Monday, July 29, 2019

Hikmah Dibalik Selembar Uang




Penulis : R. Sangaji
Dikategorikan : Cerpen 

Tak bisa dipungkiri, sebagian dari kita ibu rumah tangga pasti pernah ada di posisi tokoh. Saat dompet benar-benar sepi tak berpenghuni, sedangkan suami yang harusnya bertanggung jawab atas kehidupan kita dan anak-anak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung keluarga karena alasan tertentu. Sementara anak-anak tetap harus makan dan mirisnya tidak ada yang dimakan.

Sebagai ibu apa yang kita rasakan? Pasti sangat sedih. Apalagi mendengar rengekannya yang kelaparan, "Bu, lapar, makan."

Andai daging kita halal untuk dimakan, mungkin sebagai ibu tanpa berfikir panjang, langsung deh daging paha kita iris lalu kita goreng untuk lauk makan mereka.

Saking besarnya rasa cinta kita kepada anak, hingga sering tak memikirkan diri kita sendiri. Namun, itu tetaplah bukanlah solusi.

Bingung? pasti. Pusing? sangat. Rasanya bagai ingin pulang ke rahim ibu sambil sekalian mengajak cucunya.

Mau minta orang tua atau saudara sungkan, karena kondisi mereka pun bukan orang berada. Mau hutang di warung malu, mau minta tetangga apalagi, takut jadi bahan omongan.

Di situlah ketangguhan dan kesabaran kita sebagai seorang ibu benar-benar di uji. Harus bisa mencari jalan keluar, supaya anak-anak tetap bisa makan.

Dulu (sekarang pun masih cuma tak terlalu parah he he he), aku pernah ada di posisi si tokoh. Saat itu adalah titik terendah kehidupan rumah tanggaku.

Kami sedang disayang Allah dengan ujian yang luar biasa. Suamiku kecelakaan, kapal yang dia awaki terbakar di perairan Bangka Belitung dalam perjalanan Jakarta-Aceh, ketika hendak mengedrop bantuan buat para korban Tsunami.

Suamiku menjadi satu-satunya korban yang terbakar. Kejadiannya sangat tragis. Saat itu kapal sedang lego jangkar, menunggu kapal bantuan datang karena ada kerusakan mesin.

Posisi sebagian besar kru sedang beristirahat karena kelelahan. Hanya beberapa yang terjaga karena waktunya piket. Bahkan posisi kru yang seharusnya berjaga di ruang mesin pun juga terlelap saking lelahnya.

Bayangkan, kru yang bertugas di kapal itu hanya beristirahat ketika proses menurunkan dan menaikkan bantuan atau saat pengisian bahan bakar. Sejak  bencana tsunami melanda, kapal nyaris tak beristirahat, bolak balik antara Jakarta-Aceh.

Belum lagi ketika di Aceh mereka harus membantu proses evakuasi pengangkatan jenazah para korban. Makanya tidak heran jika mereka tertidur sangat pulas hingga tak menyadari jika ada bahaya yang mengancam nyawa mereka.

Alhamdulillahnya, suamiku yang saat itu sedang berjaga di anjungan turun karena hendak mengambil sesuatu di ruang mesin.

Dia mengetahui kebakaran itu dari asap yang keluar dari sela-sela pintu ruang mesin. Tanpa berfikir panjang dia langsung masuk ke ruang mesin untuk membangunkan teman-temannya. Mereka selamat, namun sayang justru suamiku terjebak di kobaran api.

Ah … jika membayangkan kejadian saat itu, betapa aku semakin bersyukur akan kasih Allah. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin suamiku sudah habis terbakar dan aku menjadi janda muda.

Singkat cerita, suamiku dirawat di Rumah Sakit. Alhamdulillah,  biaya perawatan ditanggung dinas, namun tetap saja ada banyak biaya yang harus kami keluarkan untuk menunjang kesembuhannya.

Tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit ludes tak bersisa. Gaji suamiku sudah mepet, belum lagi harus membayar kontrakan rumah yang kami tempati setiap bulannya. Usaha jahitku belum berjalan, karena di Jakarta kami orang baru.

Hampir dua bulan suamiku dirawat dan menjalani serangkaian pengobatan yang panjang dan melelahkan. Siang malam aku selalu setia mendampingi, padahal saat itu anak kami masih bayi dan masih menyusu.

Terpaksa dia kutitipkan pada simbahnya di kampung. Sering aku mengalami panas dingin, karena payudaraku sakit penuh dengan ASI.

Sekeluarnya dari rumah sakit,  suamiku masih harus istirahat kurang lebih tiga bulan lamanya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya. Selama itu pula kami harus bolak balik ke rumah sakit untuk control. Mata dan telinganya terganggu.

Bukan hanya menghadapi kesulitan ekonomi, aku pun harus menghadapi perubahan sikap suamiku yang dulunya sangat penyabar menjadi temperamental karena perubahan kondisi fisiknya yang sebelumnya tampan rupawan menjadi (maaf) buruk rupa.

Telinganya kanan kiri cuil karena gosong dan terpaksa dipotong. Wajahnya jangan tanya seremnya kayak apa. Memang suamiku tidak pernah main tangan, tapi cemburunya Subhanallah, bawaannya curiga melulu. Selalu ketakutan tak jelas. Khawatir aku selingkuh. Setiap berkata selalu menusuk bikin hati panas. Dilawan jadi ribut, didiamkan sakit hati.

Sampai pada suatu hari, aku berada dalam posisi yang tak enak tersebut. Beras tinggal segelas belimbing. Uang serupiah pun tak punya, sementara anak dan suamiku yang saat itu masih cuti pemulihan harus tetap makan.

Mau minta abang tak berani (padahal abang suamiku tinggal beda gang dengan kami). Sebelah saudara sebelah bukan. Mau minta kiriman orang tua tak tega, karena mereka pun bukan orang berada. Mau pinjam tetangga? malu, sama sekali aku tak memiliki keberanian.
Otakku langsung berputar, bagaimana caranya aku secepatnya dapat duit agar anak dan suamiku tetap bisa makan.

Teman-teman tahu apa yang aku lakukan? Aku ngojek. Dari pagi jam delapan sampai sekitar jam sebelasan. Dengan terpaksa kutinggalkan anakku di rumah dengan ayahnya. Pamit hanya keluar sebentar cari sayuran.

Alhamdulillah hari itu aku dapat uang sekitar dua puluh delapan ribu. Begitu aku pulang habis aku dimaki-maki suami. Ha ha ha. Dia bilang aku perempuan tak tahu dirilah, seenaknya keluyuran ninggal anak lah, bla  bla bla endesbra endesber.

Apakah aku melawan? Tidak. Cukup diam mendengarkan dia mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Akhirnya aku jujur, “Mas, maaf, aku pergi kelamaan, aku ngojek. Di rumah gak ada lauk. Aku sama sekali gak megang duit, lha nanti Mas makan pakai apa? kan Mas harus makan yang bergizi biar cepat sehat. Biar cepet bisa dinas lagi.”

Begitu tahu apa yang aku lakukan, suamiku langsung menangis. Memeluk sambil terus meminta maaf berulang-ulang, karena merasa sudah gagal jadi suami.

Peristiwa tersebut membuatku banyak belajar. Sesayang apapun suami pada kita, sebaik apapun dia, sebesar apapun penghasilannya akan ada titik di mana kita mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap harus bisa mengambil alih tanggung jawab suami sebagai tulang punggung keluarga.

Sebisa mungkin, walaupun kita hanya seorang ibu rumahtangga usahakan memiliki ketrampilan dan penghasilan sendiri. Apalagi jika penghasilan suami kita pas-pasan.

