Sunday, January 26, 2020

Manfaat dan Rutinitas Bangun Pagi


Agar bisa bangun di awal pagi yaitu dengan tidur lebih cepat saat malam. Hindari aktivitas malam yang mungkin tidak terlalu penting dilakukan, seperti menonton televisi hingga larut. Bangun tidur di awal pagi dapat meningkatkan konsentrasi dan baik bagi kesehatan.

Berbagai manfaat dapat dirasakan saat mengawali hari dengan kegiatan yang positif dan tentu produktif. Seperti halnya dapat menyelesaikan urusan pekerjaan sesuai jadwal dan juga mampu mengatur waktu.



Ketika terbiasa bangun di awal pagi, kita akan memiliki kesempatan untuk berolahraga lebih lama. Tidak harus melakukan olahraga yang terlalu berat, kita bisa berolahraga dengan lari-lari kecil di halaman rumahmu. Dengan berolahraga rutin setiap pagi, dapat meningkatkan konsentrasi dan kesehatan mental, meningkatkan metabolism tubuh, hingga mendapatkan kualitas tidur yang lebih baik saat malam hari.
Selain itu Menurut Rush University Medical Center menjelaskan, saat  sarapan kita memberikan asupan kalori pada tubuh dan akan digunakan untuk beraktivitas pada hari itu. Biasakan sarapan setiap paginya, agar dapat menjalani rutinitas hari dalam kondisi tubuh yang terjaga.

Dengan menyusun aktivitas yang akan dilakukan, membuatmu tahu yang mana harus dilakukan terlebih dulu. kita pun bisa mengatur waktu lebih baik dengan aktivitas yang akan dikerjakan pada hari tersebut. Hal ini dapat menjadi kebiasaan baik yang akan kita  lakukan setiap harinya.


Pesona Pantai Nirwana




Pantai Nirwana letaknya berada di Kelurahan Sula, Kecamatan Betoambari, dapat ditempuh sekitar 15 menit dari pusat kota Baubau dan tak jauh dari Bandara Baubau. Pengunjung yang datang menggunakan sepeda motor harus bayar uang masuk sebesar Rp 2.000 dan Rp 5.000 untuk mobil. Ketika masuk ke lokasi pantai banyak terdapat gazebo beratapkan alang-alang untuk tempat istrahat bagi para pengunjung yang disewakan sebesar Rp 30.000 oleh penduduk sekitar. Selain itu juga terdapat tempat untuk bakar ikan di pantai. Pasirnya yang putih terasa sangat lembut ketika diinjak. Hal ini membuat beberapa anak kecil berlari berkejaran di atas pasir putih. Terdapat juga beberapa anak kecil menggunakan pelampung berenang di bibir pantai. Pantai Nirwana  aman bagi anak-anak untuk berenang.


Betapa tidak, pemandangan air laut yang kebiruan dan bersih membuat siapa pun untuk selalu betah duduk berlama-lama di pantai tersebut. Hamparan pasir putih bersama angin sepoi-sepoi menambah suasana di sepanjang pantai ini menjadi indah. Ya, pantai ini dinamakan Pantai Nirwana yang menjadi salah satu pantai primadona bagi masyarakat Kota Baubau, Sulawesi Tenggara, dan sekitarnya. Setiap akhir pekan, pantai ini selalu dikunjungi wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun lokal.



Sunday, August 4, 2019

Percakapan Dua Lelaki Terpenjara


Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen | Fiksi


Siang ini adalah hari yang ke sepuluh, aku berada di Lapas ini.
Semua rentetan kejadian terasa begitu cepat berlalu. Namun tidak untuk hari-hariku mendekam di penjara sialan ini.

Di sini waktu terasa begitu lambat berputar. Kehidupan sampah di antara para bajingan, membuatku frustasi. Namun aku sadar, aku juga seorang bajingan seperti mereka.

Di antara bajingan itulah kini tempatku. Bahkan aku harus berbagi tikar dengan seorang pembunuh. Sama sepertiku, yang telah membunuh delapan manusia sekali tabrak. Bajingan memang, atau apalah aku ini. Aku sudah tak mau pusing memikirkan sebutan apa yang tepat untukku.

Dulunya aku kuliah. Sampai bapak berkata padaku;
"Buat apa kamu kuliah hah? Kuliah cuma bikin kita tambah miskin!" Aku tirukan kata-kata bapak padaku.

Itu terngiang samapai saat ini.
"Jadi itu alasanmu jadi kriminal? Dan ada di sini bersamaku?" Tanya Waris, teman satu selku.
"Sebenarnya bukan itu. Ada cerita panjang sampai aku ada di sini."

"Ceritakanlah untukku. Mungkin bisa kutulis dan jadi sebuah cerita yang menarik." Kata Waris sambil sedikit terkekeh.

"Tak ada yang menarik dari cerita ini. Selepas aku berhenti kuliah, aku lebih suka menyendiri di kamar. Merancang bom, untuk meledakkan kampusku. Atau merencanakan demo besar-besaran di jalan," kataku sambil tertawa. Merasa lucu dengan leluconku sendiri.

"Ayolah bung ... Ceritakan saja. Kita ini senasib," katanya, sambil menyodorkan puntung rokok yang masih menyala.

Kuambil, kuhisap, lalu asapnya kuhempaskan perlahan.

"Hidupku dulu nyaris terasa sempurna. Aku punya istri cantik, pekerjaan yang lumayan. Anak yang lucu. Tapi semua itu terasa hilang, hanya karena lelucon isi celana dalam. Istriku selingkuh. Aku mulai suka mabuk-mabukan. Sampai melakukan seks dengan sembarang perempuan. Namun ada seorang gadis yang membuatku kembali hidup. Rahma namanya. Tapi pada akhirnya dia kembali membuatku menjadi mayat hidup. Dan aku membunuhnya pagi itu, bersama dengan pria yang telah merenggut istriku, dan juga Rahma dari hidupku."

"Ceritamu membuat perutku tersa terpelintir bung. Aku paham amarah dan sakit yang kau rasakan. Aku juga membunuh untuk alasan yang sama. Aku membunuh istriku dan selingkuhannya di hotel. Aku puas melakukan itu."

"Kau memang bajingan Ris." Kataku sambil mengelengkan kepala.

"Apa lagi yang bisa kulakukan bung? Harga diriku sudah terinjak-injak sebagai laki-laki."

"Aku sudah lupa, apa itu harga diri. Bagiku itu hanya omong kosong. Hidupku hancur. Apa lagi yang bisa kuharap di luar sana. Kecuali satu hal yang masih tersisa. Anakku. Hanya dia yang ada di kepalaku sekarang."

