Wednesday, July 24, 2019

Sepenggal Kisah Bunga Cahaya Matahari

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Cerpen

Semenjak remaja, wanita itu mati sesudah ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi perempuan diberi nama Bunga cahaya Matahari. 
Bunga Cahaya Matahari hidup bersama kakeknya di Kampung Nelayan. Di sanalah ia tumbuh berkembang menjadi anak perempuan yang gagah dan tangguh seperti kakeknya. Bunga Cahaya Matahari berkulit kuning langsat, dua bola matanya hitam pekat, dan berambut ikal bergelombang.

Kakeknya hadir sekaligus menjadi ibu dan bapaknya, dengan telaten mengajari dia menjahit benang menjadi jala, memasang jala di laut yang banyak ikan, serta menentukan arah angin. Sekali waktu, saat subuh, Bunga Cahaya Matahari dan sang kakek berangkat melaut. Di laut, setelah jala terpasang, Bunga Cahaya Matahari menengadahkan kepala menatap langit hitam di atas kepalanya.

Ayah?” Bunga Cahya Matahari membuka percakapan, “mengapa aku diberi nama Bunga Cahaya Matahari? Apakah Ibu mencintai bunga? Kenapa ada cahaya Matahari? Apakah Ibu menyukai matahari tenggelam?”

Sang kakek, “Ibumu sangat sangat menyukai bau bunga. Katanya, ‘Aku menemukan ketenangan ketika mencium bau bunga, Ayah!’ Ya, tentu dia sangat mencintai bunga. Bunga adalah lambang kebahagiaan dan kedamaian.

Dulu, ketika ibumu masih seumurmu, aku pernah marah besar padanya. Betapa tidak? Kamar tidurnya yang kecil itu dipenuhi bunga. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ibumu memindahkan bunga-bunga itu ke pelataran dan beranda. Aku merasa bersalah. Setelah dia pergi, air mataku acap kali turun.”

Ibumu,” lanjut sang kakek, “kerap kali pulang sore-sore. Katanya, ‘Menyaksikan matahari tenggelam adalah hal paling mengesankan dalam hidup.

Saat itu kita bisa berharap dapat mimpi paling indah dari yang paling indah dalam tidur!’ Aku, Cu, tak mengerti maksudnya.”

“Di mana Ibu sekarang, Ayah?” tanya Bunga  Cahaya Matahari dengan polos, pelan, nyaris tak terdengar.

Kakeknya terdiam cukup lama.
“Cucuku,” ucap kakek sayup-sayup, “lihat bintang-bintang di atas kepala kita itu! Begitu kecil mereka jika kita lihat dari sini. Namun jika kau naik ke atas tebing itu, mereka tampak besar dan indah. Di antara jutaan bintang itu, salah satunya adalah ibumu. Lihat, dia terus mengawasimu, seakan-akan ingin berkata, ‘Anakku, Bunga Cahaya Matahari, sudah besar kau rupanya.

Lihat wajahmu! Lebih rupawan dariku!’ Kau dengar itu? Betapa sayang ibumu padamu, Cucuku.”
“Mengapa Ibu meninggalkan aku dan memilih menjadi bintang, Ayah?”
“Aku pun sama, Cucuku. Aku juga akan menjadi salah satu bintang. Aku akan menceritakan pada dia, betapa gagah dan tangguh kamu. Ibumu jelas kalah. Apalagi aku? Ah, manalah aku punya kekuatan seperti kamu. Berjalan pun aku perlu tanganmu. Setelah itu, aku akan menceritakan pada dia betapa nikmat masakanmu. Kelak, Cucuku, kau pun akan menyusul kami. Kita akan berkumpul di langit,” jawab sang kakek lirih, disusul isak sayup-sayup terbawa angin.
“Hm, baiklah, Ayah. Aku mengerti kenapa orang tua menjadi lemah dan lapuk. Ternyata mereka ingin menjadi bintang.”

Percakapan itu berakhir. Bunga Cahaya Matahari memeluk sang kakek seerat-eratnya.

Musim kemarau 1969 menjadi tahun terkejam dan menyengit hati bagi Bunga Cahaya Matahari. Suatu subuh yang panas tahun itu terjadi kecamuk panas di Kampung Nelayan. Rumah-rumah dibakar. Tempat peribadatan dibongkar. Tahun itu masih masuk jadwal pembersihan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan tentara Soekarno.

Kampung Nelayan menjadi salah satu target pembersihan, karena banyak tentara Soekarno di sana. Seantero Kampung Nelayan disisir habis. Semua laki-laki dan perempuan, termasuk kakek Bunga Cahaya Matahari, disuruh berbaris menghadap laut dan disuruh mengaku: mereka tentara Soekarno. Semua ditembak mati, kemudian dibuang ke laut.

Bunga Cahaya Matahari yang berhasil kabur— sebelumnya sang kakek telah menyampaikan, akan datang serdadu-serdadu. Ia berhasil kabur ke atas tebing yang ditunjukkan sang kakek. Di sana ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Di dalam gua ia bertemu dua orang anak seumuran. Ia kenal dua anak itu. Jiman dan Muni. Kakak-beradik. Mereka menangis tanpa suara. Sejak saat itulah Bunga Cahaya Matahari membisukan mulut dan menjadi pendendam.

