Wednesday, July 24, 2019

Sepenggal Kisah Bunga Cahaya Matahari

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Cerpen

Semenjak remaja, wanita itu mati sesudah ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi perempuan diberi nama Bunga cahaya Matahari. 
Bunga Cahaya Matahari hidup bersama kakeknya di Kampung Nelayan. Di sanalah ia tumbuh berkembang menjadi anak perempuan yang gagah dan tangguh seperti kakeknya. Bunga Cahaya Matahari berkulit kuning langsat, dua bola matanya hitam pekat, dan berambut ikal bergelombang.

Kakeknya hadir sekaligus menjadi ibu dan bapaknya, dengan telaten mengajari dia menjahit benang menjadi jala, memasang jala di laut yang banyak ikan, serta menentukan arah angin. Sekali waktu, saat subuh, Bunga Cahaya Matahari dan sang kakek berangkat melaut. Di laut, setelah jala terpasang, Bunga Cahaya Matahari menengadahkan kepala menatap langit hitam di atas kepalanya.

Ayah?” Bunga Cahya Matahari membuka percakapan, “mengapa aku diberi nama Bunga Cahaya Matahari? Apakah Ibu mencintai bunga? Kenapa ada cahaya Matahari? Apakah Ibu menyukai matahari tenggelam?”

Sang kakek, “Ibumu sangat sangat menyukai bau bunga. Katanya, ‘Aku menemukan ketenangan ketika mencium bau bunga, Ayah!’ Ya, tentu dia sangat mencintai bunga. Bunga adalah lambang kebahagiaan dan kedamaian.

Dulu, ketika ibumu masih seumurmu, aku pernah marah besar padanya. Betapa tidak? Kamar tidurnya yang kecil itu dipenuhi bunga. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ibumu memindahkan bunga-bunga itu ke pelataran dan beranda. Aku merasa bersalah. Setelah dia pergi, air mataku acap kali turun.”

Ibumu,” lanjut sang kakek, “kerap kali pulang sore-sore. Katanya, ‘Menyaksikan matahari tenggelam adalah hal paling mengesankan dalam hidup.

Saat itu kita bisa berharap dapat mimpi paling indah dari yang paling indah dalam tidur!’ Aku, Cu, tak mengerti maksudnya.”

“Di mana Ibu sekarang, Ayah?” tanya Bunga  Cahaya Matahari dengan polos, pelan, nyaris tak terdengar.

Kakeknya terdiam cukup lama.
“Cucuku,” ucap kakek sayup-sayup, “lihat bintang-bintang di atas kepala kita itu! Begitu kecil mereka jika kita lihat dari sini. Namun jika kau naik ke atas tebing itu, mereka tampak besar dan indah. Di antara jutaan bintang itu, salah satunya adalah ibumu. Lihat, dia terus mengawasimu, seakan-akan ingin berkata, ‘Anakku, Bunga Cahaya Matahari, sudah besar kau rupanya.

Lihat wajahmu! Lebih rupawan dariku!’ Kau dengar itu? Betapa sayang ibumu padamu, Cucuku.”
“Mengapa Ibu meninggalkan aku dan memilih menjadi bintang, Ayah?”
“Aku pun sama, Cucuku. Aku juga akan menjadi salah satu bintang. Aku akan menceritakan pada dia, betapa gagah dan tangguh kamu. Ibumu jelas kalah. Apalagi aku? Ah, manalah aku punya kekuatan seperti kamu. Berjalan pun aku perlu tanganmu. Setelah itu, aku akan menceritakan pada dia betapa nikmat masakanmu. Kelak, Cucuku, kau pun akan menyusul kami. Kita akan berkumpul di langit,” jawab sang kakek lirih, disusul isak sayup-sayup terbawa angin.
“Hm, baiklah, Ayah. Aku mengerti kenapa orang tua menjadi lemah dan lapuk. Ternyata mereka ingin menjadi bintang.”