"Aku tak punya anak. Ini mungkin perbedaan kita bung. Tapi aku percaya anakkmu akan tetap mengingatmu sebagai bajingan, yang masuk penjara. Dan itu pasti, pasti membebaninya bung."

"Bangsat!!!!" aku berteriak, memgangi kepalaku yang tersa berputar-putar mendengar perkataan Waris, "Aku memang goblok! Tolol! Sampai semua ini terjadi. Kau mungkin benar."

Aku terdiam cukup lama, ada rasa yang begitu getir dalam dadaku. Mataku mulai nanar, dan anaganku mulai menapaki kejadian-kejadian di masa lalu. Hidupku yang bahagia. Hari-hari itu tak mungkin kembali.

"Sudahlah bung ... Untuk apa kau menyesal hah? Memang dengan menyesal dunia akan mengampunimu hah? Tidak! Duniamu tetap akan menghukummu bertubi-tubi. Jadilah bajingan yang kuat! Hidup kita bukan untuk menyesal. Keluarlah dari tempat ini, rebut kembali hidupmu bung!"

"Kenapa bukan kau saja! Hah? Kenapa kau masih tetap di sini?" sergahku.

"Aku akan mati di lapangan tembak. Dan itu kenyataannya bung. Lagi pula apa yang harus aku kejar di luar sana? Kau berbeda. Pikirkan tentang anakkmu. Aku tak punya siapapun di luar sana."

"Tapi bagaimana caranya? Kita ini di penjara. Hukumanku masih dua puluh tahun lagi. Itu pun jika masih hidup."

"Aku tau kau punya banyak uang bung. Apa yang tak bisa dilakukan uang hah?"

"Uang? Kau pikir aku banyak uang? Aku ini kere, kere dan tukang mabuk."

"Sudahlah bung. Kau jangan pura-pura. Aku tau kau sebentar lagi dibebaskan. Itu yang aku dengar dari kepala penjara tadi pagi."

"Omong kosong! Kau jangan bercanda Ris. Manamungkin itu terjadi? Aku tak punya apapun untuk membeli kebebasanku."

"Bukan kau bung. Ada orang lain, dia yang membebaskanmu.

"Siapa dia? Istriku? Itu tak mungkin."

Waris mengacungkan telunjuknya ke arahku.

"Dia yang membaskanmu."

Aku berbalik. Dan kulihat ada seorang wanita berdiri di balik jeruji selku. Wajah tak asing bagiku. Wajah keras, namun tetap cantik untuk ukuran seorang polwan. Erlani, aku ingat dia. Dia istri bajingan yang kutabrak. Tak mungkin dia akan membebaskanku.
Aku berdiri berhadapan dengannya.

"Aku akan membebaskanmu." Katanya tanpa basa-basi.

"Untuk apa?" kataku.

"Besok saja kau tanyakan itu. Besok kau sudah bisa keluar. Temuai aku besok jam delapan malam di restoran sebelah kantorku." Dia berkata dan pergi begitu saja. Tanpa menunggu jawabanku.

Jeritan Jelata


Karya By : Rahmat Sangaji

Kali-kali mengalirkan kata-kata bau busuk, hujat alam pada dada dan kepala yang kian dangkal.

Sementara para pesorak sibuk memunguti muntahan kata-kata bualan dalam sukacita yang imitasi.

Sementara para pendoa sibuk meminta rasa cukup, dan lupa tetangganya kemarin mati satu demi satu, sebab tak punya nasi barang sebiji.

Para pemegang kepala mulai merasa ngantuk, dan tak ingin melepaskan tangan dari kepala, sementara matanya terpejam sedikit barang sedikit.

Setelahnya para manusia jelata yang paling resah mulai mengibarkan bendara setengah tiang, dan menyanyikan lagu berkabung, gejolak dalam dadanya muncrat sampai pada matanya, ia menyaksikan arak-arak menuju pemakaman, lalu mengerumuni nisan berepitaf, keadilan.

Di luaran sana para guru tetap saja basa-basi, memberi petuah yang hangat, sementara ia lupa membersihkan sisa kebodohan yang melekat di kursi yang diduduki muridnya.

Dan akhirnya di seantero rimba terdengar kabar kematian dari sebuah bangsa yang gagal mengonani kelaminnya sendiri.

Dan para burung bangkai yang telah lama menantikan itu bergegas untuk ritual makan malam, setelah semua kepala tak lagi ada isi.

Batin Seorang Wanita

Penulis : R. Wijaya
Kategori : Cerpen | Fiksi

Di kala hubunganku kian menjulang memuncak di ujung tanduk, seorang wanita muda datang ke rumah, dan mengaku sangat mencintai belahan jiwaku ...!
Haruskah aku merelakan dia memiliki suamiku?

Sungguh ini mukul bantinku, sepanjang hayat aku tidak pernah membayangkan hal ini akan menimpa diriku. Seorang perempuan muda datang kepadaku dan dengan bahasa lugas, mengatakan bahwa ia mencintai suamiku!

Cinta? Gila, segampang dan semudah itukah perempuan itu berucap kata dasar itu kepadaku. Seperti tak ada perasaan bersalah. Seperti aku bukan seorang wanita seperti dirinya, dan sepertinya ia adalah perempuan yang belum sembuh benar dari sakit gilanya!

Ya, mulanya memang aku mengira bahwa perempuan itu tak waras, atau punya kelainan di jiwa. Dan entah mengapa ia terperangkap pada obsesi akut tentang suami orang.

Aku tak habis pikir. Bagaimana ia bisa sebuta itu? Tidak melihat kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya itu sudah punya anak dan istri.

Ingin rasanya aku memaki habis-habisan, lalu menamparnya berkali. Karena kupikir dia memang sengaja datang untuk memporakporandakan keutuhan rumah tanggaku. Apapun motifnya.

Tapi anehnya ...! Aku tidak punya kekuatan untuk melakukan hal itu. Aku sendiri juga tidak mengerti, mengapa justru rasa iba yang hadir dalam hati ini. Mendengar pengakuannya yang jujur dan polos, tidak takut kepada diriku. Pemilik sah Bang Nurdin, suamiku sekaligus pria yang kini ia sembagi dengan bahasa cinta itu. Ayah dari seorang anak yang terlahir dari rahimku, tujuh tahun lalu.

Dan sampai kapanpun, aku tidak akan bisa melupakan ucapannya di siang itu!

"Maafkan saya, Mba. Saya memang mencintai suami Mba. Suami Mba memang perhatian, penuh pengertian dan lembut. Saya mencintainya! Karena dia memiliki sebagian besar sifat bapak saya yang telah meninggal, sewaktu saya masih kecil. Tapi, Mba jangan khawatir, saya akan tetap menjaga nama baik Bang Nurdin, suami Mba. Dan saya tidak akan pernah merebutnya dari Mba, meskipun saya mencintainya ..."

