Wednesday, July 24, 2019

Persoalan ‘Papua’ Dalam Dunia Diplomasi ‘Timor Leste’ Representase


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Artikel

Di masa diktator Suharto. Kita diingatkan oleh perkataan seorang Menteri Luar Negeri andalannya "Ali Alatas, tempo itu ia pernah mengeluarkan satu statement tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste) bahwa Timor Timur “seperti kerikil di dalam sepatu.” Kebayang tidak enaknya. Kerikil itu sangat mengganggu langkah kaki, tidak enak, bahkan bisa melukai.

Mendengar hal itu. Dunia diplomasi internasional sontak geger. Kata-kata tersebut langsung digoreng banyak pihak di dunia yang mendukung kemerdekaan Timor Timur. Dalam tafsir mereka, secara diplomatis, setidaknya buat Alatas sendiri, dia sudah “lempar handuk.” Mungkin capek, frustasi karena sulit meyakinkan dunia yang terus menerus diramaikan para aktifis dan diplomat pendukung kemerdekaan yang terus bergerak bergelombang di banyak forum dunia, selain itu juga tak hentinya perlawanan di dalam negeri sendiri dalam segala bentuk.

Setelah Timor Timur merdeka dan menjadi negara Timor Leste, kita masih dikejutkan kembali dengan kata-kata Alatas yang masih digoreng sebagai judul berita: “Keluar Juga Kerikil Dalam Sepatu Itu.”

Sebab Alatas adalah seorang menteri luar negeri, berarti juga juragannya para diplomat Indonesia, maka ucapannya itu barang tentu harus ditafsirkan secara diplomatis pula. Dan seperti saudara kandungnya, dunia politik, dunia diplomasi tidak bisa ditafsir sehitam putih harga dua potong tempe kemul. Jalan diplomasi tidak selurus jalan tanpa tanjakan, turunan, dan tikungan. Ia juga tidak selalu merupakan dunia di mana dua tambah dua sama dengan empat. Dunia diplomasi sering lebih seperti upacara yang samar. Sebuah pesta undangan makan malam bagi para doplomat yang penuh warna abu-abu. Sesuatu yang justeru dimensi informalnya sering dianggap penting.

Diplomasi juga sering berarti Lobby. Lobby, yang secara etimologis berasal dari kata Latin laubia dan lobia, berarti sebuah ruang masuk yang luas di dalam sebuah bangunan publik. Ia bukan ruang utama. Tapi pembicaraan-pembicaraan di ruang lobby ini, sering memberi pengaruh penting pada keputusan-keputusan yang diambil di ruang utama.

Seperti itulah dunia diplomasi dan loby bekerja. Sering lebih mengutamakan cara dan agak “melupakan” isi. Bukan juga berarti isi tidak penting. Tapi biasanya soal tujuan utama atau isi itu dikejar belakangan, setelah jalan bernegosiasi berbasis respek dan saling menghormati dibuka oleh para diplomat dan peloby. Pujangga Robert Frost menyimpulkan dengan bagus dan jenaka dunia diplomasi. A diplomat is a man who always remembers a woman's birthday but never remembers her age.” Seorang diplomat adalah seorang laki-laki yang ingat hari ulang tahun seorang perempuan, tapi tak ingat berapa umur perempuan itu.


Dunia diplomasi di mana lobby menjadi senjata ampuh yang tak mematikan, mengandalkan kepiawaian berkomunikasi, pengetahuan dan kecerdasan. Bukan otot dan senjata mematikan. Dalam medan laga perang, kemenangan ditentukan oleh kehancuran dan kematian. Dalam diplomasi, pemenang bisa tampil tanpa musuh merasa terlalu dikalahkan.

Contoh konkrit, penyelesaian masalah Aceh lewat MOU Helsinki. Win-win solution. Aceh tetap berada di dalam Indonesia, tapi lewat kekuatan-kekuatan politik lokalnya, partai-partai nasional yang bermesin politik ampuh berpengalaman, selalu keok dalam PILKADA di Bumi Rencong ini. DOM dicabut, kekerasan berkurang drastis. Itu hasil kerja diplomasi.

Dan kini gambaran tersebut di perlihatkan kembali oleh orang-orang Melanesia Papua. Gelombang suaranya mulai menderu menyelinap masuk di kuping masyarakat dunia.

0 comments:

Post a Comment