Percakapan itu berakhir. Bunga Cahaya Matahari memeluk sang kakek seerat-eratnya.

Musim kemarau 1969 menjadi tahun terkejam dan menyengit hati bagi Bunga Cahaya Matahari. Suatu subuh yang panas tahun itu terjadi kecamuk panas di Kampung Nelayan. Rumah-rumah dibakar. Tempat peribadatan dibongkar. Tahun itu masih masuk jadwal pembersihan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan tentara Soekarno.

Kampung Nelayan menjadi salah satu target pembersihan, karena banyak tentara Soekarno di sana. Seantero Kampung Nelayan disisir habis. Semua laki-laki dan perempuan, termasuk kakek Bunga Cahaya Matahari, disuruh berbaris menghadap laut dan disuruh mengaku: mereka tentara Soekarno. Semua ditembak mati, kemudian dibuang ke laut.

Bunga Cahaya Matahari yang berhasil kabur— sebelumnya sang kakek telah menyampaikan, akan datang serdadu-serdadu. Ia berhasil kabur ke atas tebing yang ditunjukkan sang kakek. Di sana ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Di dalam gua ia bertemu dua orang anak seumuran. Ia kenal dua anak itu. Jiman dan Muni. Kakak-beradik. Mereka menangis tanpa suara. Sejak saat itulah Bunga Cahaya Matahari membisukan mulut dan menjadi pendendam.

Hari kedua di dalam gua, Bunga Cahaya Matahari dan kedua anak laki-laki itu keluar. Lapar sejak semalam berkuasa atas diri mereka. Ketiganya berjalan mengendap-endap melewati semak belukar dan jantung hutan. Akhirnya ketiganya sampai di tepi Jalan Raya Pos Daendels.

Singkat cerita, mereka ditemukan dan dipelihara oleh sepasang kekasih yang belum dianugerahi anak hingga tumbuh dewasa.

“Sore itu,” ujar Bunga Cahaya Matahari membuka cerita untuk kali pertama kepada kedua orang tuanya, “sore yang lembap pada musim hujan 1945 akhir. Angin timur mendesir menuju barat seperti biasa. Tak pelak, bau anyir darah dan busuk bangkai ikan terbawa dalam desirnya. Sementara debur ombak yang berpacu dengan kulik burung camar dan elang laut yang baru pulang dari petualangan jadi pengiring pergantian waktu dari sore menuju malam. Awan-gemawan abu kehitam-hitaman bergerak lamban, membuat cemas anak-istri para nelayan yang tak sabar menunggu suami mereka di gubuk seribu meter dari bibir pantai. 

“Lihat! Betapa bahagia anak-anak Kampung Nelayan bermain bola sebelum sore betul-betul hilang dari pandang. Engkau, jika bertandang ke sana, dapatlah menghitung jumlah rusuk yang jadi pembatas perut dan leher anak-anak itu.

Engkau akan tertawa. Pun sebaliknya, mereka akan menertawakanmu karena pakaianmu yang aneh.

Di Kampung Nelayan, kebanyakan orang buta warna. Mereka hanya tahu dua warna; merah dan putih. Kedua warna itulah yang kebanyakan di antara mereka katakan sebagai simbol Indoneisa. Bukan Indonesia. Kata ‘sia’, kata tetua kampung Kampung Nelayan, berarti buruk dan pembawa sial. Kata tetua kampung lagi, kata ‘sia’ adalah nama asli pecapak (hantu laut) orang kebanyakan memanggilnya Sia, yang suka menggarong hasil tangkapan nelayan dan merusak jala mereka. Karena itulah, negara ini tak pernah maju dan acap kali bernasib sial.

“Si Buta. Itulah panggilan bagi tetua kampung. Ia kehilangan sepasang mata ketika tentara Jepang berlabuh di tepi pantai Kampung Nelayan sebelah selatan Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Waktu itu, atas instruksi langsung dari Bung Karno, ia menahbiskan diri ikut serta dalam peperangan.