"Tapi, untuk apa kamu katakan itu padaku? Apa kamu tidak malu?," tanyaku kasar, dengan perasaan heran dan geram.

"Justru saya malu kalau saya membohongi Mba. Diam-diam mencuri Bapak dari peraduan cinta biduk rumah tangga Mba. Saya bukan seorang maling, Mba. Saya masih punya harga diri. Tapi saya ingin jujur, karena merasa tulus mencintai dan menyayanginya! Saya ... saya, merasa nyaman, tenteram dan bahagia bila sedang berdekatan dengan Bapak."

Sedetik setelah menatap mulutnya yang kemudian bungkam, dengan wajahnya yang menunduk dan pasrah. Aku ingin sekali mengunyahnya dengan sepasang rahangku yang mulai bergemeretak menahan murka.

"Dasar sundal betina!" Batinku.

"Tapi ... tunggu dulu! Apakah tak lebih bijak jika kemudian aku membaca rumah tanggaku sendiri dengan Bang Nurdin? Sebelum aku mendepak hingga terjengkang si jalang ini dari sofa ruang tamu, menyumpal mulutnya yang sudah kelewat berani dan kurang ajar itu! Memperlakukan dia dengan serendah-rendahnya, lantas akan kubuat hina dina di hadapanku?"

"Tunggu dulu. Tentunya, perempuan ini bukanlah wanita sembarangan! Seperti halnya suamiku, yang begitu pemilih jika ingin meletakkan perhatiannya kepada seseorang. Tidak pada sembarang perempuan. Aku tahu watak suamiku."

Suara dari dalam tempurung kepala ini saling berdesakan, dan minta secepatnya terjelma menjadi beruntunnya kata-kata.

Ya, intuisiku jelas mengatakan jika perempuan ini berani datang sendirian! Artinya ia telah siap! Dan tidak sekedar memperdengarkan berpotong-potong bualan perihal suamiku. Bagusnya, ia tidak meninggalnya pesan sebuah ancaman atau provokasi tertentu. Justru posisi inilah yang membuatku tak berkutik. Kecuali ... aku harus melihat lebih ke dalam lagi, tentang perjalanan biduk rumah tanggaku dengan Bang Nurdin.

Obrolan pahit dengan perempuan itu tidak sampai setengah jam, ia kemudian dengan santun. Meninggalkan aroma lembut parfum dari sintal tubuhnya, saat aku mengantar hingga gerbang depan. Dan tentu saja tanpa lambaian tangan!

Aku tahu nama pun varian wangi parfum yang ia pakai, persis dengan koleksi parfum eksklusif kesayanganku yang nomor empat.

"Hemm, siapa dia? Menjadi sangat pentingkah atau aku abaikan saja? Atau ...?"

Menurut keterangannya, ia teman sekantor suamiku. Satu divisi!, tinggal sekota dengan kami dan berstatus lajang! Lajang ...? Ah, aku tak yakin untuk yang satu ini. Hanya perempuan lajang sinting saja yang menggilai pria yang sudah beristri

Monday, July 29, 2019

JACK



Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen


Kini aku merasa waktu benar-benar nyaris habis. Hanya selangkah dan purna sudah. Diiringi kecipak gerimis pertengahan Desember, tak sekalipun membuat langkahku surut, meniti rentang buram garis nasib. Penghujung tahun penuh ratap dalam pelarian.

Menang atau kalah! Dua tebakan tipis yang saling melekat. Memiliki satu di antaranya, bukan berarti kehilangan sisi lainnya.


Menang, berarti akan menanggung kekalahan yang teramat dahsyat. Sementara kalah, tak musti bahagia lesat luput dari pelukan.
Lalu, apalagi?

Tak perlu memaksa, betapa banyak nama yang bangkit menelusup di kepalaku. Mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka adalah orang yang layak kukira untuk meneruskan tali-temali hidupnya.
Menuntaskan satu harapan yang kadang meredup karena ketidakberdayaan. Kerap menanggung kekalahan yang entah dari mana sebab pastinya.

Joni, bocah delapan tahun yang tak mampu sekolah karena ayahnya dibui.  Sementara sang ibu, entah ke mana.

Mbok Dimah, perempuan renta yang selalu menanggung beban dari ketiga anaknya, sedang sang suami lumpuh total tak berdaya di atas dipan.

Jangkung, perjaka sakit-sakitan yang bertahan. Mungkin ia tengah menunggu, satu hari tiba. Sang malaikat datang dan merenggut nyawa. Jangkung, sepertinya sudah pasrah, ia terlalu letih dan teramat putus asa menanggung rasa sakit yang tiada pernah tersembuhkan. Ia meras hidupnya telah sekarat. Kata orang-orang, konon ia mengidap HIV.

Karin, wanita lajang yang tak lagi lajang. Bertempat tinggal di lantai enam sebuah apartemen mewah. Kata relasi dan partner bisnisnya yang kukenal, Karin menjadi 'piaraan' seorang bos yang punya puluhan bisnis, sekitar 3 tahun lalu.

Tapi, apakah Karin akhirnya merasai bahagia seperti yang pernah diimpikan semenjak ia masih kencur?
Tidak!

"Kau tahu, Jack ...! Aku hanya seekor dara yang cuma hidup di indahnya puisi seseorang. Aku tahu, sudah tak mampu kembali lagi. Bahagia ini adalah penjara yang memborgolku, dan tidak cuma itu. Nanti engkau akan paham"

Kalimat itu pernah terlontar dari mulut Karin, ketika aku mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat selepas clubing. Aku, hanya seorang sopir dari banyak pengemudi kendaraan si tuan yang 'memenjarakan' Karin saat itu.

Rasa kasihan dan tidak tega membekapku ketika Karin akhirnya bercerita lebih mendalam. Mungkin lubuk hatinya telah bedah ...!

Tak lama berselang, aku memilih jalanku sendiri. Jalan nafkah yang kubulatkan untuk kuputus, keluar dari pekerjaan itu.

Metropolitan, adalah rimba yang membutakan bagi kebanyakan mereka. Ganas, buas, brutal. Kesemena-menaan, penipuan, penindasan, kesewenangan, keculasan juga rasa tega.

Entah, bagaimana sebagian mereka mampu mengemas itu semua dan melakoninya dan entah bagaimana pula sebagiannya lagi, mampu bertahan dengan perasaan kebal yang aku yakini tak tumbuh membebat secara mendadak.

Aku ada dan hidup di dalamnya,  sepuluh tahun lebih. Mengalami banyak hal, dan terus bertahan. Impitan perih juga tentu saja berakhir dengan tunduk kekalahan.

Namun aku, bukan ilalang yang harus patah atau mati dalam dalam sekali injakan. Hanya seorang lajang yang telah kehilangan ayah dan ibu, tak ada saudara kandung, hanya secarik surat yang menerangkan bahwa aku terlahir entah dari rahim perempuan siapa ... juga bapak siapa.

Panti asuhan yang lumayan bagus, aku tinggal di sana hingga masa remajaku. Sampai ketua yayasan menawariku untuk bekerja di Jakarta.

Pada sebuah perusahaan besar yang dimiliki oleh seorang bos.

Aku masih ingat kenangan itu. Begitu legit tersisip di setiap sepi yang merajahi hati.

Ada banyak pura menjulang, asap dupa, sesaji dan orang-orang asing. Mereka menyebutnya sebagai tanah para dewa. Sebuah panti asuhan yang berada di bawah sebuah yayasan internasional, menjadi kediaman hangat walau tak mampu mengusir rindu.

Rindu pada siapa? Ayah, ibu, saudara ...? Atau barangkali kekasih?

Sekali lagi kukatakan tidak! Aku, cukup bersyukur, tumbuh dan mulai terbiasa dengan perasaan payau itu.

Tak kudapati hal lebih jika ingin membaca riwayat diri ini. Aku hanya tahu, terlahir di box bayi pada panti asuhan daerah Nusa Dua.

Kerap aku melihat sepasang bule. Terlihat bahagia memanggul seorang anak lelaki mereka. Bocah itu sebayaku. Bermain dengan kedua orang tuanya di pantai berpasir lembut. Menikmati sunrise, menikmati sunset. Bermanja-manja ...

Sekilas ... kubandingkan tubuhku. Sama persis dengan bocah itu. Tapi nasib tak persis sama. Memandangi bocah itu bersama kedua orang tuanya, menikmati indahnya weekend dari balik jendela berkaca tebal panti asuhan. 

Sebelum akhirnya aku melap kaca itu hingga bening dan melanjutkan untuk mengepel lantai.

Namaku Jack. Hampir seperti merk minuman keras, dan aku tak peduli. Sebab sedikit atau banyak seseorang pasti mempunyai alasan khusus mengapa memberiku nama demikian.

Tak perlu juga risau ... sebab sadar atau tidak seseorang pasti akan memegang dan memainkan kartu di hidupnya sendiri. Tak terkecuali diriku ....

Delapan minggu mereka memburuku! Memasukkan nama pada papan atas daftar sosok yang paling dicari.

Itu terjadi pada dua hari setelah bos mafia yang juga tuan pemelihara Karin, tewas mengenaskan.
Tenggorokannya jebol, tertusuk oleh pena berharga jutaan miliknya. Tubuhnya setengah bugil, hanya mengenakan celana dalam dan kaus singlet, dilempar paksa dari lantai sebelas sebuah apartemen mewah di kawasan elit ibu kota.

Kubayangkan tubuh Cabino meluncur deras ke bawah membelah angin, lalu terempas keras di lantai yang terbuat dari beton.

Sampai di bawah tubuh itu seperti rendang dengan kuah darah ...!
Berceceran seluruh bagiannya. Menjijikkan sekali. Semenjijikkan tingkahnya yang kelewat bejat.
Bejat? Apa hakku menghakiminya? Bukankah ia kekasih gelap Karin yang sekaligus bosku juga. Seseorang yang aku harus patuh pun sangat menghormatinya?

Aku melihat berita itu dari siaran berita televisi lokal, dan mengikuti berita itu seterusnya di tiap kesempatan.

Bergidik ngeri! Siapa pembunuh keji yang sanggup melakukannya? Tidakkah mereka tahu, Cabino sang bos yang telah tewas itu adalah orang yang sangat penting dan berpengaruh di lingkar kekuasaan formal dan anggota kumparan bisnis ibu kota.

Kolega dan anak buahnya dengan segala daya, mampu memburu dan mengungkap siapa pelaku dan dalang dibalik peristiwa berdarah yang mengejutkan seantero ibu kota.

Sementara itu Karin terus dijadikan saksi. Ia tak bisa ke mana-mana. Gawainya disadap pun semua gerak-geriknya sangat diawasi dengan seksama.

Ingin sekali aku bertemu dengan Karin dan bertanya banyak hal, sebelum polisi menetapkannya sebagai saksi di antara saksi-saksi lain.

Namun semua telah terlambat! Itu terjadi kukira beberapa jam menjelang kematian si Cabino. Karin beberapa kali meneleponku, tak kuangkat karena sedang berada di kamar mandi.

Ketika aku panggil balik, gawainya sudah tidak aktif.

Ia hanya meninggalkan pesan cukup panjang.

"Thanks, Jack ... kini pergilah! Polisi dan orang-orang sialan Cabino pasti akan memburumu sebentar lagi. Pergilah ke luar kota secepatnya. Semua keperluan ada di dalam tas kulit lusuh dalam almarimu. Maaf, aku menempatkannya kemarin tanpa seizinmu. Sekadar kau tak bertanya lebih jauh lagi ..."

Berterima kasih padaku? Tapi ... apa yang telah kulakukan untuk Karin? Kami tak membuat kesepakatan apa-apa, dan aku tak merasa melakukan apa-apa.

Atau aku memang sudah lupa?

Entahlah, sebab yang kuingat setelah mengantar Karin pulang ke apartemen, aku langsung pergi bersama kendaraan yang kubawa karena tugas untuk Karin sudah selesai juga karena malam sudah larut.

CCTV dari berbagai sudut yang terpasang di lantai basement itu kukira bisa membuktikan. Aku meluncur cepat. Keluar mengendari sedan mewah warna hitam, Benz E 200 hadiah dari Cabino untuk Karin.

Gawaiku berdenyut. Tanda panggil dari Karin, sekilas kulirik arloji. Pukul 02.40 WIB. Malam hampir habis.

"Jack, jemput aku di lobby ya, cepat! Aku tunggu di sofa ..."

Suara Karin tak seperti biasanya. Intuisiku mengatakan demikian. Sebab tak pernah sekasar itu ia memerintah dengan kata yang baru sekali itu kudengar.

"Oke!"

Aku matikan rokokku yang masih tersisa setengah dan bergegas menuju lobby hotel. Tempat party diselenggarakan oleh seorang taipan yang tengah merayakan ulang tahun.

Perihal acara apa pun itu, aku tak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana Karin selamat, merasa nyaman saat berangkat hingga pulang. Memastikan ia baik-baik saja hingga tiba di depan pintu apartemen.

