Kategori : Cerpen
Semenjak remaja, wanita itu mati
sesudah ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi perempuan diberi nama Bunga
cahaya Matahari.
Bunga Cahaya Matahari hidup
bersama kakeknya di Kampung Nelayan. Di sanalah ia tumbuh berkembang menjadi
anak perempuan yang gagah dan tangguh seperti kakeknya. Bunga Cahaya Matahari
berkulit kuning langsat, dua bola matanya hitam pekat, dan berambut ikal bergelombang.
Kakeknya hadir sekaligus menjadi
ibu dan bapaknya, dengan telaten mengajari dia menjahit benang menjadi jala,
memasang jala di laut yang banyak ikan, serta menentukan arah angin. Sekali
waktu, saat subuh, Bunga Cahaya Matahari dan sang kakek berangkat melaut. Di
laut, setelah jala terpasang, Bunga Cahaya Matahari menengadahkan kepala
menatap langit hitam di atas kepalanya.
“Ayah?” Bunga Cahya
Matahari membuka percakapan, “mengapa aku diberi nama Bunga Cahaya Matahari?
Apakah Ibu mencintai bunga? Kenapa ada cahaya Matahari? Apakah Ibu menyukai
matahari tenggelam?”
Sang kakek, “Ibumu sangat sangat menyukai bau
bunga. Katanya, ‘Aku menemukan ketenangan ketika mencium bau bunga, Ayah!’
Ya, tentu dia sangat mencintai bunga. Bunga adalah lambang kebahagiaan dan
kedamaian.
Dulu, ketika ibumu masih
seumurmu, aku pernah marah besar padanya. Betapa tidak? Kamar tidurnya yang
kecil itu dipenuhi bunga. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ibumu
memindahkan bunga-bunga itu ke pelataran dan beranda. Aku merasa bersalah.
Setelah dia pergi, air mataku acap kali turun.”
“Ibumu,” lanjut sang
kakek, “kerap kali pulang sore-sore. Katanya, ‘Menyaksikan matahari
tenggelam adalah hal paling mengesankan dalam hidup.
Saat itu kita bisa berharap dapat
mimpi paling indah dari yang paling indah dalam tidur!’ Aku, Cu, tak mengerti maksudnya.”
“Di mana Ibu sekarang, Ayah?”
tanya Bunga Cahaya Matahari dengan polos, pelan, nyaris tak terdengar.
Kakeknya terdiam cukup lama.
“Cucuku,” ucap kakek
sayup-sayup, “lihat bintang-bintang di atas kepala kita itu! Begitu kecil
mereka jika kita lihat dari sini. Namun jika kau naik ke atas tebing itu,
mereka tampak besar dan indah. Di antara jutaan bintang itu, salah satunya
adalah ibumu. Lihat, dia terus mengawasimu, seakan-akan ingin berkata, ‘Anakku,
Bunga Cahaya Matahari, sudah besar kau rupanya.
Lihat wajahmu! Lebih rupawan
dariku!’ Kau dengar itu? Betapa sayang ibumu padamu, Cucuku.”
“Mengapa Ibu meninggalkan aku dan
memilih menjadi bintang, Ayah?”
“Aku pun sama, Cucuku. Aku juga
akan menjadi salah satu bintang. Aku akan menceritakan pada dia, betapa gagah
dan tangguh kamu. Ibumu jelas kalah. Apalagi aku? Ah, manalah aku punya
kekuatan seperti kamu. Berjalan pun aku perlu tanganmu. Setelah itu, aku akan
menceritakan pada dia betapa nikmat masakanmu. Kelak, Cucuku, kau pun akan
menyusul kami. Kita akan berkumpul di langit,” jawab sang kakek lirih,
disusul isak sayup-sayup terbawa angin.
“Hm, baiklah, Ayah. Aku mengerti
kenapa orang tua menjadi lemah dan lapuk. Ternyata mereka ingin menjadi
bintang.”
Percakapan itu berakhir. Bunga
Cahaya Matahari memeluk sang kakek seerat-eratnya.
Musim kemarau 1969 menjadi tahun
terkejam dan menyengit hati bagi Bunga Cahaya Matahari. Suatu subuh yang panas
tahun itu terjadi kecamuk panas di Kampung Nelayan. Rumah-rumah dibakar. Tempat
peribadatan dibongkar. Tahun itu masih masuk jadwal pembersihan terhadap
anggota Partai Komunis Indonesia dan tentara Soekarno.
Kampung Nelayan menjadi salah
satu target pembersihan, karena banyak tentara Soekarno di sana. Seantero
Kampung Nelayan disisir habis. Semua laki-laki dan perempuan, termasuk kakek
Bunga Cahaya Matahari, disuruh berbaris menghadap laut dan disuruh mengaku:
mereka tentara Soekarno. Semua ditembak mati, kemudian dibuang ke laut.
Bunga Cahaya Matahari yang
berhasil kabur— sebelumnya sang kakek telah menyampaikan, akan datang
serdadu-serdadu. Ia berhasil kabur ke atas tebing yang ditunjukkan sang kakek.
Di sana ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Di dalam gua ia bertemu dua orang
anak seumuran. Ia kenal dua anak itu. Jiman dan Muni. Kakak-beradik. Mereka
menangis tanpa suara. Sejak saat itulah Bunga Cahaya Matahari membisukan mulut
dan menjadi pendendam.
Hari kedua di dalam gua, Bunga
Cahaya Matahari dan kedua anak laki-laki itu keluar. Lapar sejak semalam
berkuasa atas diri mereka. Ketiganya berjalan mengendap-endap melewati semak
belukar dan jantung hutan. Akhirnya ketiganya sampai di tepi Jalan Raya Pos
Daendels.
