Kategori : Cerpen, Artikel
Para pedagang dari seantero
penjuru kota yang jauh akan membangun lapak di sepetak tanah milik negara di
perkampungan kumuh pinggir kota Sabtu malam. Pasar Malam, begitulah kebenyakan
orang menyebutnya. Pasar Malam itu tak
pernah sekali pun sepi. Orang-orang pinggir kota itu akan memakai pakaian
terbaik mereka sebelum berduyun-duyun pergi ke sana. Bagi paramuda, Pasar Malam
itu adalah gelanggang mencari pasangan atau menunjukan taji, karenanya mereka
akan berdandan sebaik menurutnya. Agar tampak elok dipandang tak jarang mereka
mengoleskan minyak goreng ke kepalanya. Bahkan, tak jarang pula paramuda itu
menyemprotkan pewangi pakaian begitu banyak, hingga bau badannya betul-betul
hilang. Dan, bagi paramuda yang lain mereka akan bersikap acuh!
“Sebagai bunga pinggiran, kita
mesti pandai menempatkan diri di antara bunga kota dan taman!”
Begitulah semboyan hidup yang mereka tanamkan dalam diri masing-masing.
Di Pasar Malam itu semuanya serba
ada. Di sudut kiri, para pedagang buah-buahan sibuk membelah buah pepaya yang
ternyata kuning isinya. Di sudut kanan, para pedegang pakaian tampak sibuk
tawar-menawar hingga menemu harga pas. Di tengah-tengah para pedagang kaset
saling beradu nyaring-nyaringan pengeras suara sembari hidung mereka dimanjakan
bau wangi dari pedagang parfum di sebelahnya. Paling belakang kursi-kursi
pedagang nasi goreng dipenuhi pembeli yang tak sabar menunggu.
Di Pasar Malam, orang takkan
peduli dari mana asalamu! Yang penting dan diutamakan adalah engkau punya uang.
Jual dan beli. Untung dan rugi. Dan seterusnya. Engkau, jika terlahir dan hidup
sebagai orang-orang pinggir kota, sebisa mungkin menunjukkan dirimu sebagai
orang mampu. Orang terpandang! Sebab, jika engkau hanya datang ke Pasar Malam
sekedar melihat-lihat, engkau akan dikatakan pengacau. Itulah hukum kehidupan
yang berlaku di lingkungan orang-orang pinggir kota itu.
Namun, jangan engkau gusar!
Mereka, orang-orang pinggir kota itu, adalah wujud kehidupan lama yang tak pernah
berubah. Konon, mereka telah hidup dan beranak-pinak sejak zaman kolonialisme
dan terus beregenerasi hingga zaman pembangunan tanpa hati seperti sekarang.
Nyaris puluhan kali administratur negara hendak menggusur mereka dengan dalih
normalisasi kota dan kemajuan, tetapi mereka tak menggubris usaha administratur
negara itu. Bagi mereka, negeri ini milik bersama, siapa pun boleh hidup di
atas tanahnya.
Lihat! Paramuda mulai menampakkan buntutnya!
DI SABTU MALAM yang kesekian,
seorang anak laki-laki berdiri mematung sembari awas memperhatikan baju yang
tergantung di hadapannya. Baju itu bergambar robot dan bertuliskan ‘Power
Ranger’. Dalam kepala anak itu teringat kawan sebayanya yang memiliki baju
seperti itu. Alangkah bagus jika dirinya yang mengenakan baju itu, bayangnya.
Namun, tiba-tiba seorang perempuan menggendong anak itu dan memisahkan diri
dari keramaian.
“Mengapa Mamak lari?”
tanya anak itu pada perempuan yang menggendongnya.
“Lain waktu, jangan bikin aku
malu dengan menatap barang yang bukan hakmu!” Kata perempuan itu. “Aku
akan membelikanmu lain waktu, Nak, bukan sekarang.”
Perempuan itu adalah seorang
janda (satu anak) berumur empat puluhan—kurang lebih begitu. Suaminya adalah
seorang supir truk yang meninggal dalam kecelakaan maut di jalan tol A lima
tahun lalu. Di rumah berdinding kardus beratap terpal itulah ia dan anaknya
hidup. Di rumah itu pula ia mengajarkan sang anak tentang siapa mereka dan
bagaimana posisi mereka di antara manusia yang lain.
“Kau, Nak,” perempuan itu
berkata pada sang anak, “mestinya sadar siapa manusia macam kita ini. Orang
macam kita ini, seperti kukatakan padamu, pengacau jalannya kehidupan orang
banyak. Ulat tahi dalam kotoran sapi. Tak boleh punya mimpi yang muluk-muluk:
jadi dokter, misalnya. Dan, yang mesti kau ingat seumur hidupmu, jika kau ingin
buah anggur jangan kau ambil dari tong sampah!” ucapan itu berkecamuk dalam
kepala anak itu setelah derit mesin dan lengking terompet kereta melintas
persis di halaman rumahnya.
“Sekarang tidurlah!”
ANAK LAKI-LAKI itu tak tahu
berapa umurnya, karena sang ibu tak mampu membayar biaya pembuatan akte
kelahiran. Setiap hari ia menemani sang ibu berburu sampah menyisiri jalan
raya—oh ya, orang-orang pinggir kota itu nyaris semuanya berprofesi sebagai
pemulung dan buruh lepas—dari pukul sembilan hingga pukul empat sore.
Anak itu benci tengah hari,
karena kawan sebayanya acapkali mengejeknya dengan “Kau itu anak ular! Lihat kulitmu
terkelupas!” Tak jarang anak itu membalas ejekan itu dengan pukulan.
Namun, ia kalah. Satu banding lima. Sungguh tak sepadan! Lebam-lebam di sekujur
wajah adalah buah dari pembelaan diri yang dilakukannya.
Ada satu tempat yang paling
disukai anak itu selain Pasar Malam. Adalah gerbong kereta yang tak terpakai
lagi. Biasanya, selepas Maghrib anak itu acapkali telentang di atas gerbong
kereta itu sembari menghitung jumlah bintang di langit.
“Satu, dua, tiga,” hitung
anak itu. “Satu, dua, tiga.”
Anak itu tak mampu melanjutkan ke
angka selanjutnya, karena ia tak tahu angka berapa setelah tiga. Sebenarnya ada
angka lain selain satu, dua, dan tiga yang ia suka. Angka enam. Tapi, ia
terlanjur sayang pada tiga angka itu.
Satu, dua, tiga, malam larut
membawa anak itu pada kantuk.
SEKALI WAKTU keributan terjadi di
Pasar Malam. Seorang orang pinggiran, perempuan paru baya, kepergok mencuri
parfum dari seorang pedagang. Akan tetapi, nasib baik tak berpihak padanya
malam itu. Ia tertangkap basah oleh pedagang itu. Dan pedagang itu memanggil
penjaga Pasar Malam. Perempuan paru baya itu kemudian diarak telanjang dada
menuju kantor polsek terdekat. Singkat cerita, ia dihukum tiga tahun penjara
hanya untuk tercium wangi!
Semua orang pinggiran yang ikut
mengarak kembali ke Pasar Malam dan melakukan tawar menawar, lagi.
“Kau lihat barusan?”
tanya perempuan itu pada sang anak.
Anak laki-laki itu mengangguk.
“Hendak kau diarak seperti itu?”
Anak itu menggeleng dua kali.
“Nah, yang barusan terjadi adalah
buah yang akan kau tuai ketika melanggar ucapanku. Yang bukan milikmu, Nak,
janganlah kau anggap milikmu. Pendam saja barang sehari dua. Akan tiba saatnya.
Percayalah.”
Anak itu kembali mengangguk.
MUSIM KEMARAU diperkirakan akan
turun bulan September. Orang-orang pinggiran mesti hemat-hemat. Musim kemarau
buntutnya tak elok. Nasib buruk, tak bisa tidak, akan jadi ornamen di dinding
gubuk. Namun, orang-orang pinggiran itu tak begitu menggubris datangnya musim
kemarau. Mereka telah membuat sumur sedalam sepuluh meter. Airnya sungguh
jernih. Kata seorang dari mereka, sumur itu tak pernah kering dalam dua musim
kemarau terakhir.
Di kota, administratur negara
bingung bukan kepalang. Usut punya usut, anggaran penyediaan air bersih yang
jumlahnya miliyaran itu digunakan oleh istri-istri para dewan untu pergi
berlibur ke luar negeri.
“Kurang ajar! Apa yang akan saya
katakan pada masyarakat nanti?” Maki Kepala Adnimistratur Negara kepada Juru
Keuangan Negara. “Bagaimana revolusi mental bisa terealisasikan jika mental
pencuri itu tak pernah hilang!”
“Sabar, Pak, saya akan kirim
surat pemberhentian pengusutan ke KPK, eh, maksud saya surat pengusutan.”
“ Saudara Juru Keuangan?! Apa
anda terlibat?” tanya Kepala Administratur Negara pada Juru Keuangan
Negara.
“Tidak, Pak, manalah orang macam
saya ini berani berkhianat dengan tanah kelahiran yang saya cintai ini. Kalau
pun saya ikut-ikutan, saya akan bilang ke Bapak Kepala. Yang ada, partai Bapak
Kepala lah yang banyak menerima serpihan dana itu. Eh!”
“Maksud anda!”
Terjadilah perdebatan dan aksi
saling membela diri antara dua anggota administratur negara itu. Yang ujungnya
diketahui, bahwasanya keduanya juga menerima serpihan dari dana itu.
“MAK?” panggil anak
laki-laki itu. “Pasar Malam yang ke berapa kita akan mewujudkan mimpiku itu? Aku ingin
sekali baju itu.”
“Nak, Anakku sayang, pilih mana
makan atau membeli baju?”
“Makan.”
“Maka jangan kau paksa aku untuk
membelikanmu baju. Ada saatnya. Aku berjanji akan membelikanmu.”
Anak itu tak berkata sepatah kata
pun. Ia kemudian berjalan menuju ayunan yang jadi tempat tidurnya itu. Dan
tidur dalam kekecewaan.
Pukul tujuh seperempat lewat di
pagi hari yang panas. Keributan terjadi di perkampungan kumuh pinggir kota itu.
“Penggusuran! Penggusuran!
Selamatkan diri dan harta anda. Ada tentara!” teriak semua orang-orang
pinggir kota sembari lari tunggang-langgang menyelamatkan barang-barang mereka.
Dan anak laki-laki itu dan sang
ibu tak tahu di mana rimbanya. Tak ada lagi pasar malam. Tak ada lagi baju
bergambar robot dan bertuliskan ‘Power Ranger’. Yang tersisa hanyalah
puing-puing
0 comments:
Post a Comment