Alhasil, ia tertangkap ketika mengintai. Tentara Jepang mengambil paksa kedua matanya lantaran ia tak buka mulut.

“’ Anjing!’ maki seorang tentara.

“Tak hanya dia yang tertangkap. Beberapa rekan seperjuangan pun bernasib sama. Paling mengerikan, kemaluan salah seorang rekannya dipotong. Dipotong! Engkau tak bisa membayangkan betapa sakit bukan? Tak lama setelah perang berlangsung, dua bulan tepatnya, tentara Jepang berhasil menduduki Kampung Nelayan. Mereka membakar seperempat dari Kampung Nelayan, termasuk tempat peribadatan!

“Minggu pertama berkuasa, tentara Jepang berhasil mengumpulkan seratus lebih perempuan di Kampung Nelayan. Anak kecil, remaja, dan dewasa. Perempuan-perempuan itu harus melayani berahi mereka bertahun-tahun. Yang paling menyengit di hati si Buta bukan kehilangan sepasang mata, melainkan dua di antara seratus lebih perempuan itu adalah istri dan anaknya yang masih remaja.

Dia tak kuasa menahan diri untuk tak melelehkan air mata. Ia merasa tak berguna sebagai suami dan bapak. Nyaris saban malam ia histeris. Rasa bersalah itulah yang menggerayangi pikirannya, membuatnya tak pernah tenang. Bahkan ketika tentara Jepang mengundurkan diri dari tanah airnya.

“’Istriku adalah ibu bagi seluruh anak dan anakku adalah bunga zaman. Dan, aku gagal menjaga keduanya! Cuhh!’ Begitulah ucap si Buta — dialah kakekku yang dibunuh serdadu-serdadu yang entah disuruh siapa pada 1969 — ketika kembali diingatkan pada kenangan kelam hidupnya.”

Kedua orang tua angkatnya terkejut bukan kepalang dan tersedu sedan mendengar cerita itu. Mereka selama sebelas tahun mengira anak perempuan itu bisu.

Mereka salah. Salah besar. Keduanya memeluk Bunga Cahaya Matahari seerat mungkin.
“Maafkan kami, Anakku,” ucap ibu angkat Bunga Cahaya Matahari.

Aku Bunga Cahaya Matahari yang lahir di Kampung Nelayan sebelah barat Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Aku anak dari tentara Jepang. Mereka memerkosa ibuku. Ibuku mati ketika melahirkan aku. Kakekku buta dan mati di hadapan moncong senjata serdadu-serdadu entah suruhan siapa pada musim kemarau 1969. Soal nenekku, Kakek tak pernah menceritakan.

Selamat datang di negeri merah dan putih untuk yang baru dilahirkan. Selamat jalan dan selamat berbahagia bagi kalian yang telah naik ke langit dan menjadi bintang bagi kehidupan selanjutnya

Pesona Perempuan Penari

Cerita Karangan : Aljufri
Kategori : Fiksi
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Diatas panggung tersimak penari perempuan tengah meliuk tubuhnya. Geliat tubuhnya penari itu, sangatlah mempesona. Lentik jemari dan ayun gemulai tangannya, mampu memulas mati puluhan para penggila nya dalam dengkur lelap tidur sekarat.

Tarian perempuan itu kini telah menjadi giur yang membuat nalar para pengumumannya lunglai dan tersungkur seketika.

Decak, saling berbisik mulai terdengar diselingi tawa nakal yang pecah menderai. Disusul, ungkapan-ungkapan cabul kepada perempuan penari itu,
Luar biasa!

Malam yang larut tak akan membuat mata para pengagum melayu surut, Justru semakin panas, dan kian bergairah.

Apalagi diselingi bergelas-gelas arak mulai diputar ikut menjadi suguhan. Semula saat sadar masih menguasai akal, kini menjadi berbeda dengan cepat. Tak sekadar terakhiri sampai disitu, Namun juga sesekali ingin gapai tangan perempuan penari itu untuk melakukan saweran.

Bentuk apresiasi materi dari cara purba yang sangat digemari para kaum lelaki.
Menyisipkan lembar-lembar ribuan di balik longgar kutang-kutang penari perempuan tersebut.

Namun malam harus berlanjut Walaupun harus menyisakan sedikit saja kewarasan yang tertindih kuyub di bawah gelas-gelas minuman keras.

Liuk dan geliat tubuh perempuan itu, seolah telah mempertegas sebuah definisi tunggal, bahwa inilah surga semalam. Diperuntukan bagi para pria penyuka kegilaan sekejab.

Apalagi, ditambah dengan senyum genit yang sering sengaja di tebar. Membuka tantangan bagi para lelaki yang mengaku sejati.

Malam pun kian merangkak seperti tak peduli lagi dengan perasaan. Ya, ternyata malam pun begitu bejatnya semakin liar, jalang dan tak bertuan.

Geliat Perjuangan

Karya By : Rahmat Sangaji

Terdengar derit daun jendela penderitaan menelusup di celah pintu ketidakadilan, tiba-tiba datang begitu jantan mengetuk ingatan.
Bahwa kita pernah ada pada liuk malam paling sunyi yang tumbuh dalam sebatang kara. Kala itu aku memandangmu, lantas cinta dan perjuangan kemudian tertindih oleh angin rindu keadilan



Sekadar memenuhi takdirku yang terayun-ayun derita cinta dan perjuangan hingga Tuhan mengizinkan. Pada sesuatu yang bukan rasa pura-pura.
Tetap saja misteri.
Memutuskan mata rantai rindu, tak semudah menghalau lalat-lalat di pipiku.
Tetap saja yang kutatap adalah yang datang lantas cepat pergi.

Ya.
Aku tak ingin ada sedikit tangis.
Sementara air mata telah ia bawa pergi dengan cara sempurna.
Aku bisa apa?
Kini,
Sesekali aku sambangi malamnya.
Sepi.
Mungkin ia tengah berdoa ...
Sunyi.
Barangkali ia sedang mengendalikan benci.
Seperti aku
Yang tak rela
Jika rindu tak datang, dan menyiksa seperti biasanya

Kelabu Mengurai Air Mata Suci

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Cerpen
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Suci, memandang Kopral Ramang Ama Freedom dengan tatapan sendu dan letih. Di antara suara deru mesin Helikopter yang meraung di atas landasan pacu, gemuruh suara baling-baling yang menampar-nampar udara seakan mewakili perasaan hati Suci yang berkecamuk.

Sementara, Sang Kopral, duduk di bagian lambung helikopter dengan pintu yang terbuka, senapan SPR-2 buatan pindad, tercangklong di pundak kokohnya, ia memandang ke arah wanita yang berdiri menatapnya dikejauhan, namun Sang Kopral masih bisa melihat raut kesedihan di wajah Suci, airmatanya terlihat membuat matanya terlihat seperti sebuah cerukan yang terisi air di kejauhan. Sang Kopral, melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak

"Aku pasti kembali!"

Kemudian sang pilot helilopter di kokpit menarik sebuah tuas pengunkit, pesawat pun menderu semakin kencang, dan kemudian melambung.

Sang Kopral, memandang wajah Suci, dari atas yang terlihat kian tenggelam dan menghilang dari pandangan, berganti dengan jajaran perbukitan, dan atap-atap rumah yang terlihat bagai balok-balok lego yang berserakan di bawahnya.

Helikopter masih melayang di atas Hutan yang terlihat bagai hamparan karpet berbulu dengan warna hijau yang di hamparkan di atas batu karang yang tak rata. Tiba-tiba sebuah misil meluncur dan menghantam helikopter, kemudian suara ledakan yang bergemuruh terdengar bersama muculnya gumpalan api yang membumbung.

Suci, duduk di lantai kamar mandinya dengan shower di atasnya menggucurkan air, Suci memeluk lututnya, sambil membayangkan gambaran di masalalu yang berkelebat seperti kaledoskop.

Waktu sudah berlalu begitu lama sejak Suci berdiri di tepi landasan pacu, kini ia berdiri di tepi sebuah makam bersama seorang anak lalaki-laki yang tampan.

"Bu, Ayah dulu orang hebatkan Bu?"
"Iya Nak, Ayahmu adalah orang yang sanggggattt hebat."

Kemudian suci tersenyum dan memeluk anak itu, sambil mengusap airmatanya yang entah kenapa keluar begitu saja

Persoalan ‘Papua’ Dalam Dunia Diplomasi ‘Timor Leste’ Representase


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Artikel

Di masa diktator Suharto. Kita diingatkan oleh perkataan seorang Menteri Luar Negeri andalannya "Ali Alatas, tempo itu ia pernah mengeluarkan satu statement tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste) bahwa Timor Timur “seperti kerikil di dalam sepatu.” Kebayang tidak enaknya. Kerikil itu sangat mengganggu langkah kaki, tidak enak, bahkan bisa melukai.

Mendengar hal itu. Dunia diplomasi internasional sontak geger. Kata-kata tersebut langsung digoreng banyak pihak di dunia yang mendukung kemerdekaan Timor Timur. Dalam tafsir mereka, secara diplomatis, setidaknya buat Alatas sendiri, dia sudah “lempar handuk.” Mungkin capek, frustasi karena sulit meyakinkan dunia yang terus menerus diramaikan para aktifis dan diplomat pendukung kemerdekaan yang terus bergerak bergelombang di banyak forum dunia, selain itu juga tak hentinya perlawanan di dalam negeri sendiri dalam segala bentuk.

Setelah Timor Timur merdeka dan menjadi negara Timor Leste, kita masih dikejutkan kembali dengan kata-kata Alatas yang masih digoreng sebagai judul berita: “Keluar Juga Kerikil Dalam Sepatu Itu.”

Sebab Alatas adalah seorang menteri luar negeri, berarti juga juragannya para diplomat Indonesia, maka ucapannya itu barang tentu harus ditafsirkan secara diplomatis pula. Dan seperti saudara kandungnya, dunia politik, dunia diplomasi tidak bisa ditafsir sehitam putih harga dua potong tempe kemul. Jalan diplomasi tidak selurus jalan tanpa tanjakan, turunan, dan tikungan. Ia juga tidak selalu merupakan dunia di mana dua tambah dua sama dengan empat. Dunia diplomasi sering lebih seperti upacara yang samar. Sebuah pesta undangan makan malam bagi para doplomat yang penuh warna abu-abu. Sesuatu yang justeru dimensi informalnya sering dianggap penting.

Diplomasi juga sering berarti Lobby. Lobby, yang secara etimologis berasal dari kata Latin laubia dan lobia, berarti sebuah ruang masuk yang luas di dalam sebuah bangunan publik. Ia bukan ruang utama. Tapi pembicaraan-pembicaraan di ruang lobby ini, sering memberi pengaruh penting pada keputusan-keputusan yang diambil di ruang utama.

Seperti itulah dunia diplomasi dan loby bekerja. Sering lebih mengutamakan cara dan agak “melupakan” isi. Bukan juga berarti isi tidak penting. Tapi biasanya soal tujuan utama atau isi itu dikejar belakangan, setelah jalan bernegosiasi berbasis respek dan saling menghormati dibuka oleh para diplomat dan peloby. Pujangga Robert Frost menyimpulkan dengan bagus dan jenaka dunia diplomasi. A diplomat is a man who always remembers a woman's birthday but never remembers her age.” Seorang diplomat adalah seorang laki-laki yang ingat hari ulang tahun seorang perempuan, tapi tak ingat berapa umur perempuan itu.