Singkat cerita, mereka ditemukan
dan dipelihara oleh sepasang kekasih yang belum dianugerahi anak hingga tumbuh
dewasa.
“Sore itu,” ujar Bunga
Cahaya Matahari membuka cerita untuk kali pertama kepada kedua orang tuanya,
“sore yang lembap pada musim hujan 1945 akhir. Angin timur mendesir menuju
barat seperti biasa. Tak pelak, bau anyir darah dan busuk bangkai ikan terbawa
dalam desirnya. Sementara debur ombak yang berpacu dengan kulik burung camar
dan elang laut yang baru pulang dari petualangan jadi pengiring pergantian
waktu dari sore menuju malam. Awan-gemawan abu kehitam-hitaman bergerak lamban,
membuat cemas anak-istri para nelayan yang tak sabar menunggu suami mereka di
gubuk seribu meter dari bibir pantai.
“Lihat! Betapa bahagia anak-anak
Kampung Nelayan bermain bola sebelum sore betul-betul hilang dari pandang.
Engkau, jika bertandang ke sana, dapatlah menghitung jumlah rusuk yang jadi
pembatas perut dan leher anak-anak itu.
Engkau akan tertawa. Pun
sebaliknya, mereka akan menertawakanmu karena pakaianmu yang aneh.
Di Kampung Nelayan, kebanyakan
orang buta warna. Mereka hanya tahu dua warna; merah dan putih. Kedua warna
itulah yang kebanyakan di antara mereka katakan sebagai simbol Indoneisa. Bukan
Indonesia. Kata ‘sia’, kata tetua kampung Kampung Nelayan, berarti buruk dan
pembawa sial. Kata tetua kampung lagi, kata ‘sia’ adalah nama asli pecapak
(hantu laut) orang kebanyakan memanggilnya Sia, yang suka menggarong hasil
tangkapan nelayan dan merusak jala mereka. Karena itulah, negara ini tak pernah
maju dan acap kali bernasib sial.
“Si Buta. Itulah panggilan bagi
tetua kampung. Ia kehilangan sepasang mata ketika tentara Jepang berlabuh di
tepi pantai Kampung Nelayan sebelah selatan Makam Terpanjang di Dunia, Jalan
Raya Pos Daendels. Waktu itu, atas instruksi langsung dari Bung Karno, ia
menahbiskan diri ikut serta dalam peperangan.
Alhasil, ia tertangkap ketika
mengintai. Tentara Jepang mengambil paksa kedua matanya lantaran ia tak buka
mulut.
“’ Anjing!’ maki seorang
tentara.
“Tak hanya dia yang tertangkap.
Beberapa rekan seperjuangan pun bernasib sama. Paling mengerikan, kemaluan
salah seorang rekannya dipotong. Dipotong! Engkau tak bisa membayangkan betapa
sakit bukan? Tak lama setelah perang berlangsung, dua bulan tepatnya, tentara
Jepang berhasil menduduki Kampung Nelayan. Mereka membakar seperempat dari
Kampung Nelayan, termasuk tempat peribadatan!
“Minggu pertama berkuasa, tentara
Jepang berhasil mengumpulkan seratus lebih perempuan di Kampung Nelayan. Anak
kecil, remaja, dan dewasa. Perempuan-perempuan itu harus melayani berahi mereka
bertahun-tahun. Yang paling menyengit di hati si Buta bukan kehilangan sepasang
mata, melainkan dua di antara seratus lebih perempuan itu adalah istri dan
anaknya yang masih remaja.
Dia tak kuasa menahan diri untuk
tak melelehkan air mata. Ia merasa tak berguna sebagai suami dan bapak. Nyaris
saban malam ia histeris. Rasa bersalah itulah yang menggerayangi pikirannya,
membuatnya tak pernah tenang. Bahkan ketika tentara Jepang mengundurkan diri
dari tanah airnya.
“’Istriku adalah ibu bagi seluruh
anak dan anakku adalah bunga zaman. Dan, aku gagal menjaga keduanya! Cuhh!’
Begitulah ucap si Buta — dialah kakekku yang dibunuh serdadu-serdadu yang entah
disuruh siapa pada 1969 — ketika kembali diingatkan pada kenangan kelam
hidupnya.”
Kedua orang tua angkatnya
terkejut bukan kepalang dan tersedu sedan mendengar cerita itu. Mereka selama
sebelas tahun mengira anak perempuan itu bisu.
Mereka salah. Salah besar.
Keduanya memeluk Bunga Cahaya Matahari seerat mungkin.
“Maafkan kami, Anakku,” ucap
ibu angkat Bunga Cahaya Matahari.
Aku Bunga Cahaya Matahari yang
lahir di Kampung Nelayan sebelah barat Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya
Pos Daendels. Aku anak dari tentara Jepang. Mereka memerkosa ibuku. Ibuku mati
ketika melahirkan aku. Kakekku buta dan mati di hadapan moncong senjata
serdadu-serdadu entah suruhan siapa pada musim kemarau 1969. Soal nenekku,
Kakek tak pernah menceritakan.
Selamat datang di negeri merah
dan putih untuk yang baru dilahirkan. Selamat jalan dan selamat berbahagia bagi
kalian yang telah naik ke langit dan menjadi bintang bagi kehidupan selanjutnya
I love that story ..
ReplyDeletevery inspire ..
good luck
I love that story ..
ReplyDeletevery inspire ..
good luck
GOOD
ReplyDelete