Penulis : R. Sangaji
Dikategorikan : Cerpen
Tak bisa dipungkiri, sebagian
dari kita ibu rumah tangga pasti pernah ada di posisi tokoh. Saat dompet
benar-benar sepi tak berpenghuni, sedangkan suami yang harusnya bertanggung
jawab atas kehidupan kita dan anak-anak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai
tulang punggung keluarga karena alasan tertentu. Sementara anak-anak tetap
harus makan dan mirisnya tidak ada yang dimakan.
Sebagai ibu apa yang kita
rasakan? Pasti sangat sedih. Apalagi mendengar rengekannya yang kelaparan, "Bu,
lapar, makan."
Andai daging kita halal untuk
dimakan, mungkin sebagai ibu tanpa berfikir panjang, langsung deh daging paha
kita iris lalu kita goreng untuk lauk makan mereka.
Saking besarnya rasa cinta kita
kepada anak, hingga sering tak memikirkan diri kita sendiri. Namun, itu
tetaplah bukanlah solusi.
Bingung? pasti. Pusing? sangat.
Rasanya bagai ingin pulang ke rahim ibu sambil sekalian mengajak cucunya.
Mau minta orang tua atau saudara
sungkan, karena kondisi mereka pun bukan orang berada. Mau hutang di warung malu,
mau minta tetangga apalagi, takut jadi bahan omongan.
Di situlah ketangguhan dan
kesabaran kita sebagai seorang ibu benar-benar di uji. Harus bisa mencari jalan
keluar, supaya anak-anak tetap bisa makan.
Dulu (sekarang pun masih cuma tak
terlalu parah he he he), aku pernah ada di posisi si tokoh. Saat itu adalah
titik terendah kehidupan rumah tanggaku.
Kami sedang disayang Allah dengan
ujian yang luar biasa. Suamiku kecelakaan, kapal yang dia awaki terbakar di
perairan Bangka Belitung dalam perjalanan Jakarta-Aceh, ketika hendak mengedrop
bantuan buat para korban Tsunami.
Suamiku menjadi satu-satunya
korban yang terbakar. Kejadiannya sangat tragis. Saat itu kapal sedang lego
jangkar, menunggu kapal bantuan datang karena ada kerusakan mesin.
Posisi sebagian besar kru sedang
beristirahat karena kelelahan. Hanya beberapa yang terjaga karena waktunya
piket. Bahkan posisi kru yang seharusnya berjaga di ruang mesin pun juga
terlelap saking lelahnya.
Bayangkan, kru yang bertugas di
kapal itu hanya beristirahat ketika proses menurunkan dan menaikkan bantuan
atau saat pengisian bahan bakar. Sejak
bencana tsunami melanda, kapal nyaris tak beristirahat, bolak balik
antara Jakarta-Aceh.
Belum lagi ketika di Aceh mereka
harus membantu proses evakuasi pengangkatan jenazah para korban. Makanya tidak
heran jika mereka tertidur sangat pulas hingga tak menyadari jika ada bahaya
yang mengancam nyawa mereka.
Alhamdulillahnya, suamiku yang
saat itu sedang berjaga di anjungan turun karena hendak mengambil sesuatu di
ruang mesin.
Dia mengetahui kebakaran itu dari
asap yang keluar dari sela-sela pintu ruang mesin. Tanpa berfikir panjang dia
langsung masuk ke ruang mesin untuk membangunkan teman-temannya. Mereka
selamat, namun sayang justru suamiku terjebak di kobaran api.
Ah … jika membayangkan kejadian
saat itu, betapa aku semakin bersyukur akan kasih Allah. Tanpa pertolongan-Nya,
mungkin suamiku sudah habis terbakar dan aku menjadi janda muda.
Singkat cerita, suamiku dirawat
di Rumah Sakit. Alhamdulillah, biaya
perawatan ditanggung dinas, namun tetap saja ada banyak biaya yang harus kami
keluarkan untuk menunjang kesembuhannya.
Tabungan yang kami kumpulkan
sedikit demi sedikit ludes tak bersisa. Gaji suamiku sudah mepet, belum lagi
harus membayar kontrakan rumah yang kami tempati setiap bulannya. Usaha jahitku
belum berjalan, karena di Jakarta kami orang baru.
Hampir dua bulan suamiku dirawat
dan menjalani serangkaian pengobatan yang panjang dan melelahkan. Siang malam
aku selalu setia mendampingi, padahal saat itu anak kami masih bayi dan masih
menyusu.
Terpaksa dia kutitipkan pada
simbahnya di kampung. Sering aku mengalami panas dingin, karena payudaraku
sakit penuh dengan ASI.
Sekeluarnya dari rumah
sakit, suamiku masih harus istirahat
kurang lebih tiga bulan lamanya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya.
Selama itu pula kami harus bolak balik ke rumah sakit untuk control. Mata dan
telinganya terganggu.
Bukan hanya menghadapi kesulitan
ekonomi, aku pun harus menghadapi perubahan sikap suamiku yang dulunya sangat penyabar
menjadi temperamental karena perubahan kondisi fisiknya yang sebelumnya tampan
rupawan menjadi (maaf) buruk rupa.
Telinganya kanan kiri cuil karena
gosong dan terpaksa dipotong. Wajahnya jangan tanya seremnya kayak apa. Memang
suamiku tidak pernah main tangan, tapi cemburunya Subhanallah, bawaannya curiga
melulu. Selalu ketakutan tak jelas. Khawatir aku selingkuh. Setiap berkata
selalu menusuk bikin hati panas. Dilawan jadi ribut, didiamkan sakit hati.
Sampai pada suatu hari, aku
berada dalam posisi yang tak enak tersebut. Beras tinggal segelas belimbing.
Uang serupiah pun tak punya, sementara anak dan suamiku yang saat itu masih
cuti pemulihan harus tetap makan.
Mau minta abang tak berani
(padahal abang suamiku tinggal beda gang dengan kami). Sebelah saudara sebelah
bukan. Mau minta kiriman orang tua tak tega, karena mereka pun bukan orang
berada. Mau pinjam tetangga? malu, sama sekali aku tak memiliki keberanian.
Otakku langsung berputar,
bagaimana caranya aku secepatnya dapat duit agar anak dan suamiku tetap bisa
makan.
Teman-teman tahu apa yang aku
lakukan? Aku ngojek. Dari pagi jam delapan sampai sekitar jam sebelasan. Dengan
terpaksa kutinggalkan anakku di rumah dengan ayahnya. Pamit hanya keluar
sebentar cari sayuran.
Alhamdulillah hari itu aku dapat
uang sekitar dua puluh delapan ribu. Begitu aku pulang habis aku dimaki-maki
suami. Ha ha ha. Dia bilang aku perempuan tak tahu dirilah, seenaknya keluyuran
ninggal anak lah, bla bla bla endesbra
endesber.
Apakah aku melawan? Tidak. Cukup diam
mendengarkan dia mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Akhirnya aku jujur,
“Mas, maaf, aku pergi kelamaan, aku ngojek. Di rumah gak ada lauk. Aku sama
sekali gak megang duit, lha nanti Mas makan pakai apa? kan Mas harus makan yang
bergizi biar cepat sehat. Biar cepet bisa dinas lagi.”
Begitu tahu apa yang aku lakukan,
suamiku langsung menangis. Memeluk sambil terus meminta maaf berulang-ulang,
karena merasa sudah gagal jadi suami.
Peristiwa tersebut membuatku
banyak belajar. Sesayang apapun suami pada kita, sebaik apapun dia, sebesar
apapun penghasilannya akan ada titik di mana kita mau tidak mau, suka tidak
suka, siap tidak siap harus bisa mengambil alih tanggung jawab suami sebagai
tulang punggung keluarga.
Sebisa mungkin, walaupun kita
hanya seorang ibu rumahtangga usahakan memiliki ketrampilan dan penghasilan
sendiri. Apalagi jika penghasilan suami kita pas-pasan.
Tak ada salahnya kita membantu
meringankan bebannya. Yakin deh, suami akan semakin bertambah sayang kepada
kita. Yang terpenting jika kita memiliki penghasilan sendiri, jangan lalu
congkak, sombong, lalu meremehkan dan menginjak harga diri suami. Jika
demikian, bukan berkah yang akan kita dapat, tapi musibah.
Tak perlu malu tak usah gengsi,
jika kita mau, banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan
rumah dan anak-anak.
Entah itu menerima jasa cuci
gosok atau laundry kiloan, menjahit, merias, menjual sayuran matang yang kita
titipkan di warung, membuat kue, jualan pulsa, menerima les calistung, jualan
online, dan masih banyak lagi pilihan yang lain. Yang penting halal.
Mungkin penghasilan yang kita
dapat tidak besar. Tak apa. Walaupun hanya dapat sepuluh ribu rupiah sehari,
percayalah. Suatu ketika di saat kita kepepet, uang sepuluh ribu itu akan
menjadi sesuatu yang sangat berharga, bermanfaat dan akan sangat menolong kita.
"Ah ngapain kerja, Mbak Nir.
Wong suamiku melarang dan bisa memenuhi semua kebutuhanku kok!"
“Yo Alhamdulillah kalau begitu,
Bu. Manfaatkan kesempatan ini buat menabung, mempersiapkan segalanya. Ibuku
pernah berpesan, suami istri itu ibarat kran dan ember. Walaupun krannya deras
mengalirkan air, tapi jika embernya bocor ya percuma, sia-sia.
Satu yang tidak boleh kita lupa,
Bu. Batas antara cinta dan benci setipis batas antara hidup dan mati. Apa yang
terjadi dengan kehidupan kita di kemudian hari hanya Allah Subhanallahu Wa
Ta'ala yang tahu.
Hari ini mungkin kita lah
satu-satunya wanita yang dia cintai, tapi besok siapa yang tahu? Raganya bisa
kita kendalikan, tapi hatinya? Tetap suamilah penguasanya.
Pagi ini suami masih bersama
kita, tapi siang nanti siapa yang bisa menduga? Banyak kejadian suami berangkat
kerja segar bugar, namun ketika pulang sudah terbujur berbalut kain kafan. Lalu apa kita harus terus terpuruk? Sedangkan
ada anak-anak yang harus kita fikirkan dan perjuangkan masa depannya.
Mungkin jika suami meninggalkan
warisan, kita tidak terlalu pusing. Tapi bagaimana jika tidak?sementara kita
selama ini tak terbiasa hidup susah karena selalu dimanja suami dan selalu berada di posisi nyaman.
"Ah Mbak Nir, fikiranmu
terlalu jauh. Apa yang terjadi besok ya fikir besok. Masak iya Allah akan
membiarkan kita tak bisa makan? Toh semua mahkluk sudah dijamin rejekinya oleh
Allah!"
Mungkin ada salah satu dari
Njenengan berfikir begitu, Bu.
Itu betul, sangat betul. Allah
sudah menjamin rejeki setiap Mahkluk-Nya. Tapi tetap harus disertai usaha, to?
Burung pun harus keluar meninggalkan sarang untuk mendapatkan makan. Ayam pun
harus mengais tanah dulu untuk mendapatkan cacing atau semut.
"Halah Mboyak, Mbak Nir. Sak
karepmulah!"
Nah kalau udah ada tanggapan
seperti ini, baru saya bingung mau jawab apa. Ha ha ha ....
Semoga Allah Subhanallahu Wa
Ta'ala selalu melindungi kita semua nggih, Bu. Selalu melimpahkan rahmad dan
kasih-Nya untuk kita semua. Semoga rumah tangga kita selalu sakinah, mawadah,
warohmah.
Yang paling utama, semoga Allah
mencukupkan umur kita hingga kita bisa menyelesaikan tugas dan tanggung
jawab sebagai orang tua, untuk
mengantarkan anak-anak ke gerbang kemandirian dan menjadikan mereka anak-anak
yang benar-benar beriman, berahklak, berilmu dan berharta. Amin.
Salam sayang untuk Njenengan
semua. Cerdas harus, tangguh wajib, cengeng jangan.
0 comments:
Post a Comment