Arman dan Air Matanya

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Ketika Jamaah sholat Subuh mulai melangkahkan kakinya keluar dari suroh, ada simbolis kedukaan yang dikibarkan melalui bendera setengah tiang di pelantaran jalan

Dari ujung jalan, kini mulai terdengar Isak tangis pecah menyelimuti kubuk kecil tua tersebut. Kecelakaan lah yang telah merenggut jiwanya kemarin sore, menyisakan cita-cita dan mimpi yang belum usai diwujudkan. Sebuah harapan dari dalam dirinya sebelum menjadi mendiang. Kepada satu-satunya buah hati, yaitu Arman

Kisah tamat telah terpredikat pada almarhum ayahnya Arman, seorang Pedagang keliling yang tiap harinya menjajakan beragam barang mainan dari kampung ke kampung. Demi Mengayuh hidup.

Tuhan Maha Tahu. Lebih tahu dari mereka yang hidup lalu menebak-nebak. Bagaimana kisah sedih itu dimulai, dan mengapa riwayat bahagia tak kunjung tiba. Sudah semestinya begitu. Dan tak perlu menjadi perdebatan panjang tentang mengapa nasib sial selalu menimpa pada sosok yang kerap tak mengenyam keberuntungan seperti ayahnya Arman.


Matahari mulai naik. Kubuk kecil tua cepat dipenuhi para pelayat. Berbela sungkawa dengan cara yang berbeda-beda. Tapi tak berbeda ketika mereka mulai memperbincangkan sosok yang ditinggalkan almarhum. Putra tunggalnya yang bernama Arman.

Di sudut rumah almarhum, di bawah dahan mangga yang patah, segerombol bapak-bapak mulai bercakap mengurai kesedihan yang mengeram kelabu di kubuk tua kecil itu.


"Sungguh malang nasib almarhum. Ia tiga tahun menjadi langganan istriku saat ingin membelikan mainan buat si bungsu ..."


Kalimat senada dari pria sebelahnya pun tak kalah sungkawa

"Bagaimana dengan si Arman? Mana ibunya tak pernah kembali. Tiada juga sekadar berkabar berimba di mana. Bagaimana pula nanti nasib bocah itu ...?"


Lelaki kedua itu lantas menghisap kreteknya dalam-dalam. Menahan lebih lama pada pori paru-parunya, lalu menghembuskan asap putih keabuan mengepul pekat dari mulutnya. Seperti sebuah kekesalan akan minat Tuhan yang tak hendak mempersolek cantik nasib keluarga almarhum.

Ambulans tiba. Tetangga bergerak cepat merumat jasad yang dikeluarkan oleh petugas yang mengiringinya dari rumah sakit. Satu penghormatan terakhir untuk seorang tetangga, untuk seorang famili jauh, untuk seorang pria yang ditinggalkan istrinya, untuk seorang lelaki yang membesarkan seorang diri anak semata wayangnya.

Mata para pelayat tak sekedar bertumpu pada sebujur jasad yang telah di bawa masuk kedalam ruang tengah. Mereka rupanya juga tertarik untuk mencari Arman. Lalu memandang dan coba merabai bagaimana pilunya hati sang bocah.

Arman berdiri dengan tatapan mata kosong. Oleh gelayut kesedihan yang teramat berat. Memang ia sudah tak menangis. Barangkali kantong air matanya sudah terlampau perih. Dan buat apa menangis lebih lama? Toh semua memang demikian harus berjalan.

Bocah itu kusut dan lesu, barangkali terlalu dalam menopang lalu lalang duka yang teramat rajam. Dengan kaos kemarin yang berubah dekil hari ini, ia genggam erat bola kaki hadiah sang Bapak yang sekarang sudah terbujur kaku siap disuci lalu dikafani.

Kubur, peristirahatan terakhir buat sang Bapak, lahat yang sempit nan gelap. Dan rumah, tempat Arman menimpakan segala luruh payahnya kehidupan. Satu lukisan hidup yang siapapun tak perlu bertanya dua kali.

