Saturday, July 27, 2019

Siksaan Negara Didalam Jeruji


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Fiksi | Cerpen

Saudaraku dibalik jeruji besi, kau sudah sekian kalinya nyaris tak melihat indahnya matahari terbit dan tenggelam dari balik ruang dua kali dua yang di sekat penuh lembab tersebut.

Pastinya aku tau, kau enggan menghitungnya seberapa banyak bola api raksasa itu, luput dan berlalu dari pandanganmu.

Saudaraku, kuberitahu padamu Matahari tak pernah berubah. Ia senantiasa terbit dan tenggelam. Tapi, ada narasi yang harus kau ketahui. Sebuah narasi yang liris tentang perjalanan hidup. Sebuah narasi tentang penderitaan yang teramat sangat.

Terakhir, tahun 2016, seroang kawan datang padaku dan menyampaikan kabar bahwa kau menanggung sakit usai dikeroyok sesama tahanan perkara tempat tidur. Sekejap perasaan antara sedih dan marah berkecamuk di jiwaku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya membayangkan betapa perihnya luka di sekujur tubuh. Dari wajah hingga kaki. Lima orang bukanlah jumlah yang sedikit. Dan sebagai sebuah konsekuensi, kau harus menerimanya.

Dua tahun sudah kini. Bagaimana kabarmu? Siapa yang tahu? Kawan itu sudah pergi. Entah di mana kini ia. Kau tahu, Saudara, Mamak mulai sakit-sakitan. Ia menjatuhkan air matanya ketika membaca tulisanku tentangmu. Maka tahulah aku, betapa Mamak merindukanmu. Sebusuk-busuknya daging busuk, kau tetaplah anaknya! Bukan begitu?

Aku bukan saudara kecilmu lagi. Aku sudah tumbuh menjadi apa yang kukehendaki. Tak perlu kau tahu apa itu. Namun meski aku sudah begini adanya, memoar-memoar yang pernah terjadi di hidup kita tak pernah berhenti datang.

Kadang ketika aku melihat seorang anak kecil bersama sang abang, aku ingat satu memoar ini:
Ingat kau? Kalau suatu kali kita pernah lari tergapah-gopoh karena dikejar beberapa ekor anjing yang sedang lapar, yang hendak mengambil ikan yang kita jual? Masih ingat kau? Kadang kalau ingat memoar itu aku tertawa. Namun setelah itu, aku kembali menghela napas. Karena sepulang dari jual ikan, Mamak tak ada di rumah. Ia sedang pergi ke rumah Nenek mengambil beras. Saat itu senja dan hujan. Dan kita sama-sama menanggung lapar.

Tapi memoar tetaplah memoar, Saudara. Ada yang liris. Ada yang manis. Bukankah memang begitu bunga kehidupan?

Waktu dewasa ini, Saudara, rupanya apa yang kubayangkan sejak kecil--bahwa kehidupan akan indah pada waktunya, semuanya takhayul. Tak ada keindahan yang kutemukan. Hanya ada penderitaan yang jauh lebih lengkap dari yang pernah kurasakan. Dan sekarang aku hidup di kota. Tempat paling suram dan mengerikan.

Kau bayangkan saja, Saudara. Nyaris setiap menit ada saja penderitaan yang tiba dengan wajah lain. Perampasan lahan, pembunuhan, pembantaian orang oleh orang, pelacuran identitas, pemerkosaan anak perempuan dan perempuan remaja, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dan Mama, Saudaraku, dan Mama, makin jarang kulihat ia tersenyum. Terlalu masak pikiran dan tubuhnya dihajar penderitaan baik oleh keadaan (kekacauan ekonomi-politik) dan perampasan hak bertahan hidup. Kupikir itulah penyebab ia sakit-sakitan kini. Tapi diam-diam aku kerap berdoa untuknya. Tanpa Mamak apalah hidup ini artinya.

Saudaraku, selama aku hidup di kota tua yang kelam dan mengerikan ini, aku semacam berada dalam lingkaran setan. Ya, seperti ceritamu! Kau masih ingat? Ah, jangan bilang kau lupa! Lingkaran setan yang kau ceritakan malam-malam sepulang kita jualan bibit cengkeh

Begini ceritamu kalau aku tak salah ingat :

Malam itu angin dingin berhembus. Suara dedaunan yang digesek angin, menyerupai suara manusia yang memanggil. Malam itu aku kedinginan. Dan betul, aku mendengar suara gelak tawa orang banyak. Namun jauh.

Aku bangkit dan menyusul suara itu. Suara itu makin jauh, makin jauh, hingga akhirnya aku sampai di sebuah kolam yang merah airnya. Di situlah aku melihat orang melingkariku. Orang-orang yang tak menginjak bumi. Dan wajah mereka menyerupai binatang.

Lututku bergetar. Suaraku tak mampu keluar. Energiku seakan habis. Akhirnya aku tak sadarkan diri.
Nah, Saudaraku. Kini aku merasakan hal yang sama. Aku berada dalam lingkaran setan. Lingkaran setan berwujud manusia yang dengan kekuasaannya menindas manusia lainnya yang dimiskinkan yang hidup di jantung kota atau di pinggiran kota. Dan di antara orang yang dimiskinkan itu, aku melihat keluarga kita. Ada Mama, kau, dan dua adik kita.

Lututku bergetar. Aku marah. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhku seakan kehilangan daya dan upaya. Aku hanya melihat. Dan melihat! Ah, Saudaraku Jika kau ada di sini tentu sudah kau hantam aku dengan kepalan tanganmu!

"Bahkan, dalam keramaian yang paling riuh,

selalu dapat kudengar derit daun jendela penderitaan, yang terayun-ayun angin rindu Keadilan. Sesekali, kutuliskan derita cinta dan perjuangan pada jalan sunyi. Biar kelak di suatu ketika, cinta dan perjuangan anak jalanan mekar di sepanjang musim.

Kusudahi dulu surat ini, Saudaraku.Jika masih ada umur, akan kutulis surat selanjutnya untukmu

Kenangan Itu Sakit

Penulis : Rahmat Sangadji
Kategori : Cepen |Fiksi

Dentuman, hingar bingar musik dan manusia memenuhi ruangan menulikan ratusan pasang rungu pada keadaan di luar. Tatapan liar mendamba dan membara terpancar dari setiap pasang mata yang memandang.

Lekukan tubuh mengiringi musik dari negara barat. Tidak ada yang berkedip melihat pemandangan indah sempurna bagi laki-laki tak beriman. Yang lebih memilih merasakan api membara dan tusukan ribuan jarum panas dari Rabb.

Gelengan kepala seorang wanita menjawab tanya barista berambut perak dengan penampilan kemayu. Tangan wanita itu menyampirkan clutch di bahunya yang terbuka.

Hanya dehaman yang diterima lelaki kemayu itu seiring langkah kaki wanita  yang meninggalkannya dalam kebisingan teramat.
Wanita cantik dengan penampilan glamour itu keluar dari sebuah kelab malam dengan diiringi tatapan liar dari kaum adam.
Mengibaskan rambut rambut panjang kemerahannya hasil catokan tata rias ternama ketika melewati pria mata keranjang.

"Jesica Ahmad." wanita itu menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil setelah memberitahu sopir taksi alamat apartemennya.
Waktu satu jam dipergunakan wanita itu untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan otot sementara menunggu tiba di apartemen. Ingatannya menerawang dikala mata itu terpejam. Mengenang apa yang selama ini tidak pantas dikenang.
Wanita berusia 30 tahun yang selalu dibayangi masa lalu yang membuatnya sulit lepas dan terbebas dari masa kelam.
Wanita cantik itu turun setelah membayar ketika sopir memberitahunya sudah sampai di tempat tujuan dan segera masuk ke lobi apartemen.
Melempar asal clutch setelah sampai di kamar sebelum masuk ke kamar mandi. Namun, bunyi bip di gawai menghentikan langkahnya.
Sebuah pesan dari orang yang selalu memperhatikannya tanpa sama sekali diharapkan wanita itu.
'Besok ibu tunggu, pulanglah.'
Pulang?
Bahkan ia lupa kapan terakhir pulang.
Tidak berniat membalas, wanita itu melanjutkan niatnya. Berendam seperti biasa sampai satu jam lebih menikmati busa wangi memanjakan tubuhnya. Setelah puas, baru wanita itu keluar dan membalut tubuhnya dengan bathrobe.

"Kamu selalu cantik."
Bibir wanita itu melengkung, senyum manis terukir di bibir tipisnya yang mulai pucat karena terlalu lama berendam mengingat ucapan lelaki yang pernah membuat hatinya berbunga.
Tangannya mengusap rambut panjang yang basah dengan handuk seraya menatap intens bayangan dirinya di kaca.

"Rambut ini yang membuatku gila."

Lagi bibir itu menyunggingkan senyum. Kala wajah lelaki itu memenuhi ruangan memory-nya.
Dan seketika, senyum miris dan sinis dengan tatapan tajam mengancam menggantikan ketulusannya, ketika mengingat kalimat yang membuat wanita itu sakit hingga luka di sudut hatinya dipastikan tak akan sembuh.

"Maaf, aku akan segera menjadi Ayah."

Iya, dia lelaki yang sudah membuat wanita itu gila. Gila dengan perasaan yang sudah membuatnya jatuh. Menjatuhkan hati pada lelaki yang salah.

Hati wanita itu terluka, ketika cintanya di hempas tak bersisa. Meninggalkan kenangan mendalam yang menghancurkan hatinya.

Kesakitan yang mendalam, menyisakan luka yang menganga. Ketika hidupnya sudah disandarkan pada seorang pria dewasa yang mengkhianatinya, setelah lima tahun manjalin hubungan, hingga satu kenyataan pahit didapatkan wanita tersebut.

Deringan gawai membawa wanita itu kembali berpijak pada dunia nyata. Menatap datar nama penelpon, tanpa berniat mengangkat.

Satu nama yang selalu tertera di layar gawainya. Pagi, siang dan malam. Ibunya seakan tidak pernah bosan melakukan hal yang tidak pernah akan di sambut wanita itu dengan baik.
Persetan dengan semuanya, ia hanya akan menjadi dirinya yang sekarang. Selama tiga tahun ini hidupnya baik-baik saja tanpa orang terdekatnya.

Menolak semua kebaikan orang lain yang membuatnya hanya merasa dikasihani.

"Begini lebih baik. Tanpa ada dia ..." meski hati ini tak akan pernah melupakan pengkhianatanmu.
Setelah deringan berhenti dan berganti dengan bunyi bip tanda pesan masuk, wanita itu membuka pesan tersebut.

'Hanya kali ini. Ibu tidak akan mengganggumu lagi.'
Tidak cukupkah dengan kepergiannya selama ini? Kenapa seolah orang-orang ingin menjadi lebih dekat dengannya setelah kejadian itu?

Begitu miriskah keadaannya? Padahal, kehidupannya teramat baik tanpa sepeserpun saham orang tuanya yang menghidupinya selama ini.

Kenapa setelah kejadian yang menimpanya, orang tua itu semakin gencar menunjukkan peran nyata sebagai sosok orang tua.

Kepulan asap rokok, terhembus dari bibir pucat itu. Jari lentiknya menekan beberapa deretan angka di gawai. Ketika panggilan tersambung dengan seseorang di seberang.

"Besok aku akan ke Ternate." satu kalimat terucap, selanjutnya bantingan gawai terdengar memenuhi ruangan apartemennya.

Kepingan itu hancur bersama dengan kepingan hatinya yang kembali retak ketika ia memutuskan kembali ke kota yang menjadikan dirinya seperti sekarang. 

Mimpi Anak Pinggiran Kota

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori   : Cerpen, Artikel



Para pedagang dari seantero penjuru kota yang jauh akan membangun lapak di sepetak tanah milik negara di perkampungan kumuh pinggir kota Sabtu malam. Pasar Malam, begitulah kebenyakan orang menyebutnya. Pasar Malam itu tak pernah sekali pun sepi. Orang-orang pinggir kota itu akan memakai pakaian terbaik mereka sebelum berduyun-duyun pergi ke sana. Bagi paramuda, Pasar Malam itu adalah gelanggang mencari pasangan atau menunjukan taji, karenanya mereka akan berdandan sebaik menurutnya. Agar tampak elok dipandang tak jarang mereka mengoleskan minyak goreng ke kepalanya. Bahkan, tak jarang pula paramuda itu menyemprotkan pewangi pakaian begitu banyak, hingga bau badannya betul-betul hilang. Dan, bagi paramuda yang lain mereka akan bersikap acuh!

“Sebagai bunga pinggiran, kita mesti pandai menempatkan diri di antara bunga kota dan taman!” Begitulah semboyan hidup yang mereka tanamkan dalam diri masing-masing.

Di Pasar Malam itu semuanya serba ada. Di sudut kiri, para pedagang buah-buahan sibuk membelah buah pepaya yang ternyata kuning isinya. Di sudut kanan, para pedegang pakaian tampak sibuk tawar-menawar hingga menemu harga pas. Di tengah-tengah para pedagang kaset saling beradu nyaring-nyaringan pengeras suara sembari hidung mereka dimanjakan bau wangi dari pedagang parfum di sebelahnya. Paling belakang kursi-kursi pedagang nasi goreng dipenuhi pembeli yang tak sabar menunggu.

Thursday, July 25, 2019

Ibuku Adalah Surgaku

(Sepenggal Kisah Renungan dari Negeri Sakura)
Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Inspiratif

Di Jepang dahulunya pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke belantara hutan. Mereka yang dibuang tak lain adalah orang tuanya yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya

Di suatu hari ada seorang pemuda yang berkeinginan membuang ibunya ke hutan, sebab si Ibu telah tua, lumpuh dan pikun.

Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya.

Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata: “Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah”

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah.

Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.

_‘Orang tua’ bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan susah, hanya ‘orang tua’ yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah. ‘Orang tua’ kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua. 

Namun Bapak dan Ibu kita akan tetap mengasihi kita

Infrastruktur Papua Untuk Siapa?


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori  : Artikel

Pembangunan Infrastruktur di Papua selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berjalan masif dan cepat. Ribuan kilometer jalan baru berhasil dibangun di Papua dalam waktu kurang dari lima tahun. Pertanyaannya benar-benar kah pembangunan infrastruktur itu untuk menyejahterakan rakyat Papua? Rasanya ungkapan atau janji demi rakyat Papua hanya akan menjadi pepesan kosong. Seperti pada kasus kasus sebelumnya didaerah lain. Pembangunan infrastruktur jalan biasanya lebih banyak untuk memenuhi kepentingan dari pengusaha besar. Jalan yang dibuat itu hanya untuk memperlancar arus keluar masuk barang milik pengusaha besar atau konglomerat.

Di papua setelah jalannya mulus, saya perkirakan dalam waktu dekat jumlah perkebunan sawit yang saat ini menurut sawit watch mencapai 958.094,2 hektar dengan 79 korporasi perkebunan, akan meningkat pesat. Kehadiran perkebunan sawit biasanya memunculkan konflik pertanahan, mata pencaharian masyarakat adat berkurang, kriminalisasi oleh korporasi terhadap masyarakat, muncul bencana alam berupa banjir, kebakaran hutan dan lahan dan lain lain. Pembukaan perkebunan kelapa sawit berarti akan ada penebangan atau pembabatan hutan secara masif, berarti sebentar lagi ribuan, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan hektar hutan Papua akan digunduli demi perkebunan yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha.

Pembabatan hutan akan berdampak pada rusaknya ekosistem atau lingkungan, terpinggirkannya keragaman hayati. Satwa -satwa menghilang dan berlahan-lahan mulai punah, dan hidup rakyat Papua yang sudah sengsara akan makin menderita.

Itu semuanya bisa terjadi bila pembangunan yang dilakukan hanya untuk mengeruk keuntungan ekonomi dan menggendutkan perut segelintir pengusaha serakah dan culas.

Maka pemerintah dan pengusaha yang melakukan ekstraksi sumber daya alam ditanah Papua perlu melihat dan tidak mengorbankan hak hak masyarakat adat. Kalau tidak nantinya hutan yang lebat dan segala kekayaan alam Papua akan di keruk habis hingga kelak nantinya hanya menyisakan tanah kering kerontang.


Wednesday, July 24, 2019

Lantunan Dabus Dalam Hiruk Pikuk Kehidupan Aswita


Penulis : R.Wijaya
Kategori : Cerpen

 Aku tidak digariskan oleh langit tuk menjadi sesosok lelaki semenjak masih di alam rahim ibuku, tapi, entah mengapa dengan diriku,?!" Perkembangan buah dadaku amat lama membesar seperti biasanya perempuan pada umumnya."Kata ibuku itu hal wajar sambil mengulas kepalaku.

Tidak semua  perempuan mengalami pembesaran buah dada di usianya tujuh belas tahun. Adapun yang dua puluh tahun baru benar-benar kelihatan menonjol buah dadanya. Meski terdengar gelisah, 
"aku memilih percaya pada omongan ibuku.

Sejak itu lah rabutku selalu di potong pendek, tapi tidak cepak seperti teman laki-lakiku. Pakaian yang kukenakan selalu bernuansa gelap. Sebab Aku tidak terlalu suka warna cerah, seperti merah muda atau ungu.begitu juga dengan Celanaku tidak ada yang di bawah lutut, karena akan mengangguku saat berlari atau bermain bola

Ketiadaan buah dadaku telah menyeretku pada dunia para lelaki yg membuatku lupa kodratku.
pernah ibuku memberiku obat pembesar payudara. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya. Rasanya persis kunyit rebus yang dicampur perasan parutan batang jambu biji. Pada umumnya ini merupakan ramuan saat dilanda datang bulan dan hampir Semua teman perempuanku pernah meminumnya, bahkan ada yang rutin sebulan sekali, sehabis haid. Tapi ibuku bilang itu ramuan pembesar payudara. Rasanya pahit, tapi aku tetap menenggaknya.

Tiga bulan sudah kuminum ramuan yang di berikan oleh ibuku, tapi tidak memberikan efek.

Hanya menyisakan Kencingku beroma  kunyit,  begitu pula keringatku. Banyak temanku yang enggan duduk bersama karena keringatku yang berbau itu.

Mereka bilang baunya seperti telur busuk, padahal aku tak pernah memakan telur busuk. Hanya ramuan kunyit untuk membesarkan payudaraku.

Seumur- umurnya hidupku nyaris tak pernah aku bertemu dengan perempuan berpayudara kecil. Paling kecil ya seukuran batok kelapa muda.disamping itu, Aku juga belum pernah dibelikan beha oleh ibuku, hanya kutang dan miniset, kaos dalam seukuran dada. Kata ibuku, kelak nanti  bila dadaku benar-benar telah menunjukkan pertumbuhan, aku akan dibelikan lima belas pasang BH sebagai kado kecil untukku.

Genap sudah usia ku di penghujung tahun ini. Ritual gata-gata yang pernah ibuku ceritakan di Tahun 1960an, bahwasanya hampir semua gadis di pesisir Tidore harus melakukan ritual gata-gata, menahan sakit saat payudaranya ditekan dengan bambu panas, konan katanya ritual itu untuk mengecilkan payudara anak gadis, agar para gadis tidak segampang- gampang nya menggoda dan menaklukan pria kala itu, dan ibuku adalah korban dari ritual gata- gata.

Meski begitu, punya ibu lebih besar dibanding buah dadaku. 

Tiga puluh tahun telah berjalan ritual gata- gata kian mulai lenyap berlahan-lahan, akibat penyuluhan kesehatan membeberkan segala macam penyakit mematikan, termasuk kanker payudara.

Tidak heran,  jikalau gadis zaman sekarang memiliki payudara sebesar mangkok bakso, kecuali aku," Aswita Goslaow.

Banyak sekali gurauan dan dugaan yang mereka katakan padaku.Tapi tak ada satu pun yang kupedulikan. Aku bukan laki-laki yang terperangkap dalam jasmani perempuan. Aku tetaplah perempuan, kemaluanku tidak memanjang, meski payudaraku tidak kunjung membesar.

Pernah pun kutanya pada ibuku dan ayahku, apa benar mereka menantikan anak perempuan saat menunggu kelahiranku. Dua-duanya menjawab tidak. Karena bagi mereka, anak adalah anugrah dan titipan terindah dari Tuhan, tak peduli kelamin apa yang Ia berikan. Semenjak mendengar jawaban itu, aku tak lagi peduli perkataan tetangga dan teman-temanku. Karena sejak kecil, aku memang perempuan, dan aku akan selalu ingin menjadi perempuan.

Malam telah tiba, cahaya bulan tampak bersinar terang di langit Zajirah Al- Muluk, menandakan sebentar lagi Tidore akan berumur 112 tahun. Dan di Tanggal dua belas nanti akan diadakan upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Setiap kampung diharuskan mengadakan upacara adatnya sendiri- sendiri serta turut mengikutkan dua pemudanya dalam arak-arakan pawai obor kesultanan nantinya.

Setiap tahun acara ini begitu diminati warga. Bahkan, selain ramadhan, inilah momen ketika semua kampung bisa berkumpul dan silaturahmi.

Biasanya para gadis diwajibkan memakai kebaya adat berwarna putih dan jarik cokelat bercorak batik. Tidak boleh memakai bedak, pengharum, atau pewarna bibir; kecuali bagi mereka yang menari. Semuanya diharuskan mengikuti model tempo dulu. Bahkan tepat pada tanggal 12 April, semua listrik sengaja dipadamkan hingga esok hari.

Ibuku bilang suasana seperti itu mengingatkannya tentang masa kecil. Saat cerita tentang Nuku dan panglima-panglima tempur masih dijadikan dongeng pengantar tidur. Saat nasi adalah makanan paling mahal. Dikala sarapan dan makan malam selalu dihiasi menu yang sama; ubi jalar dan singkong rebus. Atau menikmati senja dengan sepiring pisang rebus dan air guraka saat menjelang sore.

Itulah sebabnya saat perayaan ulang tahun kota, ibuku enggan memasak nasi. Meja makan kami akan dipenuhi sayuran dari kebun.

“Hanya setahun sekali kita bisa mengulang kenangan, ” ujar ibuku padaku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tetap memanggilku dengan nama," Ewi. Semenjak papaku telah mengubah namaku tujuh tahun lalu.

Salah satu pertunjukkan tradisional yang akan diselenggarakan adalah badabus. Kami menyebutnya ratib badabus. Upacara ini dilaukan untuk mengirimkan salawat kepada nabi dan para sahabatnya, serta meneruskan budaya yang diwariskan oleh Syeikh Abdul Kadir Djaelani. Semua orang boleh mengikuti badabus. Satu hal yang menarik dari badabus adalah proses menikam dada. Ada satu alat khusus yang dibuat besi untuk menikam dada. Upacara ini sangat bergengsi di kalangan lelaki.

“Kau ikut badabus nanti, as?” tanya Rian temanku, saat kami sudah berkumpul di balai.

Aku tak tahu. Rian masih memandang, menunggu jawaban. Tapi aku diam saja. Ketidaktahuanku bukan sesuatu yang dia harapkan. Semua pemuda kampung wajib berpartisipasi dalam upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Dan aku tak tahu tempat apa yang pantas aku isi.

“Ikut, mungkin,” jawabku kurang yakin.
“Atau jangan-jangan kau akan menari,” Rian curiga.

Aku menjauh, lalu menggeleng. “Aku pulang dulu. Ibuku sendiri di rumah. Kabarkan aku besok, ya.

Dalam perjalanan pulang, aku bergelut dengan pikiranku. Dulu, saat aku tidak begitu memikirkan pengaruhku pada lingkungan sekitar, aku tidak pernah berpikir bahwa pertunjukkan tradisional mampu membuatku bimbang. Aku tidak pandai menari, badanku terlalu kaku untuk gerakkan mendayu-dayu. Pun aku tidak mungkin turut dalam badabus. Walaupun tidak diharuskan membuka baju, tetap aneh rasanya bila menusuk-nusuk dadaku yang rata ini dengan besi.

Aku menangis, lima ratus meter dari rumah. Perjanalan tidak kuteruskan. Aku tidak mau bertemu ibu dalam keadaan menangis. Jika saja aku adalah Ewi, Aswita Goslaow, bukan As, menangis adalah hal yang wajar bagi perempuan.

“Kau menari saja, As,” kata Ami, salah satu teman perempuanku.

Ami pandai sekali menari. Sudah empat tarian tradisional yang ia kuasai. Guru kampung gemar sekali membanggakannya setiap kali membuka kelas tari di balai. Setiap kali melihatku duduk di barisan belakang, guru kampung akan melengos tak senang. Karena kehadiranku akan merusak pemadangan tarian. Jadilah aku sering dibiarkan jadi penabuh tifa atau pesorak di pinggiran.

“Jangan. Aku tidak sepandai kau.”
“Kalau begitu penabuh tifa saja. Seperti biasa.”
“Tarian apa yang akan kalian bawakan?”
“Lalayon.”

Aku kembali menggeleng. Tarian lalayon memerlukan irama yang khas dan senada dengan penyanyi. Aku belum terbiasa menyeimbangkan kedua hal itu. Karena setiap kali menabuh tifa di balai, guru kampung tidak pernah menghadirkan seorang penyanyi untuk berlatih bersama. Kutolak tawaran Ami, aku takut kehadiranku justru mengganggu seluruh penari dan penyanyi sekaligus.

“Atau kau bisa bergabung dengan adik kelas kau. Mereka akan menari dana-dana.”

Sejak pertama kali mengikuti kelas tari di balai, aku senang betul dengan dana-dana. Gerakkannya mudah, musiknya pun tidak lama. Tapi, tarian itu hanya boleh untuk pemula. Bila sudah enam bulan mengikuti kelas, jenis tarian harus diganti yang lebih sulit.

“Aku tidak yakin guru kampung mau memberiku tempat.”
Saat aku berulang kali meragukan tawaran Ami, anak-anak yang lain sudah bersiap-siap dan bersolek. Pakaian adat yang disewa dari salon para banci terlihat pas di tubuh mereka yang berisi. Terlebih lagi pupur dan pewarna bibir dari daun delima.
Aku iri. Tanpa pikir panjang aku menghampiri guru kampung. Aku ingin menari. Apa saja. Asalkan aku berada di antara para perempuan. Asalkan aku memakai baju adat putih, pupur, dan pewarna bibir daun delima. Asalkan aku tidak menjadi as malam itu. Cukup Ewi.Aswita Goslaow
Tapi guru kampung menggeleng cepat. Bahkan ia tak melihat tekad dalam mataku. Dia sibuk menyiapkan keperluan tarian. Waktu pertunjukkan sudah dekat. Wajar bila dia tidak mempedulikan permintaanku. Aku masih berdiri di sampingnya, hingga dia berjalan ke ruang rias. Aku tak mau badabus, tapi aku ingin bergabung dalam pertunjukkan tradisional.

Aku kembali pulang dalam keadaan menangis. Rumah kosong, sepi. Ibu dan papaku sedang berada di kursi penonton. Hanya satu lampu yang menyala di rumah. Aku masuk dengan lunglai. Deru tifa terdengar dari jauh. Salawat terdengar samar-samar. Langkahku langsung menuju kamar.
Aku mulai bersolek. Baju hitam dan celana jeans corak tentara sudah kutanggalkan. Kuganti dengan baju adat ibu. Aku tidak memakai pewarna bibir daun delima. Ibuku punya seperangkat alat rias yang dibeli dari pasar kaget dua bulan lalu. Aku berdandan menor. Tak peduli bila riasan itu tak rata atau tak senada warnanya. Yang penting riasan itu mampu memperlihatkan sisi kewanitaanku. Tidak peduli bila aku lebih mirip banci salon dibanding Ami dan para penari itu.

Papaku pernah menyimpan dua alat badabus di gudang rumah. Waktu remaja papa adalah pemimpin ratib badabus. Seminggu sekali ia selalu bertandang dari satu rumah ke rumah untuk memimpin kegiatan adat itu. Pernah beberapa kali ayah mengajarkanku bagaimana badabus dengan baik, agar rasa sakit tidak terlalu mengganggu konsentrasi.
Dengan dandanan menor, dengan baju adat ibuku, dengan alat badabus ayahku, aku berdiri di teras rumah. Berusaha mengikuti irama tabur tifa dan salawat dari kejauhan. Di ketukan kelima, aku mulai menusuk dadaku sendiri. Aku larut dalam penyerahan diri yang memabukkan. Darah mulai menetes ke lantai. Baju putih mulai bernoda. Aku menangis. Samar-samar kurasakkan payudaraku membesar, mendesak kancing kebaya. Ada buncah bahagia di hati. Kuberikan tekanan yang lebih besar setiap kali badabus. Bila rasa sakit yang ditimbulkan bisa membesarkan payudaraku, aku tak peduli bila dadaku dipenuhi luka tusukkan. Aku tak peduli bila sakit yang kurasakan bisa mencandukkan

Aku hanya ingin menyerahkan diriku dalam sebagai perempuan seutuhnya. Saat guru kampung tidak menerima kehadiranku di antara para penari berbibir merah delima, saat masyarakat masih memandang tabu kehadiran seorang perempuan di antara para pedabus lelaki, di sinilah aku. Di teras rumah. Mempersembahkan dua pertunjukkan tradisional dalam wujud seutuhnya.

Sepenggal Kisah Bunga Cahaya Matahari

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Cerpen

Semenjak remaja, wanita itu mati sesudah ia melahirkan seorang bayi perempuan. Bayi perempuan diberi nama Bunga cahaya Matahari. 
Bunga Cahaya Matahari hidup bersama kakeknya di Kampung Nelayan. Di sanalah ia tumbuh berkembang menjadi anak perempuan yang gagah dan tangguh seperti kakeknya. Bunga Cahaya Matahari berkulit kuning langsat, dua bola matanya hitam pekat, dan berambut ikal bergelombang.

Kakeknya hadir sekaligus menjadi ibu dan bapaknya, dengan telaten mengajari dia menjahit benang menjadi jala, memasang jala di laut yang banyak ikan, serta menentukan arah angin. Sekali waktu, saat subuh, Bunga Cahaya Matahari dan sang kakek berangkat melaut. Di laut, setelah jala terpasang, Bunga Cahaya Matahari menengadahkan kepala menatap langit hitam di atas kepalanya.

Ayah?” Bunga Cahya Matahari membuka percakapan, “mengapa aku diberi nama Bunga Cahaya Matahari? Apakah Ibu mencintai bunga? Kenapa ada cahaya Matahari? Apakah Ibu menyukai matahari tenggelam?”

Sang kakek, “Ibumu sangat sangat menyukai bau bunga. Katanya, ‘Aku menemukan ketenangan ketika mencium bau bunga, Ayah!’ Ya, tentu dia sangat mencintai bunga. Bunga adalah lambang kebahagiaan dan kedamaian.

Dulu, ketika ibumu masih seumurmu, aku pernah marah besar padanya. Betapa tidak? Kamar tidurnya yang kecil itu dipenuhi bunga. Tanpa mengeluarkan sepatah kata pun, ibumu memindahkan bunga-bunga itu ke pelataran dan beranda. Aku merasa bersalah. Setelah dia pergi, air mataku acap kali turun.”

Ibumu,” lanjut sang kakek, “kerap kali pulang sore-sore. Katanya, ‘Menyaksikan matahari tenggelam adalah hal paling mengesankan dalam hidup.

Saat itu kita bisa berharap dapat mimpi paling indah dari yang paling indah dalam tidur!’ Aku, Cu, tak mengerti maksudnya.”

“Di mana Ibu sekarang, Ayah?” tanya Bunga  Cahaya Matahari dengan polos, pelan, nyaris tak terdengar.

Kakeknya terdiam cukup lama.
“Cucuku,” ucap kakek sayup-sayup, “lihat bintang-bintang di atas kepala kita itu! Begitu kecil mereka jika kita lihat dari sini. Namun jika kau naik ke atas tebing itu, mereka tampak besar dan indah. Di antara jutaan bintang itu, salah satunya adalah ibumu. Lihat, dia terus mengawasimu, seakan-akan ingin berkata, ‘Anakku, Bunga Cahaya Matahari, sudah besar kau rupanya.

Lihat wajahmu! Lebih rupawan dariku!’ Kau dengar itu? Betapa sayang ibumu padamu, Cucuku.”
“Mengapa Ibu meninggalkan aku dan memilih menjadi bintang, Ayah?”
“Aku pun sama, Cucuku. Aku juga akan menjadi salah satu bintang. Aku akan menceritakan pada dia, betapa gagah dan tangguh kamu. Ibumu jelas kalah. Apalagi aku? Ah, manalah aku punya kekuatan seperti kamu. Berjalan pun aku perlu tanganmu. Setelah itu, aku akan menceritakan pada dia betapa nikmat masakanmu. Kelak, Cucuku, kau pun akan menyusul kami. Kita akan berkumpul di langit,” jawab sang kakek lirih, disusul isak sayup-sayup terbawa angin.
“Hm, baiklah, Ayah. Aku mengerti kenapa orang tua menjadi lemah dan lapuk. Ternyata mereka ingin menjadi bintang.”

Percakapan itu berakhir. Bunga Cahaya Matahari memeluk sang kakek seerat-eratnya.

Musim kemarau 1969 menjadi tahun terkejam dan menyengit hati bagi Bunga Cahaya Matahari. Suatu subuh yang panas tahun itu terjadi kecamuk panas di Kampung Nelayan. Rumah-rumah dibakar. Tempat peribadatan dibongkar. Tahun itu masih masuk jadwal pembersihan terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan tentara Soekarno.

Kampung Nelayan menjadi salah satu target pembersihan, karena banyak tentara Soekarno di sana. Seantero Kampung Nelayan disisir habis. Semua laki-laki dan perempuan, termasuk kakek Bunga Cahaya Matahari, disuruh berbaris menghadap laut dan disuruh mengaku: mereka tentara Soekarno. Semua ditembak mati, kemudian dibuang ke laut.

Bunga Cahaya Matahari yang berhasil kabur— sebelumnya sang kakek telah menyampaikan, akan datang serdadu-serdadu. Ia berhasil kabur ke atas tebing yang ditunjukkan sang kakek. Di sana ia bersembunyi di dalam sebuah gua. Di dalam gua ia bertemu dua orang anak seumuran. Ia kenal dua anak itu. Jiman dan Muni. Kakak-beradik. Mereka menangis tanpa suara. Sejak saat itulah Bunga Cahaya Matahari membisukan mulut dan menjadi pendendam.

Hari kedua di dalam gua, Bunga Cahaya Matahari dan kedua anak laki-laki itu keluar. Lapar sejak semalam berkuasa atas diri mereka. Ketiganya berjalan mengendap-endap melewati semak belukar dan jantung hutan. Akhirnya ketiganya sampai di tepi Jalan Raya Pos Daendels.

Singkat cerita, mereka ditemukan dan dipelihara oleh sepasang kekasih yang belum dianugerahi anak hingga tumbuh dewasa.

“Sore itu,” ujar Bunga Cahaya Matahari membuka cerita untuk kali pertama kepada kedua orang tuanya, “sore yang lembap pada musim hujan 1945 akhir. Angin timur mendesir menuju barat seperti biasa. Tak pelak, bau anyir darah dan busuk bangkai ikan terbawa dalam desirnya. Sementara debur ombak yang berpacu dengan kulik burung camar dan elang laut yang baru pulang dari petualangan jadi pengiring pergantian waktu dari sore menuju malam. Awan-gemawan abu kehitam-hitaman bergerak lamban, membuat cemas anak-istri para nelayan yang tak sabar menunggu suami mereka di gubuk seribu meter dari bibir pantai. 

“Lihat! Betapa bahagia anak-anak Kampung Nelayan bermain bola sebelum sore betul-betul hilang dari pandang. Engkau, jika bertandang ke sana, dapatlah menghitung jumlah rusuk yang jadi pembatas perut dan leher anak-anak itu.

Engkau akan tertawa. Pun sebaliknya, mereka akan menertawakanmu karena pakaianmu yang aneh.

Di Kampung Nelayan, kebanyakan orang buta warna. Mereka hanya tahu dua warna; merah dan putih. Kedua warna itulah yang kebanyakan di antara mereka katakan sebagai simbol Indoneisa. Bukan Indonesia. Kata ‘sia’, kata tetua kampung Kampung Nelayan, berarti buruk dan pembawa sial. Kata tetua kampung lagi, kata ‘sia’ adalah nama asli pecapak (hantu laut) orang kebanyakan memanggilnya Sia, yang suka menggarong hasil tangkapan nelayan dan merusak jala mereka. Karena itulah, negara ini tak pernah maju dan acap kali bernasib sial.

“Si Buta. Itulah panggilan bagi tetua kampung. Ia kehilangan sepasang mata ketika tentara Jepang berlabuh di tepi pantai Kampung Nelayan sebelah selatan Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Waktu itu, atas instruksi langsung dari Bung Karno, ia menahbiskan diri ikut serta dalam peperangan.

Alhasil, ia tertangkap ketika mengintai. Tentara Jepang mengambil paksa kedua matanya lantaran ia tak buka mulut.

“’ Anjing!’ maki seorang tentara.

“Tak hanya dia yang tertangkap. Beberapa rekan seperjuangan pun bernasib sama. Paling mengerikan, kemaluan salah seorang rekannya dipotong. Dipotong! Engkau tak bisa membayangkan betapa sakit bukan? Tak lama setelah perang berlangsung, dua bulan tepatnya, tentara Jepang berhasil menduduki Kampung Nelayan. Mereka membakar seperempat dari Kampung Nelayan, termasuk tempat peribadatan!

“Minggu pertama berkuasa, tentara Jepang berhasil mengumpulkan seratus lebih perempuan di Kampung Nelayan. Anak kecil, remaja, dan dewasa. Perempuan-perempuan itu harus melayani berahi mereka bertahun-tahun. Yang paling menyengit di hati si Buta bukan kehilangan sepasang mata, melainkan dua di antara seratus lebih perempuan itu adalah istri dan anaknya yang masih remaja.

Dia tak kuasa menahan diri untuk tak melelehkan air mata. Ia merasa tak berguna sebagai suami dan bapak. Nyaris saban malam ia histeris. Rasa bersalah itulah yang menggerayangi pikirannya, membuatnya tak pernah tenang. Bahkan ketika tentara Jepang mengundurkan diri dari tanah airnya.

“’Istriku adalah ibu bagi seluruh anak dan anakku adalah bunga zaman. Dan, aku gagal menjaga keduanya! Cuhh!’ Begitulah ucap si Buta — dialah kakekku yang dibunuh serdadu-serdadu yang entah disuruh siapa pada 1969 — ketika kembali diingatkan pada kenangan kelam hidupnya.”

Kedua orang tua angkatnya terkejut bukan kepalang dan tersedu sedan mendengar cerita itu. Mereka selama sebelas tahun mengira anak perempuan itu bisu.

Mereka salah. Salah besar. Keduanya memeluk Bunga Cahaya Matahari seerat mungkin.
“Maafkan kami, Anakku,” ucap ibu angkat Bunga Cahaya Matahari.

Aku Bunga Cahaya Matahari yang lahir di Kampung Nelayan sebelah barat Makam Terpanjang di Dunia, Jalan Raya Pos Daendels. Aku anak dari tentara Jepang. Mereka memerkosa ibuku. Ibuku mati ketika melahirkan aku. Kakekku buta dan mati di hadapan moncong senjata serdadu-serdadu entah suruhan siapa pada musim kemarau 1969. Soal nenekku, Kakek tak pernah menceritakan.

Selamat datang di negeri merah dan putih untuk yang baru dilahirkan. Selamat jalan dan selamat berbahagia bagi kalian yang telah naik ke langit dan menjadi bintang bagi kehidupan selanjutnya

Pesona Perempuan Penari

Cerita Karangan : Aljufri
Kategori : Fiksi
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Diatas panggung tersimak penari perempuan tengah meliuk tubuhnya. Geliat tubuhnya penari itu, sangatlah mempesona. Lentik jemari dan ayun gemulai tangannya, mampu memulas mati puluhan para penggila nya dalam dengkur lelap tidur sekarat.

Tarian perempuan itu kini telah menjadi giur yang membuat nalar para pengumumannya lunglai dan tersungkur seketika.

Decak, saling berbisik mulai terdengar diselingi tawa nakal yang pecah menderai. Disusul, ungkapan-ungkapan cabul kepada perempuan penari itu,
Luar biasa!

Malam yang larut tak akan membuat mata para pengagum melayu surut, Justru semakin panas, dan kian bergairah.

Apalagi diselingi bergelas-gelas arak mulai diputar ikut menjadi suguhan. Semula saat sadar masih menguasai akal, kini menjadi berbeda dengan cepat. Tak sekadar terakhiri sampai disitu, Namun juga sesekali ingin gapai tangan perempuan penari itu untuk melakukan saweran.

Bentuk apresiasi materi dari cara purba yang sangat digemari para kaum lelaki.
Menyisipkan lembar-lembar ribuan di balik longgar kutang-kutang penari perempuan tersebut.

Namun malam harus berlanjut Walaupun harus menyisakan sedikit saja kewarasan yang tertindih kuyub di bawah gelas-gelas minuman keras.

Liuk dan geliat tubuh perempuan itu, seolah telah mempertegas sebuah definisi tunggal, bahwa inilah surga semalam. Diperuntukan bagi para pria penyuka kegilaan sekejab.

Apalagi, ditambah dengan senyum genit yang sering sengaja di tebar. Membuka tantangan bagi para lelaki yang mengaku sejati.

Malam pun kian merangkak seperti tak peduli lagi dengan perasaan. Ya, ternyata malam pun begitu bejatnya semakin liar, jalang dan tak bertuan.

Geliat Perjuangan

Karya By : Rahmat Sangaji

Terdengar derit daun jendela penderitaan menelusup di celah pintu ketidakadilan, tiba-tiba datang begitu jantan mengetuk ingatan.
Bahwa kita pernah ada pada liuk malam paling sunyi yang tumbuh dalam sebatang kara. Kala itu aku memandangmu, lantas cinta dan perjuangan kemudian tertindih oleh angin rindu keadilan



Sekadar memenuhi takdirku yang terayun-ayun derita cinta dan perjuangan hingga Tuhan mengizinkan. Pada sesuatu yang bukan rasa pura-pura.
Tetap saja misteri.
Memutuskan mata rantai rindu, tak semudah menghalau lalat-lalat di pipiku.
Tetap saja yang kutatap adalah yang datang lantas cepat pergi.

Ya.
Aku tak ingin ada sedikit tangis.
Sementara air mata telah ia bawa pergi dengan cara sempurna.
Aku bisa apa?
Kini,
Sesekali aku sambangi malamnya.
Sepi.
Mungkin ia tengah berdoa ...
Sunyi.
Barangkali ia sedang mengendalikan benci.
Seperti aku
Yang tak rela
Jika rindu tak datang, dan menyiksa seperti biasanya

Kelabu Mengurai Air Mata Suci

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Cerpen
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Suci, memandang Kopral Ramang Ama Freedom dengan tatapan sendu dan letih. Di antara suara deru mesin Helikopter yang meraung di atas landasan pacu, gemuruh suara baling-baling yang menampar-nampar udara seakan mewakili perasaan hati Suci yang berkecamuk.

Sementara, Sang Kopral, duduk di bagian lambung helikopter dengan pintu yang terbuka, senapan SPR-2 buatan pindad, tercangklong di pundak kokohnya, ia memandang ke arah wanita yang berdiri menatapnya dikejauhan, namun Sang Kopral masih bisa melihat raut kesedihan di wajah Suci, airmatanya terlihat membuat matanya terlihat seperti sebuah cerukan yang terisi air di kejauhan. Sang Kopral, melambai-lambaikan tangannya sambil berteriak

"Aku pasti kembali!"

Kemudian sang pilot helilopter di kokpit menarik sebuah tuas pengunkit, pesawat pun menderu semakin kencang, dan kemudian melambung.

Sang Kopral, memandang wajah Suci, dari atas yang terlihat kian tenggelam dan menghilang dari pandangan, berganti dengan jajaran perbukitan, dan atap-atap rumah yang terlihat bagai balok-balok lego yang berserakan di bawahnya.

Helikopter masih melayang di atas Hutan yang terlihat bagai hamparan karpet berbulu dengan warna hijau yang di hamparkan di atas batu karang yang tak rata. Tiba-tiba sebuah misil meluncur dan menghantam helikopter, kemudian suara ledakan yang bergemuruh terdengar bersama muculnya gumpalan api yang membumbung.

Suci, duduk di lantai kamar mandinya dengan shower di atasnya menggucurkan air, Suci memeluk lututnya, sambil membayangkan gambaran di masalalu yang berkelebat seperti kaledoskop.

Waktu sudah berlalu begitu lama sejak Suci berdiri di tepi landasan pacu, kini ia berdiri di tepi sebuah makam bersama seorang anak lalaki-laki yang tampan.

"Bu, Ayah dulu orang hebatkan Bu?"
"Iya Nak, Ayahmu adalah orang yang sanggggattt hebat."

Kemudian suci tersenyum dan memeluk anak itu, sambil mengusap airmatanya yang entah kenapa keluar begitu saja

Persoalan ‘Papua’ Dalam Dunia Diplomasi ‘Timor Leste’ Representase


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Artikel

Di masa diktator Suharto. Kita diingatkan oleh perkataan seorang Menteri Luar Negeri andalannya "Ali Alatas, tempo itu ia pernah mengeluarkan satu statement tentang Timor Timur (sekarang Timor Leste) bahwa Timor Timur “seperti kerikil di dalam sepatu.” Kebayang tidak enaknya. Kerikil itu sangat mengganggu langkah kaki, tidak enak, bahkan bisa melukai.

Mendengar hal itu. Dunia diplomasi internasional sontak geger. Kata-kata tersebut langsung digoreng banyak pihak di dunia yang mendukung kemerdekaan Timor Timur. Dalam tafsir mereka, secara diplomatis, setidaknya buat Alatas sendiri, dia sudah “lempar handuk.” Mungkin capek, frustasi karena sulit meyakinkan dunia yang terus menerus diramaikan para aktifis dan diplomat pendukung kemerdekaan yang terus bergerak bergelombang di banyak forum dunia, selain itu juga tak hentinya perlawanan di dalam negeri sendiri dalam segala bentuk.

Setelah Timor Timur merdeka dan menjadi negara Timor Leste, kita masih dikejutkan kembali dengan kata-kata Alatas yang masih digoreng sebagai judul berita: “Keluar Juga Kerikil Dalam Sepatu Itu.”

Sebab Alatas adalah seorang menteri luar negeri, berarti juga juragannya para diplomat Indonesia, maka ucapannya itu barang tentu harus ditafsirkan secara diplomatis pula. Dan seperti saudara kandungnya, dunia politik, dunia diplomasi tidak bisa ditafsir sehitam putih harga dua potong tempe kemul. Jalan diplomasi tidak selurus jalan tanpa tanjakan, turunan, dan tikungan. Ia juga tidak selalu merupakan dunia di mana dua tambah dua sama dengan empat. Dunia diplomasi sering lebih seperti upacara yang samar. Sebuah pesta undangan makan malam bagi para doplomat yang penuh warna abu-abu. Sesuatu yang justeru dimensi informalnya sering dianggap penting.

Diplomasi juga sering berarti Lobby. Lobby, yang secara etimologis berasal dari kata Latin laubia dan lobia, berarti sebuah ruang masuk yang luas di dalam sebuah bangunan publik. Ia bukan ruang utama. Tapi pembicaraan-pembicaraan di ruang lobby ini, sering memberi pengaruh penting pada keputusan-keputusan yang diambil di ruang utama.

Seperti itulah dunia diplomasi dan loby bekerja. Sering lebih mengutamakan cara dan agak “melupakan” isi. Bukan juga berarti isi tidak penting. Tapi biasanya soal tujuan utama atau isi itu dikejar belakangan, setelah jalan bernegosiasi berbasis respek dan saling menghormati dibuka oleh para diplomat dan peloby. Pujangga Robert Frost menyimpulkan dengan bagus dan jenaka dunia diplomasi. A diplomat is a man who always remembers a woman's birthday but never remembers her age.” Seorang diplomat adalah seorang laki-laki yang ingat hari ulang tahun seorang perempuan, tapi tak ingat berapa umur perempuan itu.

Arman dan Air Matanya

Cerita Karangan : Rahmat Wijaya
Kategori : Fiksi, Sedih
Lolos Moderasi pada : 23 Juli 2019

Ketika Jamaah sholat Subuh mulai melangkahkan kakinya keluar dari suroh, ada simbolis kedukaan yang dikibarkan melalui bendera setengah tiang di pelantaran jalan

Dari ujung jalan, kini mulai terdengar Isak tangis pecah menyelimuti kubuk kecil tua tersebut. Kecelakaan lah yang telah merenggut jiwanya kemarin sore, menyisakan cita-cita dan mimpi yang belum usai diwujudkan. Sebuah harapan dari dalam dirinya sebelum menjadi mendiang. Kepada satu-satunya buah hati, yaitu Arman

Kisah tamat telah terpredikat pada almarhum ayahnya Arman, seorang Pedagang keliling yang tiap harinya menjajakan beragam barang mainan dari kampung ke kampung. Demi Mengayuh hidup.

