Kategori : Cepen |Fiksi
Dentuman, hingar bingar musik dan
manusia memenuhi ruangan menulikan ratusan pasang rungu pada keadaan di luar.
Tatapan liar mendamba dan membara terpancar dari setiap pasang mata yang
memandang.
Lekukan tubuh mengiringi musik
dari negara barat. Tidak ada yang berkedip melihat pemandangan indah sempurna
bagi laki-laki tak beriman. Yang lebih memilih merasakan api membara dan
tusukan ribuan jarum panas dari Rabb.
Gelengan kepala seorang wanita
menjawab tanya barista berambut perak dengan penampilan kemayu. Tangan wanita
itu menyampirkan clutch di bahunya yang terbuka.
Hanya dehaman yang diterima
lelaki kemayu itu seiring langkah kaki wanita
yang meninggalkannya dalam kebisingan teramat.
Wanita cantik dengan penampilan
glamour itu keluar dari sebuah kelab malam dengan diiringi tatapan liar dari
kaum adam.
Mengibaskan rambut rambut panjang
kemerahannya hasil catokan tata rias ternama ketika melewati pria mata
keranjang.
"Jesica Ahmad." wanita itu menyandarkan punggungnya
dengan nyaman di jok mobil setelah memberitahu sopir taksi alamat apartemennya.
Waktu satu jam dipergunakan
wanita itu untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan otot sementara menunggu
tiba di apartemen. Ingatannya menerawang dikala mata itu terpejam. Mengenang
apa yang selama ini tidak pantas dikenang.
Wanita berusia 30 tahun yang
selalu dibayangi masa lalu yang membuatnya sulit lepas dan terbebas dari masa
kelam.
Wanita cantik itu turun setelah
membayar ketika sopir memberitahunya sudah sampai di tempat tujuan dan segera
masuk ke lobi apartemen.
Melempar asal clutch setelah
sampai di kamar sebelum masuk ke kamar mandi. Namun, bunyi bip di gawai
menghentikan langkahnya.
Sebuah pesan dari orang yang
selalu memperhatikannya tanpa sama sekali diharapkan wanita itu.
'Besok ibu tunggu, pulanglah.'
Pulang?
Bahkan ia lupa kapan terakhir
pulang.
Tidak berniat membalas, wanita
itu melanjutkan niatnya. Berendam seperti biasa sampai satu jam lebih menikmati
busa wangi memanjakan tubuhnya. Setelah puas, baru wanita itu keluar dan
membalut tubuhnya dengan bathrobe.
"Kamu selalu cantik."
Bibir wanita itu melengkung,
senyum manis terukir di bibir tipisnya yang mulai pucat karena terlalu lama
berendam mengingat ucapan lelaki yang pernah membuat hatinya berbunga.
Tangannya mengusap rambut panjang
yang basah dengan handuk seraya menatap intens bayangan dirinya di kaca.
"Rambut ini yang membuatku
gila."
Lagi bibir itu menyunggingkan
senyum. Kala wajah lelaki itu memenuhi ruangan memory-nya.
Dan seketika, senyum miris dan
sinis dengan tatapan tajam mengancam menggantikan ketulusannya, ketika
mengingat kalimat yang membuat wanita itu sakit hingga luka di sudut hatinya
dipastikan tak akan sembuh.
"Maaf, aku akan segera
menjadi Ayah."
Iya, dia lelaki yang sudah
membuat wanita itu gila. Gila dengan perasaan yang sudah membuatnya jatuh.
Menjatuhkan hati pada lelaki yang salah.
Hati wanita itu terluka, ketika
cintanya di hempas tak bersisa. Meninggalkan kenangan mendalam yang
menghancurkan hatinya.
Kesakitan yang mendalam,
menyisakan luka yang menganga. Ketika hidupnya sudah disandarkan pada seorang
pria dewasa yang mengkhianatinya, setelah lima tahun manjalin hubungan, hingga
satu kenyataan pahit didapatkan wanita tersebut.
Deringan gawai membawa wanita itu
kembali berpijak pada dunia nyata. Menatap datar nama penelpon, tanpa berniat
mengangkat.
Satu nama yang selalu tertera di
layar gawainya. Pagi, siang dan malam. Ibunya seakan tidak pernah bosan
melakukan hal yang tidak pernah akan di sambut wanita itu dengan baik.
Persetan dengan semuanya, ia
hanya akan menjadi dirinya yang sekarang. Selama tiga tahun ini hidupnya
baik-baik saja tanpa orang terdekatnya.
Menolak semua kebaikan orang lain
yang membuatnya hanya merasa dikasihani.
"Begini lebih baik. Tanpa
ada dia ..." meski hati ini tak akan pernah melupakan
pengkhianatanmu.
Setelah deringan berhenti dan
berganti dengan bunyi bip tanda pesan masuk, wanita itu membuka pesan tersebut.
'Hanya kali ini. Ibu tidak akan
mengganggumu lagi.'
Tidak cukupkah dengan kepergiannya
selama ini? Kenapa seolah orang-orang ingin menjadi lebih dekat dengannya
setelah kejadian itu?
Begitu miriskah keadaannya?
Padahal, kehidupannya teramat baik tanpa sepeserpun saham orang tuanya yang
menghidupinya selama ini.
Kenapa setelah kejadian yang
menimpanya, orang tua itu semakin gencar menunjukkan peran nyata sebagai sosok
orang tua.
Kepulan asap rokok, terhembus
dari bibir pucat itu. Jari lentiknya menekan beberapa deretan angka di gawai.
Ketika panggilan tersambung dengan seseorang di seberang.
"Besok aku akan ke
Ternate." satu kalimat terucap, selanjutnya bantingan gawai
terdengar memenuhi ruangan apartemennya.
Kepingan itu hancur bersama
dengan kepingan hatinya yang kembali retak ketika ia memutuskan kembali ke kota
yang menjadikan dirinya seperti sekarang.
Cerita yang menakjubkan
ReplyDeleteseperti menceritakan Kisahku 3 tahun yang lalu
sukses selalu buat penulisnya
terima kasih atas komentar dan pujiannya,
ReplyDeletejangan lupa dishare ya ceritanya