"Betapa malangnya anak itu ..."

Seorang perempuan paruh baya mengenakan gamis berwarna hitam melintas di antara kerumunan pelayat. Ia datang entah dari mana dan memeluk Arman dengan tiba-tiba. Dengan sekeranjang iba begitu kasat. Menyelipkan satu amplop putih tebal ditengah rasa sedih dan keharuan mereka yang hadir.

"Tetaplah sabar ya, Nak. Sesungguhnya Allah memeluk erat seorang yatim sepertimu ..."


Arman hanya bisa merasai dingin dan hambar dari semua pelukan dan kata-kata tabah yang terus disemangatkan tak penat oleh para pelayat. Juga ia, tak bisa memaknai apa arti selipan amplop itu. Ditengah segala bela duka tak bertepi yang sangat agung merundung.

Ketika keranda mayat diangkat, terdengar suara sang Modin seusai ia membacakan doa-doa kebaikan dan pengampunan. Sekedar memastikan pada yang hidup dan kenan hadir di situ.

"Apakah semasa hidupnya, almarhum adalah orang yang baik ...?"


Suara sang Modin mengudara penuh duka

"Baaiikkk ...!"


Para pelayat menjawab sangat keras dan serempak
Sang Modin mengulangnya hingga tiga kali. Para pelayat menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Baaiikkk ...!"

Kecuali satu yang tak menjawab! Bukan tak menjawab, namun sudah tak sanggup menjawab. Ia adalah Arman!

Segala tanya bergumul dalam benak. Perihal sesuatu yang belum sempurna ia pahami. Tentang jagad manusia yang terlampau gelap untuk ia jalani pada hari sesudah ini. Tentang berjuta kesedihan yang sangat dadak menghimpit rapat jiwanya. Membingkai rapat membuat sesaknya dada di esok hari.
Arman sedikit berkomat-kamit. Sesuatu meluncur lelah dari mulut mungilnya. Barangkali itu adalah doa bekal untuk sang Bapak. Tapi bisa jadi itu justru kalimat sanggahannya yang sangat berairmata. Kalimat yang tak seorang pun tahu.

"Jika Bapak orang yang baik semasa hidupnya, kenapa ia begitu tega? Pergi untuk selamanya meninggalkan aku?"


Begitulah kira-kira betik batinnya.

Atas pertanyaan ini jika diudara keras kepada para petakziyah. Adakah yang mampu menjawab? Terkadang, bahkan satu pertanyaan tak perlu dijawab. Apalagi, ketika garis nasib sedang tak santun menyambang pada pelataran kehidupan seseorang.

Kalimat tahlil dikumandangkan seiring dengan keranda yang bergerak dipikul para pelayat menuju kompleks pekuburan. Kembang ditebar sebagai 'sawur duka'. Ada yang lebur mengiring jenazah almarhum ayahnya Arman. Orang-orang bergegas, berdesak mengikuti di belakang dengan lafal doa seadanya.

Kemudian rumah duka itu pun sepi. Hanya tanah basah di pelataran yang menampung becek. Ada kembang mawar warna merah terinjak, juga putih melati terbenam di sana-sini. Sisa air yang sedikit menggenang. Mengantarkan jasad almarhum dalam mandi terakhirnya. Berpulang kepada Sang Maha Pencipta.

Malam pun tiba, masih ada tetangga kanan-kiri berempati, satu dua di antaranya menemani bocah lelaki yang belum juga genap sepuluh tahun itu. Tiada kerabat, tak ada famili. Apalagi sang Ibu yang tiga tahun lalu tak berberita semenjak ia berpamit pergi mengais ringgit ke negeri jiran, Malaysia.
Arman akan hidup mandiri di rumah itu. Sebisanya! Menghidupi diri sendiri dengan jalan mencari nafkah yang entah.