Karena memang itu tugasku.
Dalam lobby kudapati sosok Karin dengan pakaian malam seksinya, namun kali ini tampak lain. Tubuh dan wajah itu tampak cemas, walau pada raut ayunya bersikeras coba mengusir sesuatu yang tengah ia pendam.

Karin, menyambar lenganku! Memaksa dengan kasar meninggalkan lobby hotel. Sekilas aku merasa diperlakukan bak kekasih malamnya, untuk semalam saja! Walau tak mesra ... sementara intuisiku justru berkata sebaliknya.

Ada sesuatu yang tidak beres tengah dialami Karin saat menikmati pesta di dalam sana.
"Biar aku duduk di depan bersamamu, Jack"

"Silakan jika mau"
Aku menyahut tanpa memperhatikan dua kali bagaimana reaksi wajahnya, melukiskan rasa cekam yang kali ini bertambah besar. Semenjak kami tergesa-gesa meninggalkan lobby hotel berbintang lima itu.

Pesta belum lagi usai, namun Karin tak hendak menuntaskannya.
Mobil kukendarai, melesat cepat membelah malam kota Jakarta dengan pedal gas yang kian dalam kuinjak, seiring perpindahan gigi menuju kecepatan puncak. Jakarta, tetap khas dengan lalu lintas yang tak pernah tidur

Karin hanya diam. Menyeduh keheningan yang kutafsirkan begitu hampa. Matanya kaku memandang lintasan lajur tol yang diterangi sepasang lampu depan. Ia sama sekali tak terusik oleh lalu lalang dan bias terang lampu kendaraan, dari arah ruas yang berlawanan. Hatinya seperti padam.
Kulirik. Ia menangis ...!

"Tolong kenakan sabuk pengamanmu, Karin. Ini prosedur standar" kataku tanpa menoleh kepadanya.

Karin geragapan, seperti tersadar. Cepat ia mengkaitkan belt dan memasukkan kepala logam hingga terkunci.

"Maaf, seorang Cabino pun akan kutegur jika ia lalai mengenakannya ..." lanjutku dengan nada datar lagi dingin.

Tapi di luar dugaan. Karin menoleh, menatapku tajam dengan pelupuk matanya yang berat oleh sembab.

"Seharusnya biarkan saja, Jack. Si Cabino binatang itu mampus jika terjadi apa-apa dalam kendaraan ini"

Pancinganku berhasil.

"Kau keliru, Karin. Menyakiti kekasihmu, bukankah sama halnya dengan menyakiti dirimu sendiri? Ia sudah sangat baik dan berhasil membuat hidupmu penuh arti ..."

Karin beringsut. Tubuhnya tak lagi berada pada posisi menghadap ke depan layaknya seseorang pengemudi. Namun malah menghadap kepadaku.

Ekor mataku sempat menelisik. Dadanya kembang kempis mendadak, napasnya mulai memburu dengan tiba-tiba. Karin berubah garang dalam sekejap.

"Dengar Jack, andai Tuhan berkenan mengabulkan doaku malam ini. Aku akan meminta agar Cabino dicabut  nyawanya dalam keadaan sangat regang lagi kesakitan. Aku ingin ia mati, binasa untuk menebus semua kebejatan yang sudah melampau batas. Dan aku, akan bersedia menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika aku harus mendekam dalam penjara seumur hidup ..."

Nada suaranya tegas. Ada geram yang begitu menggelegak. Dari mulutnya, aku tak mencium bau alkhohol. Tumben ia waras untuk party malam ini.

"Bajingan busuk itu, mampus saja ...!"
Ia seperti belum puas tanpa menutup dengan kalimat makian, jika itu sudah menyangkut nama bos Cabino dalam setiap pembicaraannya, terutama dengan aku. Entah jika dengan orang lain.

"Ucapanmu bisa sangat bermasalah, Karin. Kuharap kau tak berpikir layaknya si cantik Barbie yang sedang patah hati atau putus asa"

Kujawab pertanyaan Karin tanpa menengoknya, dan tetap konsentrasi penuh dengan kendaraan dan jalan yang sedang kulintasi dengan kecepatan tinggi.

Kubiarkan ia menatapku dalam keadaan utuh dan puas. Mungkin, ini jalan terbaik baginya untuk menimpakan kekesalan yang menyedak di dada. Melampiaskan barang sekejap kepada lelaki yang berada di sebelahnya.

"Kau pikir aku bodoh, Jack! Karena tak ada yang kupercayai selama ini, selain dirimu ... dan aku tak pernah mengucap apa pun di luar sana. Aku bukan perempuan dungu yang tidak tahu resiko"

Kuinjak rem, kecepatan turun mendadak. Aku bahkan tanpa sadar telah melakukannya. Cepat-cepat kukembalikan mobil ke posisi kecepatan semula.

Melaju tenang membelah jalan tol sepanjang malam yang terus menghunjam ke waktu dini hari.

"Kenapa Jack? Kau grogi? Kau lupa betapa dekatnya kita?"
"Aku hanya kacung rendahan suruhan si hebat Cabino, harus paham derajatku ..."

Getir kujawab, dan berharap ia tak berkelanjutan meracau lagi dengan kalimat-kalimat lain yang lebih menusuk.

"Manusia, berderajat sama Jack. Hanya apa yang ia punya dan ia kenakan saja, akhirnya membedakan ia di mata manusia lain"

Karin diam, lalu menghela napas sangat dalam. Matanya mengelana jauh. Menerobos langit gelap yang tak tersentuh oleh jagad dirinya saat ini.

"Walau ia seorang lelaki peranakan Eropa-Indonesia yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Hidup tanpa kasih sejati bertahun di panti asuhan, mengenaskan ...! Rajin mengelap kaca dan mengepel lantai, mengorek toilet. Membekap rasa rindu yang terus terkatung-katung, kala kerap melihat bocah seusianya, ceria bermain di pantai indah berpasir lembut, dari balik kaca jendela. Dia sering melongo, kasihan ...! Berharap dalam andai jika ia adalah bocah itu, menggenggam ronce nasib yang sangat berbeda ..."

Entah dari mana datangnya refleks ini. Secepat kilat kucabut Glock 17 dalam sepersekian detik dan ketempelkan ke pelipis kiri Karin!

Aku sangat tersinggung. Ucapan Karin membuat perasaan ini begitu berdarah.

"Katakan sesuatu sekali lagi, hei cantik ...! Kupastikan isi kepalamu akan berceceran menempel pada kaca jendela di sampingmu ... dan kupastikan pula tubuhmu akan kulempar bagai bangkai anjing dari kabin ini ...!"

Entahlah, aku seperti mendadak kesurupan! Darah dari jantungku meledak terpompa. Serasa melonjak penuh hingga ke kepala tanpa melewati dada.

Karin malah tersenyum. Sama sekali tak ada gemetar yang menjalari tubuhnya. Ia tampak tenang tanpa ada perasaan takut sedikit pun.

"Aku lapar ...! Butuh kopi dan menghisap rokok. Bisa kita keluar tol di pintu berikut?" ucapnya santai.

Pistolku masih menempel lekat di pelipis kiri Karin.

Kukuh lurus dalam titik bidik, dengan telunjuk kiriku yang sudah siap melingkar penuh di pelatuk.
Napasku terus memburu. Menghirup udara dari semburan double blower perangkat mewah AC yang sekejap kurasai tak lagi mampu mengatupkan pori-pori dengan suhu rendahnya.

Namun, secara tiba-tiba sudah berubah bak kepulan hawa panas dari tungku yang mengangakan seonggok bara.

Kami saling diam! Detik berlalu beberapa loncatan. Menunggu ...!
"Sudah kukatakan sebuah kalimat seperti pinta ancammu, Jack? Kenapa tak jadi menembakku ...?"

Perasaanku mereda, perlahan pistol kutarik menjauh dari pelipis lembutnya itu. Memindahkan laju kendaraan ke lajur kiri setelah menyarungkan Glock 17 di balik jaket.

Perlahan kukurangi kecepatan. Tampak gerbang tol di depan dengan tanda dan terang isyarat lampunya.

Entahlah, di hadapan Karin kerap aku menjelma menjadi sosok bodoh atau bertindak bodoh. Dua-duanya tetap hal yang sama bagiku.
Sial ...!

"Berhati-hatilah dengan dendammu, Karin. Ia bisa terwujud kapan saja. Kau telah meletakkan satu pengharapan gelap yang tak biasa, tanpa tersadari"

Karin melengos! Mendengus sinis.

Melemparkan tatapannya beralih ke kaca samping. Tak ada yang bisa tertangkap sempurna oleh lensa matanya, aku yakin itu. Kecuali gelap yang melaju dengan kilatan lampu yang menyilaukan dari laju berbagai kendaraan yang melintas.

"Sejak sore aku belum makan, Jack. Sebaiknya kita sedikit cepat"

Karin tak menggubrisku ketika aku mulai menyeriusi ucapannya. Hatiku serasa terbang ....!
Apakah selalu demikian ketika seorang perempuan ingin memainkan hati seorang pria? Entahlah. Bahkan aku teramat awam untuk merasai bagaimana seluk-beluk jatuh cinta. Mempertaruhkan segala hidupnya isi hati dan tumpah-ruahnya perasaan.

Bagiku, perempuan ibarat angsa cantik yang tengah berenang dan menari di tengah kolam. Sangat berisiko tenggelam ketika aku atau siapapun berusaha untuk menggapai. Ingin menegaskan dengan telapak tangan sendiri.

Betapa indah, cantik dan lembut bulu-bulu itu.

Resiko!

Mungkin aku akan mengulas ulang lebih dalam tentang kata dasar ini. Tapi bisa jadi ... aku termasuk lelaki yang membutakan resiko. Terhadap hidup sekali yang kerap kuberontaki.
Bukankah aku juga berhak menyisipkan sedikit bahagia atasnya?

Malam terus bergerak, kurasai melaju begitu tergesa. Mendendangkan awal sebuah lakon petualangan, pengorbanan, ketulusan juga perihnya pengkhianatan.
Cinta ... ternyata masih mampu menyelamatkan segalanya.

Hikmah Dibalik Selembar Uang




Penulis : R. Sangaji
Dikategorikan : Cerpen 

Tak bisa dipungkiri, sebagian dari kita ibu rumah tangga pasti pernah ada di posisi tokoh. Saat dompet benar-benar sepi tak berpenghuni, sedangkan suami yang harusnya bertanggung jawab atas kehidupan kita dan anak-anak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung keluarga karena alasan tertentu. Sementara anak-anak tetap harus makan dan mirisnya tidak ada yang dimakan.

Sebagai ibu apa yang kita rasakan? Pasti sangat sedih. Apalagi mendengar rengekannya yang kelaparan, "Bu, lapar, makan."

Andai daging kita halal untuk dimakan, mungkin sebagai ibu tanpa berfikir panjang, langsung deh daging paha kita iris lalu kita goreng untuk lauk makan mereka.

Saking besarnya rasa cinta kita kepada anak, hingga sering tak memikirkan diri kita sendiri. Namun, itu tetaplah bukanlah solusi.

Bingung? pasti. Pusing? sangat. Rasanya bagai ingin pulang ke rahim ibu sambil sekalian mengajak cucunya.

Mau minta orang tua atau saudara sungkan, karena kondisi mereka pun bukan orang berada. Mau hutang di warung malu, mau minta tetangga apalagi, takut jadi bahan omongan.

Di situlah ketangguhan dan kesabaran kita sebagai seorang ibu benar-benar di uji. Harus bisa mencari jalan keluar, supaya anak-anak tetap bisa makan.

Dulu (sekarang pun masih cuma tak terlalu parah he he he), aku pernah ada di posisi si tokoh. Saat itu adalah titik terendah kehidupan rumah tanggaku.

Kami sedang disayang Allah dengan ujian yang luar biasa. Suamiku kecelakaan, kapal yang dia awaki terbakar di perairan Bangka Belitung dalam perjalanan Jakarta-Aceh, ketika hendak mengedrop bantuan buat para korban Tsunami.

Suamiku menjadi satu-satunya korban yang terbakar. Kejadiannya sangat tragis. Saat itu kapal sedang lego jangkar, menunggu kapal bantuan datang karena ada kerusakan mesin.

Posisi sebagian besar kru sedang beristirahat karena kelelahan. Hanya beberapa yang terjaga karena waktunya piket. Bahkan posisi kru yang seharusnya berjaga di ruang mesin pun juga terlelap saking lelahnya.

Bayangkan, kru yang bertugas di kapal itu hanya beristirahat ketika proses menurunkan dan menaikkan bantuan atau saat pengisian bahan bakar. Sejak  bencana tsunami melanda, kapal nyaris tak beristirahat, bolak balik antara Jakarta-Aceh.

Belum lagi ketika di Aceh mereka harus membantu proses evakuasi pengangkatan jenazah para korban. Makanya tidak heran jika mereka tertidur sangat pulas hingga tak menyadari jika ada bahaya yang mengancam nyawa mereka.

Alhamdulillahnya, suamiku yang saat itu sedang berjaga di anjungan turun karena hendak mengambil sesuatu di ruang mesin.

Dia mengetahui kebakaran itu dari asap yang keluar dari sela-sela pintu ruang mesin. Tanpa berfikir panjang dia langsung masuk ke ruang mesin untuk membangunkan teman-temannya. Mereka selamat, namun sayang justru suamiku terjebak di kobaran api.

Ah … jika membayangkan kejadian saat itu, betapa aku semakin bersyukur akan kasih Allah. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin suamiku sudah habis terbakar dan aku menjadi janda muda.

Singkat cerita, suamiku dirawat di Rumah Sakit. Alhamdulillah,  biaya perawatan ditanggung dinas, namun tetap saja ada banyak biaya yang harus kami keluarkan untuk menunjang kesembuhannya.

Tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit ludes tak bersisa. Gaji suamiku sudah mepet, belum lagi harus membayar kontrakan rumah yang kami tempati setiap bulannya. Usaha jahitku belum berjalan, karena di Jakarta kami orang baru.

Hampir dua bulan suamiku dirawat dan menjalani serangkaian pengobatan yang panjang dan melelahkan. Siang malam aku selalu setia mendampingi, padahal saat itu anak kami masih bayi dan masih menyusu.

Terpaksa dia kutitipkan pada simbahnya di kampung. Sering aku mengalami panas dingin, karena payudaraku sakit penuh dengan ASI.

Sekeluarnya dari rumah sakit,  suamiku masih harus istirahat kurang lebih tiga bulan lamanya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya. Selama itu pula kami harus bolak balik ke rumah sakit untuk control. Mata dan telinganya terganggu.

Bukan hanya menghadapi kesulitan ekonomi, aku pun harus menghadapi perubahan sikap suamiku yang dulunya sangat penyabar menjadi temperamental karena perubahan kondisi fisiknya yang sebelumnya tampan rupawan menjadi (maaf) buruk rupa.

Telinganya kanan kiri cuil karena gosong dan terpaksa dipotong. Wajahnya jangan tanya seremnya kayak apa. Memang suamiku tidak pernah main tangan, tapi cemburunya Subhanallah, bawaannya curiga melulu. Selalu ketakutan tak jelas. Khawatir aku selingkuh. Setiap berkata selalu menusuk bikin hati panas. Dilawan jadi ribut, didiamkan sakit hati.

Sampai pada suatu hari, aku berada dalam posisi yang tak enak tersebut. Beras tinggal segelas belimbing. Uang serupiah pun tak punya, sementara anak dan suamiku yang saat itu masih cuti pemulihan harus tetap makan.

Mau minta abang tak berani (padahal abang suamiku tinggal beda gang dengan kami). Sebelah saudara sebelah bukan. Mau minta kiriman orang tua tak tega, karena mereka pun bukan orang berada. Mau pinjam tetangga? malu, sama sekali aku tak memiliki keberanian.
Otakku langsung berputar, bagaimana caranya aku secepatnya dapat duit agar anak dan suamiku tetap bisa makan.

Teman-teman tahu apa yang aku lakukan? Aku ngojek. Dari pagi jam delapan sampai sekitar jam sebelasan. Dengan terpaksa kutinggalkan anakku di rumah dengan ayahnya. Pamit hanya keluar sebentar cari sayuran.

Alhamdulillah hari itu aku dapat uang sekitar dua puluh delapan ribu. Begitu aku pulang habis aku dimaki-maki suami. Ha ha ha. Dia bilang aku perempuan tak tahu dirilah, seenaknya keluyuran ninggal anak lah, bla  bla bla endesbra endesber.

Apakah aku melawan? Tidak. Cukup diam mendengarkan dia mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Akhirnya aku jujur, “Mas, maaf, aku pergi kelamaan, aku ngojek. Di rumah gak ada lauk. Aku sama sekali gak megang duit, lha nanti Mas makan pakai apa? kan Mas harus makan yang bergizi biar cepat sehat. Biar cepet bisa dinas lagi.”

Begitu tahu apa yang aku lakukan, suamiku langsung menangis. Memeluk sambil terus meminta maaf berulang-ulang, karena merasa sudah gagal jadi suami.

Peristiwa tersebut membuatku banyak belajar. Sesayang apapun suami pada kita, sebaik apapun dia, sebesar apapun penghasilannya akan ada titik di mana kita mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap harus bisa mengambil alih tanggung jawab suami sebagai tulang punggung keluarga.

Sebisa mungkin, walaupun kita hanya seorang ibu rumahtangga usahakan memiliki ketrampilan dan penghasilan sendiri. Apalagi jika penghasilan suami kita pas-pasan.

Tak ada salahnya kita membantu meringankan bebannya. Yakin deh, suami akan semakin bertambah sayang kepada kita. Yang terpenting jika kita memiliki penghasilan sendiri, jangan lalu congkak, sombong, lalu meremehkan dan menginjak harga diri suami. Jika demikian, bukan berkah yang akan kita dapat, tapi musibah.

Tak perlu malu tak usah gengsi, jika kita mau, banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan rumah dan anak-anak.

Entah itu menerima jasa cuci gosok atau laundry kiloan, menjahit, merias, menjual sayuran matang yang kita titipkan di warung, membuat kue, jualan pulsa, menerima les calistung, jualan online, dan masih banyak lagi pilihan yang lain. Yang penting halal.

Mungkin penghasilan yang kita dapat tidak besar. Tak apa. Walaupun hanya dapat sepuluh ribu rupiah sehari, percayalah. Suatu ketika di saat kita kepepet, uang sepuluh ribu itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga, bermanfaat dan akan sangat menolong kita.

"Ah ngapain kerja, Mbak Nir. Wong suamiku melarang dan bisa memenuhi semua kebutuhanku kok!"

“Yo Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Manfaatkan kesempatan ini buat menabung, mempersiapkan segalanya. Ibuku pernah berpesan, suami istri itu ibarat kran dan ember. Walaupun krannya deras mengalirkan air, tapi jika embernya bocor ya percuma, sia-sia.

Satu yang tidak boleh kita lupa, Bu. Batas antara cinta dan benci setipis batas antara hidup dan mati. Apa yang terjadi dengan kehidupan kita di kemudian hari hanya Allah Subhanallahu Wa Ta'ala  yang tahu.

Hari ini mungkin kita lah satu-satunya wanita yang dia cintai, tapi besok siapa yang tahu? Raganya bisa kita kendalikan, tapi hatinya? Tetap suamilah penguasanya.

Pagi ini suami masih bersama kita, tapi siang nanti siapa yang bisa menduga? Banyak kejadian suami berangkat kerja segar bugar, namun ketika pulang sudah terbujur berbalut kain kafan.  Lalu apa kita harus terus terpuruk? Sedangkan ada anak-anak yang harus kita fikirkan dan perjuangkan masa depannya.