Tak ada salahnya kita membantu meringankan bebannya. Yakin deh, suami akan semakin bertambah sayang kepada kita. Yang terpenting jika kita memiliki penghasilan sendiri, jangan lalu congkak, sombong, lalu meremehkan dan menginjak harga diri suami. Jika demikian, bukan berkah yang akan kita dapat, tapi musibah.

Tak perlu malu tak usah gengsi, jika kita mau, banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan rumah dan anak-anak.

Entah itu menerima jasa cuci gosok atau laundry kiloan, menjahit, merias, menjual sayuran matang yang kita titipkan di warung, membuat kue, jualan pulsa, menerima les calistung, jualan online, dan masih banyak lagi pilihan yang lain. Yang penting halal.

Mungkin penghasilan yang kita dapat tidak besar. Tak apa. Walaupun hanya dapat sepuluh ribu rupiah sehari, percayalah. Suatu ketika di saat kita kepepet, uang sepuluh ribu itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga, bermanfaat dan akan sangat menolong kita.

"Ah ngapain kerja, Mbak Nir. Wong suamiku melarang dan bisa memenuhi semua kebutuhanku kok!"

“Yo Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Manfaatkan kesempatan ini buat menabung, mempersiapkan segalanya. Ibuku pernah berpesan, suami istri itu ibarat kran dan ember. Walaupun krannya deras mengalirkan air, tapi jika embernya bocor ya percuma, sia-sia.

Satu yang tidak boleh kita lupa, Bu. Batas antara cinta dan benci setipis batas antara hidup dan mati. Apa yang terjadi dengan kehidupan kita di kemudian hari hanya Allah Subhanallahu Wa Ta'ala  yang tahu.

Hari ini mungkin kita lah satu-satunya wanita yang dia cintai, tapi besok siapa yang tahu? Raganya bisa kita kendalikan, tapi hatinya? Tetap suamilah penguasanya.

Pagi ini suami masih bersama kita, tapi siang nanti siapa yang bisa menduga? Banyak kejadian suami berangkat kerja segar bugar, namun ketika pulang sudah terbujur berbalut kain kafan.  Lalu apa kita harus terus terpuruk? Sedangkan ada anak-anak yang harus kita fikirkan dan perjuangkan masa depannya.

Mungkin jika suami meninggalkan warisan, kita tidak terlalu pusing. Tapi bagaimana jika tidak?sementara kita selama ini tak terbiasa hidup susah karena selalu dimanja suami dan selalu  berada di posisi nyaman.

"Ah Mbak Nir, fikiranmu terlalu jauh. Apa yang terjadi besok ya fikir besok. Masak iya Allah akan membiarkan kita tak bisa makan? Toh semua mahkluk sudah dijamin rejekinya oleh Allah!"

Mungkin ada salah satu dari Njenengan berfikir begitu, Bu.
Itu betul, sangat betul. Allah sudah menjamin rejeki setiap Mahkluk-Nya. Tapi tetap harus disertai usaha, to? Burung pun harus keluar meninggalkan sarang untuk mendapatkan makan. Ayam pun harus mengais tanah dulu untuk mendapatkan cacing atau semut.

"Halah Mboyak, Mbak Nir. Sak karepmulah!"

Nah kalau udah ada tanggapan seperti ini, baru saya bingung mau jawab apa. Ha ha ha ....
Semoga Allah Subhanallahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua nggih, Bu. Selalu melimpahkan rahmad dan kasih-Nya untuk kita semua. Semoga rumah tangga kita selalu sakinah, mawadah, warohmah.

Yang paling utama, semoga Allah mencukupkan umur kita hingga kita bisa menyelesaikan tugas dan tanggung jawab  sebagai orang tua, untuk mengantarkan anak-anak ke gerbang kemandirian dan menjadikan mereka anak-anak yang benar-benar beriman, berahklak, berilmu dan berharta. Amin.
Salam sayang untuk Njenengan semua. Cerdas harus, tangguh wajib, cengeng jangan.

0 comments:

Post a Comment