tapi pada akhirnya dia kembali membuatku menjadi mayat hidup.
Dan aku membunuhnya pagi itu, bersama dengan pria yang telah merenggut istriku,
dan juga Rahma dari hidupku."
"Ceritamu membuat
perutku tersa terpelintir bung. Aku paham amarah dan sakit yang kau rasakan.
Aku juga membunuh untuk alasan yang sama. Aku membunuh istriku dan
selingkuhannya di hotel. Aku puas melakukan itu."
"Kau memang
bajingan Ris." Kataku sambil mengelengkan kepala.
"Apa lagi yang
bisa kulakukan bung? Harga diriku sudah terinjak-injak sebagai laki-laki."
"Aku sudah lupa, apa itu harga diri. Bagiku itu hanya omong
kosong. Hidupku hancur. Apa lagi yang bisa kuharap di luar sana. Kecuali satu
hal yang masih tersisa. Anakku. Hanya dia yang ada di kepalaku sekarang."
"Aku tak punya anak. Ini mungkin perbedaan kita bung. Tapi aku
percaya anakkmu akan tetap mengingatmu sebagai bajingan, yang masuk penjara.
Dan itu pasti, pasti membebaninya bung."
"Bangsat!!!!"
aku berteriak, memgangi kepalaku yang tersa berputar-putar mendengar perkataan
Waris, "Aku memang goblok! Tolol!
Sampai semua ini terjadi. Kau mungkin benar."
Aku terdiam cukup lama, ada rasa yang begitu getir dalam
dadaku. Mataku mulai nanar, dan anaganku mulai menapaki kejadian-kejadian di
masa lalu. Hidupku yang bahagia. Hari-hari itu tak mungkin kembali.
"Sudahlah bung ... Untuk apa kau menyesal hah? Memang dengan
menyesal dunia akan mengampunimu hah? Tidak! Duniamu tetap akan menghukummu
bertubi-tubi. Jadilah bajingan yang kuat! Hidup kita bukan untuk menyesal.
Keluarlah dari tempat ini, rebut kembali hidupmu bung!"
"Kenapa bukan kau
saja! Hah? Kenapa kau masih tetap di sini?" sergahku.
"Aku akan mati di
lapangan tembak. Dan itu kenyataannya bung. Lagi pula apa yang harus aku kejar
di luar sana? Kau berbeda. Pikirkan tentang anakkmu. Aku tak punya siapapun di
luar sana."
"Tapi bagaimana
caranya? Kita ini di penjara. Hukumanku masih dua puluh tahun lagi. Itu pun
jika masih hidup."
"Aku tau kau
punya banyak uang bung. Apa yang tak bisa dilakukan uang hah?"
"Uang? Kau pikir
aku banyak uang? Aku ini kere, kere dan tukang mabuk."
"Sudahlah bung.
Kau jangan pura-pura. Aku tau kau sebentar lagi dibebaskan. Itu yang aku dengar
dari kepala penjara tadi pagi."
"Omong kosong!
Kau jangan bercanda Ris. Manamungkin itu terjadi? Aku tak punya apapun untuk
membeli kebebasanku."
"Bukan kau bung. Ada orang lain, dia yang
membebaskanmu.
"Siapa dia?
Istriku? Itu tak mungkin."
Waris mengacungkan telunjuknya ke arahku.
"Dia yang
membaskanmu."
Aku berbalik. Dan kulihat ada seorang wanita berdiri di
balik jeruji selku. Wajah tak asing bagiku. Wajah keras, namun tetap cantik
untuk ukuran seorang polwan. Erlani, aku ingat dia. Dia istri bajingan yang
kutabrak. Tak mungkin dia akan membebaskanku.
Aku berdiri berhadapan dengannya.
"Aku akan
membebaskanmu." Katanya tanpa basa-basi.
"Untuk apa?"
kataku.
"Besok saja kau
tanyakan itu. Besok kau sudah bisa keluar. Temuai aku besok jam delapan malam
di restoran sebelah kantorku." Dia berkata dan pergi begitu saja.
Tanpa menunggu jawabanku.