Penulis
: Rahmat Sangaji
Kategori
: Artikel
Di
masa diktator Suharto. Kita diingatkan oleh perkataan seorang Menteri Luar
Negeri andalannya "Ali Alatas, tempo itu ia pernah mengeluarkan satu
statement tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste) bahwa Timor Timur “seperti
kerikil di dalam sepatu.” Kebayang tidak enaknya. Kerikil itu sangat
mengganggu langkah kaki, tidak enak, bahkan bisa melukai.
Mendengar
hal itu. Dunia diplomasi internasional sontak geger. Kata-kata tersebut
langsung digoreng banyak pihak di dunia yang mendukung kemerdekaan Timor Timur.
Dalam tafsir mereka, secara diplomatis, setidaknya buat Alatas sendiri, dia
sudah “lempar handuk.” Mungkin capek,
frustasi karena sulit meyakinkan dunia yang terus menerus diramaikan para
aktifis dan diplomat pendukung kemerdekaan yang terus bergerak bergelombang di
banyak forum dunia, selain itu juga tak hentinya perlawanan di dalam negeri
sendiri dalam segala bentuk.
Setelah
Timor Timur merdeka dan menjadi negara Timor Leste, kita masih dikejutkan
kembali dengan kata-kata Alatas yang masih digoreng sebagai judul berita: “Keluar
Juga Kerikil Dalam Sepatu Itu.”
Sebab
Alatas adalah seorang menteri luar negeri, berarti juga juragannya para
diplomat Indonesia, maka ucapannya itu barang tentu harus ditafsirkan secara diplomatis
pula. Dan seperti saudara kandungnya, dunia politik, dunia diplomasi tidak bisa
ditafsir sehitam putih harga dua potong tempe kemul. Jalan diplomasi tidak
selurus jalan tanpa tanjakan, turunan, dan tikungan. Ia juga tidak selalu
merupakan dunia di mana dua tambah dua sama dengan empat. Dunia diplomasi
sering lebih seperti upacara yang samar. Sebuah pesta undangan makan malam bagi
para doplomat yang penuh warna abu-abu. Sesuatu yang justeru dimensi
informalnya sering dianggap penting.
Diplomasi
juga sering berarti Lobby. Lobby, yang secara etimologis berasal dari kata
Latin laubia dan lobia, berarti sebuah ruang masuk yang luas di dalam sebuah
bangunan publik. Ia bukan ruang utama. Tapi pembicaraan-pembicaraan di ruang
lobby ini, sering memberi pengaruh penting pada keputusan-keputusan yang
diambil di ruang utama.
Seperti
itulah dunia diplomasi dan loby bekerja. Sering lebih mengutamakan cara dan
agak “melupakan” isi. Bukan juga berarti isi tidak penting. Tapi
biasanya soal tujuan utama atau isi itu dikejar belakangan, setelah jalan
bernegosiasi berbasis respek dan saling menghormati dibuka oleh para diplomat
dan peloby. Pujangga Robert Frost menyimpulkan dengan bagus dan jenaka dunia
diplomasi. “A diplomat is a man who always remembers a woman's birthday but never
remembers her age.” Seorang diplomat adalah seorang laki-laki yang
ingat hari ulang tahun seorang perempuan, tapi tak ingat berapa umur perempuan
itu.
Dunia
diplomasi di mana lobby menjadi senjata ampuh yang tak mematikan, mengandalkan
kepiawaian berkomunikasi, pengetahuan dan kecerdasan. Bukan otot dan senjata
mematikan. Dalam medan laga perang, kemenangan ditentukan oleh kehancuran dan
kematian. Dalam diplomasi, pemenang bisa tampil tanpa musuh merasa terlalu
dikalahkan.
Contoh
konkrit, penyelesaian masalah Aceh lewat MOU Helsinki. Win-win solution. Aceh
tetap berada di dalam Indonesia, tapi lewat kekuatan-kekuatan politik lokalnya,
partai-partai nasional yang bermesin politik ampuh berpengalaman, selalu keok
dalam PILKADA di Bumi Rencong ini. DOM dicabut, kekerasan berkurang drastis.
Itu hasil kerja diplomasi.
Dan
kini gambaran tersebut di perlihatkan kembali oleh orang-orang Melanesia Papua.
Gelombang suaranya mulai menderu menyelinap masuk di kuping masyarakat dunia.
0 comments:
Post a Comment