Mungkin jika suami meninggalkan warisan, kita tidak terlalu pusing. Tapi bagaimana jika tidak?sementara kita selama ini tak terbiasa hidup susah karena selalu dimanja suami dan selalu  berada di posisi nyaman.

"Ah Mbak Nir, fikiranmu terlalu jauh. Apa yang terjadi besok ya fikir besok. Masak iya Allah akan membiarkan kita tak bisa makan? Toh semua mahkluk sudah dijamin rejekinya oleh Allah!"

Mungkin ada salah satu dari Njenengan berfikir begitu, Bu.
Itu betul, sangat betul. Allah sudah menjamin rejeki setiap Mahkluk-Nya. Tapi tetap harus disertai usaha, to? Burung pun harus keluar meninggalkan sarang untuk mendapatkan makan. Ayam pun harus mengais tanah dulu untuk mendapatkan cacing atau semut.

"Halah Mboyak, Mbak Nir. Sak karepmulah!"

Nah kalau udah ada tanggapan seperti ini, baru saya bingung mau jawab apa. Ha ha ha ....
Semoga Allah Subhanallahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua nggih, Bu. Selalu melimpahkan rahmad dan kasih-Nya untuk kita semua. Semoga rumah tangga kita selalu sakinah, mawadah, warohmah.

Yang paling utama, semoga Allah mencukupkan umur kita hingga kita bisa menyelesaikan tugas dan tanggung jawab  sebagai orang tua, untuk mengantarkan anak-anak ke gerbang kemandirian dan menjadikan mereka anak-anak yang benar-benar beriman, berahklak, berilmu dan berharta. Amin.
Salam sayang untuk Njenengan semua. Cerdas harus, tangguh wajib, cengeng jangan.

Sunday, July 28, 2019

Taman Yang Tandus Berbuah Jeruk Yang Segar

Ditulis Oleh : Aljufri
Kategori : Cerpen | Fiksi

Inilah aku Rinto, seorang pekerja kantoran disebuah perusahaan yang penuh dengan banyak aktifitas diluar kota hingga jarang pulang kerumah, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Dingin pagi diwaktu subuh, terbangunkan diriku dari tidur malam yang lelap, suasana yang segar dan tenang pagi itu, aku menatap ke pekarangan rumah yg sudah tak terurus selama tiga bulan lebih karena sering tugas diluar kota, tanah yang tandus dihiasi bunga-bunga yang layu, seraya memanggil hatiku tergerak untuk memasng selang air di kran lalu kusemprotkan taman hingga basah kuyup membasahi taman yang tandus dan sudah tak sedap dipandang itu.

Tak lama keluarlah bibi dari dalam rumah yang pada saat itu baru selesai sholat subuh "Rin lagi ngapain?",  bertanya dengan nada heran sang bibi karena kaget melihatku dengan tumben-tumbennya menyiram taman yang tandus dan telah layu rumput dan bunga-bunganya.

Tak aku hiraukan sedikitpun sahutan pertanyaan dari bibi  yang dilontarkan kepadaku pagi itu, hingga yang kedua kali beliau melontarkan bahasa yang sama "Rin lagi ngapain?",
sambil asyik menyiram taman yang tandus, kemudian serentak aku merespon kalimat bibi dan akupun menjawab, "Aku lagi siram taman yang sudah kering tandus dan layu bunganya Bi" jawab aku kepada sang bibi.

Kemudian aku bercerita kepada bibi, "sudah cukup lama aku jarang pulang kerumah dan fokus dengan pekerjaan hingga taman ini tak lagi terurus",

Kemudian bibi pun kembali bertanya "emang dahulu sering dirawat taman ini?",  tanya bibi karena bibi baru saja tinggal dirumah ku.

 "iya bi, dulu taman ini sering ku urus, hingga kini jarang terurus karena aku lagi banyak kerjaan diluar kota", jawab ku kepada bibi

Tanpa banyak berkata-kata Bibi pun menyahut ceritaku "ohh yaa, selamat mengurus taman tandus ya Rin...!!!", sahut bibi spontan kepadaku, aku terdiam, tanpa ada balasan kata buat sang bibi, sambil fokus menyiram taman itu, karena aku tahu bibi tidak bakalan mengurusunya bahkan bibi sendiri tidak yakin aku akan mengurusnya sampai menjadi taman yang indah, tetapi aku tetap konsisten tetap akan kuurus taman ini hingga suatu ketika akan subur dan membuat mata semua orang yang tak sepaham denganku sadar bahwa dibalik sibuknya aku ada setitik keindahan yang kugambarkan dipandangan mereka diatas taman ini yang dianggap tandus dan jelek tak terurus.

Tak lama terfikirkan didalam benakku  bunga apa yang akan kutanam lagi diatas taman yang telah tandus itu, akhirnya aku menemukan ide untuk menanam jeruk dapur setelah aku menjelajahi dunia maya.

Tak luput semangatku, akhirnya ku praktekkan buat menanam jeruk, diatas taman itu dan setiap hari aku selalu rajin menyiram taman tersebut.

Setelah tiga bulan kemudian, ternyata apa yang dipikirkan diluar dari dugaan, taman tersebut yang tadi tandus memberikan hasil tanaman jeruk dengan buah yang lebat dan subur, hingga bukan hanya sekedar cerita bahwa sedap dipandang mata saja, tapi memberi hasil dari buah jeruk tersebut buat dimakan.

Suatu ketika bibi menghampiri aku disore hari yang lagi menyiram tanaman jeruk, bibi pun kaget apa yang telah kulakukan selama ini tidak sia-sia “wah,,, Rin, ternyata kamu konsisten apa yang kamu lakukan hingga akhirnya taman ini yang tadinya tandus bisa memberi hasil tanaman jeruk yang segar dan buahnya bisa dimakan”, sahut kaget dan keheranan sang bibi kepadaku.

Aku pun dengan sedikit egonya karena awalnya bibi tidak pernah yakin apa yang aku lakukan akan memberikan dampak sehebat ini, akhirnya dengan spontan dan nada sedikit sombong aku pun berkata kepada bibi “Ah biasa aja,,, kebetulan aja Bi, karena saya serius maka hasil yang saya dapatkan juga serius donk”, sahut aku kepada bibi sambil memetik buah jeruk.

Setelah kejadian itu bibi sering membantuku mengurus taman Jeruk bahkan ketika aku lagi bertugas diluar kota bibi masih tetap mengurus dan merawat tanaman itu bahkan beliau sempat merekrut karyawan yang bertugas memetik buah dan mendistribusi penjualan dari hasil buah jeruk ke pasar-pasar dikota.