Karya By : Rahmat Sangaji
Terdengar derit
daun jendela penderitaan menelusup di celah pintu ketidakadilan, tiba-tiba
datang begitu jantan mengetuk ingatan.
Bahwa kita
pernah ada pada liuk malam paling sunyi yang tumbuh dalam sebatang kara. Kala
itu aku memandangmu, lantas cinta dan perjuangan kemudian tertindih oleh angin
rindu keadilan
Sekadar memenuhi
takdirku yang terayun-ayun derita cinta dan perjuangan hingga Tuhan
mengizinkan. Pada sesuatu yang bukan rasa pura-pura.
Tetap saja
misteri.
Memutuskan mata
rantai rindu, tak semudah menghalau lalat-lalat di pipiku.
Tetap saja yang
kutatap adalah yang datang lantas cepat pergi.
Ya.
Aku tak ingin
ada sedikit tangis.
Sementara air
mata telah ia bawa pergi dengan cara sempurna.
Aku bisa apa?
Kini,
Sesekali aku
sambangi malamnya.
Sepi.
Mungkin ia
tengah berdoa ...
Sunyi.
Barangkali ia
sedang mengendalikan benci.
Seperti aku
Yang tak rela
Jika rindu tak datang,
dan menyiksa seperti biasanya
0 comments:
Post a Comment