Hari kedua di dalam gua, Bunga Cahaya Matahari dan kedua anak laki-laki itu keluar. Lapar sejak semalam berkuasa atas diri mereka. Ketiganya berjalan mengendap-endap melewati semak belukar dan jantung hutan. Akhirnya ketiganya sampai di tepi Jalan Raya Pos Daendels.

Singkat cerita, mereka ditemukan dan dipelihara oleh sepasang kekasih yang belum dianugerahi anak hingga tumbuh dewasa.

“Sore itu,” ujar Bunga Cahaya Matahari membuka cerita untuk kali pertama kepada kedua orang tuanya, “sore yang lembap pada musim hujan 1945 akhir. Angin timur mendesir menuju barat seperti biasa. Tak pelak, bau anyir darah dan busuk bangkai ikan terbawa dalam desirnya. Sementara debur ombak yang berpacu dengan kulik burung camar dan elang laut yang baru pulang dari petualangan jadi pengiring pergantian waktu dari sore menuju malam. Awan-gemawan abu kehitam-hitaman bergerak lamban, membuat cemas anak-istri para nelayan yang tak sabar menunggu suami mereka di gubuk seribu meter dari bibir pantai. 

“Lihat! Betapa bahagia anak-anak Kampung Nelayan bermain bola sebelum sore betul-betul hilang dari pandang. Engkau, jika bertandang ke sana, dapatlah menghitung jumlah rusuk yang jadi pembatas perut dan leher anak-anak itu.

Engkau akan tertawa. Pun sebaliknya, mereka akan menertawakanmu karena pakaianmu yang aneh.

Di Kampung Nelayan, kebanyakan orang buta warna. Mereka hanya tahu dua warna; merah dan putih. Kedua warna itulah yang kebanyakan di antara mereka katakan sebagai simbol Indoneisa. Bukan Indonesia. Kata ‘sia’, kata tetua kampung Kampung Nelayan, berarti buruk dan pembawa sial. Kata tetua kampung lagi, kata ‘sia’ adalah nama asli pecapak (hantu laut) orang kebanyakan memanggilnya Sia, yang suka menggarong hasil tangkapan nelayan dan merusak jala mereka. Karena itulah, negara ini tak pernah maju dan acap kali bernasib sial.

“Si Buta. Itulah panggilan bagi tetua kampung. Ia kehilangan sepasang mata ketika tentara Jepang berlabuh di tepi pantai Kampung Nelayan sebelah selatan Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Waktu itu, atas instruksi langsung dari Bung Karno, ia menahbiskan diri ikut serta dalam peperangan.

Alhasil, ia tertangkap ketika mengintai. Tentara Jepang mengambil paksa kedua matanya lantaran ia tak buka mulut.

“’ Anjing!’ maki seorang tentara.

“Tak hanya dia yang tertangkap. Beberapa rekan seperjuangan pun bernasib sama. Paling mengerikan, kemaluan salah seorang rekannya dipotong. Dipotong! Engkau tak bisa membayangkan betapa sakit bukan? Tak lama setelah perang berlangsung, dua bulan tepatnya, tentara Jepang berhasil menduduki Kampung Nelayan. Mereka membakar seperempat dari Kampung Nelayan, termasuk tempat peribadatan!

“Minggu pertama berkuasa, tentara Jepang berhasil mengumpulkan seratus lebih perempuan di Kampung Nelayan. Anak kecil, remaja, dan dewasa. Perempuan-perempuan itu harus melayani berahi mereka bertahun-tahun. Yang paling menyengit di hati si Buta bukan kehilangan sepasang mata, melainkan dua di antara seratus lebih perempuan itu adalah istri dan anaknya yang masih remaja.

Dia tak kuasa menahan diri untuk tak melelehkan air mata. Ia merasa tak berguna sebagai suami dan bapak. Nyaris saban malam ia histeris. Rasa bersalah itulah yang menggerayangi pikirannya, membuatnya tak pernah tenang. Bahkan ketika tentara Jepang mengundurkan diri dari tanah airnya.

“’Istriku adalah ibu bagi seluruh anak dan anakku adalah bunga zaman. Dan, aku gagal menjaga keduanya! Cuhh!’ Begitulah ucap si Buta — dialah kakekku yang dibunuh serdadu-serdadu yang entah disuruh siapa pada 1969 — ketika kembali diingatkan pada kenangan kelam hidupnya.”

Kedua orang tua angkatnya terkejut bukan kepalang dan tersedu sedan mendengar cerita itu. Mereka selama sebelas tahun mengira anak perempuan itu bisu.

Mereka salah. Salah besar. Keduanya memeluk Bunga Cahaya Matahari seerat mungkin.
“Maafkan kami, Anakku,” ucap ibu angkat Bunga Cahaya Matahari.

Aku Bunga Cahaya Matahari yang lahir di Kampung Nelayan sebelah barat Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Aku anak dari tentara Jepang. Mereka memerkosa ibuku. Ibuku mati ketika melahirkan aku. Kakekku buta dan mati di hadapan moncong senjata serdadu-serdadu entah suruhan siapa pada musim kemarau 1969. Soal nenekku, Kakek tak pernah menceritakan.

Selamat datang di negeri merah dan putih untuk yang baru dilahirkan. Selamat jalan dan selamat berbahagia bagi kalian yang telah naik ke langit dan menjadi bintang bagi kehidupan selanjutnya

3 comments: