Saturday, July 27, 2019

Mimpi Anak Pinggiran Kota

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori   : Cerpen, Artikel



Para pedagang dari seantero penjuru kota yang jauh akan membangun lapak di sepetak tanah milik negara di perkampungan kumuh pinggir kota Sabtu malam. Pasar Malam, begitulah kebenyakan orang menyebutnya. Pasar Malam itu tak pernah sekali pun sepi. Orang-orang pinggir kota itu akan memakai pakaian terbaik mereka sebelum berduyun-duyun pergi ke sana. Bagi paramuda, Pasar Malam itu adalah gelanggang mencari pasangan atau menunjukan taji, karenanya mereka akan berdandan sebaik menurutnya. Agar tampak elok dipandang tak jarang mereka mengoleskan minyak goreng ke kepalanya. Bahkan, tak jarang pula paramuda itu menyemprotkan pewangi pakaian begitu banyak, hingga bau badannya betul-betul hilang. Dan, bagi paramuda yang lain mereka akan bersikap acuh!

“Sebagai bunga pinggiran, kita mesti pandai menempatkan diri di antara bunga kota dan taman!” Begitulah semboyan hidup yang mereka tanamkan dalam diri masing-masing.

Di Pasar Malam itu semuanya serba ada. Di sudut kiri, para pedagang buah-buahan sibuk membelah buah pepaya yang ternyata kuning isinya. Di sudut kanan, para pedegang pakaian tampak sibuk tawar-menawar hingga menemu harga pas. Di tengah-tengah para pedagang kaset saling beradu nyaring-nyaringan pengeras suara sembari hidung mereka dimanjakan bau wangi dari pedagang parfum di sebelahnya. Paling belakang kursi-kursi pedagang nasi goreng dipenuhi pembeli yang tak sabar menunggu.


Di Pasar Malam, orang takkan peduli dari mana asalamu! Yang penting dan diutamakan adalah engkau punya uang. Jual dan beli. Untung dan rugi. Dan seterusnya. Engkau, jika terlahir dan hidup sebagai orang-orang pinggir kota, sebisa mungkin menunjukkan dirimu sebagai orang mampu. Orang terpandang! Sebab, jika engkau hanya datang ke Pasar Malam sekedar melihat-lihat, engkau akan dikatakan pengacau. Itulah hukum kehidupan yang berlaku di lingkungan orang-orang pinggir kota itu.

Namun, jangan engkau gusar! Mereka, orang-orang pinggir kota itu, adalah wujud kehidupan lama yang tak pernah berubah. Konon, mereka telah hidup dan beranak-pinak sejak zaman kolonialisme dan terus beregenerasi hingga zaman pembangunan tanpa hati seperti sekarang. Nyaris puluhan kali administratur negara hendak menggusur mereka dengan dalih normalisasi kota dan kemajuan, tetapi mereka tak menggubris usaha administratur negara itu. Bagi mereka, negeri ini milik bersama, siapa pun boleh hidup di atas tanahnya.

Lihat! Paramuda mulai menampakkan buntutnya!

DI SABTU MALAM yang kesekian, seorang anak laki-laki berdiri mematung sembari awas memperhatikan baju yang tergantung di hadapannya. Baju itu bergambar robot dan bertuliskan ‘Power Ranger’. Dalam kepala anak itu teringat kawan sebayanya yang memiliki baju seperti itu. Alangkah bagus jika dirinya yang mengenakan baju itu, bayangnya. Namun, tiba-tiba seorang perempuan menggendong anak itu dan memisahkan diri dari keramaian.

“Mengapa Mamak lari?” tanya anak itu pada perempuan yang menggendongnya.
“Lain waktu, jangan bikin aku malu dengan menatap barang yang bukan hakmu!” Kata perempuan itu. “Aku akan membelikanmu lain waktu, Nak, bukan sekarang.”

Perempuan itu adalah seorang janda (satu anak) berumur empat puluhan—kurang lebih begitu. Suaminya adalah seorang supir truk yang meninggal dalam kecelakaan maut di jalan tol A lima tahun lalu. Di rumah berdinding kardus beratap terpal itulah ia dan anaknya hidup. Di rumah itu pula ia mengajarkan sang anak tentang siapa mereka dan bagaimana posisi mereka di antara manusia yang lain.

“Kau, Nak,” perempuan itu berkata pada sang anak, “mestinya sadar siapa manusia macam kita ini. Orang macam kita ini, seperti kukatakan padamu, pengacau jalannya kehidupan orang banyak. Ulat tahi dalam kotoran sapi. Tak boleh punya mimpi yang muluk-muluk: jadi dokter, misalnya. Dan, yang mesti kau ingat seumur hidupmu, jika kau ingin buah anggur jangan kau ambil dari tong sampah!” ucapan itu berkecamuk dalam kepala anak itu setelah derit mesin dan lengking terompet kereta melintas persis di halaman rumahnya.

“Sekarang tidurlah!”

ANAK LAKI-LAKI itu tak tahu berapa umurnya, karena sang ibu tak mampu membayar biaya pembuatan akte kelahiran. Setiap hari ia menemani sang ibu berburu sampah menyisiri jalan raya—oh ya, orang-orang pinggir kota itu nyaris semuanya berprofesi sebagai pemulung dan buruh lepas—dari pukul sembilan hingga pukul empat sore.

Anak itu benci tengah hari, karena kawan sebayanya acapkali mengejeknya dengan “Kau itu anak ular! Lihat kulitmu terkelupas!” Tak jarang anak itu membalas ejekan itu dengan pukulan. Namun, ia kalah. Satu banding lima. Sungguh tak sepadan! Lebam-lebam di sekujur wajah adalah buah dari pembelaan diri yang dilakukannya.

Ada satu tempat yang paling disukai anak itu selain Pasar Malam. Adalah gerbong kereta yang tak terpakai lagi. Biasanya, selepas Maghrib anak itu acapkali telentang di atas gerbong kereta itu sembari menghitung jumlah bintang di langit.

“Satu, dua, tiga,” hitung anak itu. “Satu, dua, tiga.”

Anak itu tak mampu melanjutkan ke angka selanjutnya, karena ia tak tahu angka berapa setelah tiga. Sebenarnya ada angka lain selain satu, dua, dan tiga yang ia suka. Angka enam. Tapi, ia terlanjur sayang pada tiga angka itu.
Satu, dua, tiga, malam larut membawa anak itu pada kantuk.

SEKALI WAKTU keributan terjadi di Pasar Malam. Seorang orang pinggiran, perempuan paru baya, kepergok mencuri parfum dari seorang pedagang. Akan tetapi, nasib baik tak berpihak padanya malam itu. Ia tertangkap basah oleh pedagang itu. Dan pedagang itu memanggil penjaga Pasar Malam. Perempuan paru baya itu kemudian diarak telanjang dada menuju kantor polsek terdekat. Singkat cerita, ia dihukum tiga tahun penjara hanya untuk tercium wangi!
Semua orang pinggiran yang ikut mengarak kembali ke Pasar Malam dan melakukan tawar menawar, lagi.

“Kau lihat barusan?” tanya perempuan itu pada sang anak.
Anak laki-laki itu mengangguk.

“Hendak kau diarak seperti itu?”
Anak itu menggeleng dua kali.

“Nah, yang barusan terjadi adalah buah yang akan kau tuai ketika melanggar ucapanku. Yang bukan milikmu, Nak, janganlah kau anggap milikmu. Pendam saja barang sehari dua. Akan tiba saatnya. Percayalah.”

Anak itu kembali mengangguk.

MUSIM KEMARAU diperkirakan akan turun bulan September. Orang-orang pinggiran mesti hemat-hemat. Musim kemarau buntutnya tak elok. Nasib buruk, tak bisa tidak, akan jadi ornamen di dinding gubuk. Namun, orang-orang pinggiran itu tak begitu menggubris datangnya musim kemarau. Mereka telah membuat sumur sedalam sepuluh meter. Airnya sungguh jernih. Kata seorang dari mereka, sumur itu tak pernah kering dalam dua musim kemarau terakhir.
Di kota, administratur negara bingung bukan kepalang. Usut punya usut, anggaran penyediaan air bersih yang jumlahnya miliyaran itu digunakan oleh istri-istri para dewan untu pergi berlibur ke luar negeri.
“Kurang ajar! Apa yang akan saya katakan pada masyarakat nanti?” Maki Kepala Adnimistratur Negara kepada Juru Keuangan Negara. “Bagaimana revolusi mental bisa terealisasikan jika mental pencuri itu tak pernah hilang!”

“Sabar, Pak, saya akan kirim surat pemberhentian pengusutan ke KPK, eh, maksud saya surat pengusutan.”

“ Saudara Juru Keuangan?! Apa anda terlibat?” tanya Kepala Administratur Negara pada Juru Keuangan Negara.

“Tidak, Pak, manalah orang macam saya ini berani berkhianat dengan tanah kelahiran yang saya cintai ini. Kalau pun saya ikut-ikutan, saya akan bilang ke Bapak Kepala. Yang ada, partai Bapak Kepala lah yang banyak menerima serpihan dana itu. Eh!”

“Maksud anda!”
Terjadilah perdebatan dan aksi saling membela diri antara dua anggota administratur negara itu. Yang ujungnya diketahui, bahwasanya keduanya juga menerima serpihan dari dana itu.

MAK?” panggil anak laki-laki itu. “Pasar Malam yang ke berapa kita akan mewujudkan mimpiku itu? Aku ingin sekali baju itu.”

“Nak, Anakku sayang, pilih mana makan atau membeli baju?”

“Makan.”

“Maka jangan kau paksa aku untuk membelikanmu baju. Ada saatnya. Aku berjanji akan membelikanmu.”

Anak itu tak berkata sepatah kata pun. Ia kemudian berjalan menuju ayunan yang jadi tempat tidurnya itu. Dan tidur dalam kekecewaan.

Pukul tujuh seperempat lewat di pagi hari yang panas. Keributan terjadi di perkampungan kumuh pinggir kota itu.

“Penggusuran! Penggusuran! Selamatkan diri dan harta anda. Ada tentara!” teriak semua orang-orang pinggir kota sembari lari tunggang-langgang menyelamatkan barang-barang mereka.

Dan anak laki-laki itu dan sang ibu tak tahu di mana rimbanya. Tak ada lagi pasar malam. Tak ada lagi baju bergambar robot dan bertuliskan ‘Power Ranger’. Yang tersisa hanyalah puing-puing

0 comments:

Post a Comment