Tuhan Maha Tahu. Lebih tahu dari mereka yang hidup lalu menebak-nebak. Bagaimana kisah sedih itu dimulai, dan mengapa riwayat bahagia tak kunjung tiba. Sudah semestinya begitu. Dan tak perlu menjadi perdebatan panjang tentang mengapa nasib sial selalu menimpa pada sosok yang kerap tak mengenyam keberuntungan seperti ayahnya Arman.


Matahari mulai naik. Kubuk kecil tua cepat dipenuhi para pelayat. Berbela sungkawa dengan cara yang berbeda-beda. Tapi tak berbeda ketika mereka mulai memperbincangkan sosok yang ditinggalkan almarhum. Putra tunggalnya yang bernama Arman.

Di sudut rumah almarhum, di bawah dahan mangga yang patah, segerombol bapak-bapak mulai bercakap mengurai kesedihan yang mengeram kelabu di kubuk tua kecil itu.


"Sungguh malang nasib almarhum. Ia tiga tahun menjadi langganan istriku saat ingin membelikan mainan buat si bungsu ..."


Kalimat senada dari pria sebelahnya pun tak kalah sungkawa

"Bagaimana dengan si Arman? Mana ibunya tak pernah kembali. Tiada juga sekadar berkabar berimba di mana. Bagaimana pula nanti nasib bocah itu ...?"


Lelaki kedua itu lantas menghisap kreteknya dalam-dalam. Menahan lebih lama pada pori paru-parunya, lalu menghembuskan asap putih keabuan mengepul pekat dari mulutnya. Seperti sebuah kekesalan akan minat Tuhan yang tak hendak mempersolek cantik nasib keluarga almarhum.

Ambulans tiba. Tetangga bergerak cepat merumat jasad yang dikeluarkan oleh petugas yang mengiringinya dari rumah sakit. Satu penghormatan terakhir untuk seorang tetangga, untuk seorang famili jauh, untuk seorang pria yang ditinggalkan istrinya, untuk seorang lelaki yang membesarkan seorang diri anak semata wayangnya.

Mata para pelayat tak sekedar bertumpu pada sebujur jasad yang telah di bawa masuk kedalam ruang tengah. Mereka rupanya juga tertarik untuk mencari Arman. Lalu memandang dan coba merabai bagaimana pilunya hati sang bocah.

Arman berdiri dengan tatapan mata kosong. Oleh gelayut kesedihan yang teramat berat. Memang ia sudah tak menangis. Barangkali kantong air matanya sudah terlampau perih. Dan buat apa menangis lebih lama? Toh semua memang demikian harus berjalan.

Bocah itu kusut dan lesu, barangkali terlalu dalam menopang lalu lalang duka yang teramat rajam. Dengan kaos kemarin yang berubah dekil hari ini, ia genggam erat bola kaki hadiah sang Bapak yang sekarang sudah terbujur kaku siap disuci lalu dikafani.

Kubur, peristirahatan terakhir buat sang Bapak, lahat yang sempit nan gelap. Dan rumah, tempat Arman menimpakan segala luruh payahnya kehidupan. Satu lukisan hidup yang siapapun tak perlu bertanya dua kali.

"Betapa malangnya anak itu ..."

Seorang perempuan paruh baya mengenakan gamis berwarna hitam melintas di antara kerumunan pelayat. Ia datang entah dari mana dan memeluk Arman dengan tiba-tiba. Dengan sekeranjang iba begitu kasat. Menyelipkan satu amplop putih tebal ditengah rasa sedih dan keharuan mereka yang hadir.

"Tetaplah sabar ya, Nak. Sesungguhnya Allah memeluk erat seorang yatim sepertimu ..."


Arman hanya bisa merasai dingin dan hambar dari semua pelukan dan kata-kata tabah yang terus disemangatkan tak penat oleh para pelayat. Juga ia, tak bisa memaknai apa arti selipan amplop itu. Ditengah segala bela duka tak bertepi yang sangat agung merundung.

Ketika keranda mayat diangkat, terdengar suara sang Modin seusai ia membacakan doa-doa kebaikan dan pengampunan. Sekedar memastikan pada yang hidup dan kenan hadir di situ.

"Apakah semasa hidupnya, almarhum adalah orang yang baik ...?"


Suara sang Modin mengudara penuh duka

"Baaiikkk ...!"


Para pelayat menjawab sangat keras dan serempak
Sang Modin mengulangnya hingga tiga kali. Para pelayat menjawabnya dengan jawaban yang sama.

"Baaiikkk ...!"

Kecuali satu yang tak menjawab! Bukan tak menjawab, namun sudah tak sanggup menjawab. Ia adalah Arman!

Segala tanya bergumul dalam benak. Perihal sesuatu yang belum sempurna ia pahami. Tentang jagad manusia yang terlampau gelap untuk ia jalani pada hari sesudah ini. Tentang berjuta kesedihan yang sangat dadak menghimpit rapat jiwanya. Membingkai rapat membuat sesaknya dada di esok hari.
Arman sedikit berkomat-kamit. Sesuatu meluncur lelah dari mulut mungilnya. Barangkali itu adalah doa bekal untuk sang Bapak. Tapi bisa jadi itu justru kalimat sanggahannya yang sangat berairmata. Kalimat yang tak seorang pun tahu.

"Jika Bapak orang yang baik semasa hidupnya, kenapa ia begitu tega? Pergi untuk selamanya meninggalkan aku?"


Begitulah kira-kira betik batinnya.

Atas pertanyaan ini jika diudara keras kepada para petakziyah. Adakah yang mampu menjawab? Terkadang, bahkan satu pertanyaan tak perlu dijawab. Apalagi, ketika garis nasib sedang tak santun menyambang pada pelataran kehidupan seseorang.

Kalimat tahlil dikumandangkan seiring dengan keranda yang bergerak dipikul para pelayat menuju kompleks pekuburan. Kembang ditebar sebagai 'sawur duka'. Ada yang lebur mengiring jenazah almarhum ayahnya Arman. Orang-orang bergegas, berdesak mengikuti di belakang dengan lafal doa seadanya.

Kemudian rumah duka itu pun sepi. Hanya tanah basah di pelataran yang menampung becek. Ada kembang mawar warna merah terinjak, juga putih melati terbenam di sana-sini. Sisa air yang sedikit menggenang. Mengantarkan jasad almarhum dalam mandi terakhirnya. Berpulang kepada Sang Maha Pencipta.

Malam pun tiba, masih ada tetangga kanan-kiri berempati, satu dua di antaranya menemani bocah lelaki yang belum juga genap sepuluh tahun itu. Tiada kerabat, tak ada famili. Apalagi sang Ibu yang tiga tahun lalu tak berberita semenjak ia berpamit pergi mengais ringgit ke negeri jiran, Malaysia.
Arman akan hidup mandiri di rumah itu. Sebisanya! Menghidupi diri sendiri dengan jalan mencari nafkah yang entah.