Monday, July 29, 2019

JACK



Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen


Kini aku merasa waktu benar-benar nyaris habis. Hanya selangkah dan purna sudah. Diiringi kecipak gerimis pertengahan Desember, tak sekalipun membuat langkahku surut, meniti rentang buram garis nasib. Penghujung tahun penuh ratap dalam pelarian.

Menang atau kalah! Dua tebakan tipis yang saling melekat. Memiliki satu di antaranya, bukan berarti kehilangan sisi lainnya.


Menang, berarti akan menanggung kekalahan yang teramat dahsyat. Sementara kalah, tak musti bahagia lesat luput dari pelukan.
Lalu, apalagi?

Tak perlu memaksa, betapa banyak nama yang bangkit menelusup di kepalaku. Mereka adalah orang-orang yang baik. Mereka adalah orang yang layak kukira untuk meneruskan tali-temali hidupnya.
Menuntaskan satu harapan yang kadang meredup karena ketidakberdayaan. Kerap menanggung kekalahan yang entah dari mana sebab pastinya.

Joni, bocah delapan tahun yang tak mampu sekolah karena ayahnya dibui.  Sementara sang ibu, entah ke mana.

Mbok Dimah, perempuan renta yang selalu menanggung beban dari ketiga anaknya, sedang sang suami lumpuh total tak berdaya di atas dipan.

Jangkung, perjaka sakit-sakitan yang bertahan. Mungkin ia tengah menunggu, satu hari tiba. Sang malaikat datang dan merenggut nyawa. Jangkung, sepertinya sudah pasrah, ia terlalu letih dan teramat putus asa menanggung rasa sakit yang tiada pernah tersembuhkan. Ia meras hidupnya telah sekarat. Kata orang-orang, konon ia mengidap HIV.

Karin, wanita lajang yang tak lagi lajang. Bertempat tinggal di lantai enam sebuah apartemen mewah. Kata relasi dan partner bisnisnya yang kukenal, Karin menjadi 'piaraan' seorang bos yang punya puluhan bisnis, sekitar 3 tahun lalu.

Tapi, apakah Karin akhirnya merasai bahagia seperti yang pernah diimpikan semenjak ia masih kencur?
Tidak!

"Kau tahu, Jack ...! Aku hanya seekor dara yang cuma hidup di indahnya puisi seseorang. Aku tahu, sudah tak mampu kembali lagi. Bahagia ini adalah penjara yang memborgolku, dan tidak cuma itu. Nanti engkau akan paham"

Kalimat itu pernah terlontar dari mulut Karin, ketika aku mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat selepas clubing. Aku, hanya seorang sopir dari banyak pengemudi kendaraan si tuan yang 'memenjarakan' Karin saat itu.

Rasa kasihan dan tidak tega membekapku ketika Karin akhirnya bercerita lebih mendalam. Mungkin lubuk hatinya telah bedah ...!

Tak lama berselang, aku memilih jalanku sendiri. Jalan nafkah yang kubulatkan untuk kuputus, keluar dari pekerjaan itu.

Metropolitan, adalah rimba yang membutakan bagi kebanyakan mereka. Ganas, buas, brutal. Kesemena-menaan, penipuan, penindasan, kesewenangan, keculasan juga rasa tega.

Entah, bagaimana sebagian mereka mampu mengemas itu semua dan melakoninya dan entah bagaimana pula sebagiannya lagi, mampu bertahan dengan perasaan kebal yang aku yakini tak tumbuh membebat secara mendadak.

Aku ada dan hidup di dalamnya,  sepuluh tahun lebih. Mengalami banyak hal, dan terus bertahan. Impitan perih juga tentu saja berakhir dengan tunduk kekalahan.

Namun aku, bukan ilalang yang harus patah atau mati dalam dalam sekali injakan. Hanya seorang lajang yang telah kehilangan ayah dan ibu, tak ada saudara kandung, hanya secarik surat yang menerangkan bahwa aku terlahir entah dari rahim perempuan siapa ... juga bapak siapa.

Panti asuhan yang lumayan bagus, aku tinggal di sana hingga masa remajaku. Sampai ketua yayasan menawariku untuk bekerja di Jakarta.

Pada sebuah perusahaan besar yang dimiliki oleh seorang bos.

Aku masih ingat kenangan itu. Begitu legit tersisip di setiap sepi yang merajahi hati.

Ada banyak pura menjulang, asap dupa, sesaji dan orang-orang asing. Mereka menyebutnya sebagai tanah para dewa. Sebuah panti asuhan yang berada di bawah sebuah yayasan internasional, menjadi kediaman hangat walau tak mampu mengusir rindu.

Rindu pada siapa? Ayah, ibu, saudara ...? Atau barangkali kekasih?

Sekali lagi kukatakan tidak! Aku, cukup bersyukur, tumbuh dan mulai terbiasa dengan perasaan payau itu.

Tak kudapati hal lebih jika ingin membaca riwayat diri ini. Aku hanya tahu, terlahir di box bayi pada panti asuhan daerah Nusa Dua.

Kerap aku melihat sepasang bule. Terlihat bahagia memanggul seorang anak lelaki mereka. Bocah itu sebayaku. Bermain dengan kedua orang tuanya di pantai berpasir lembut. Menikmati sunrise, menikmati sunset. Bermanja-manja ...

Sekilas ... kubandingkan tubuhku. Sama persis dengan bocah itu. Tapi nasib tak persis sama. Memandangi bocah itu bersama kedua orang tuanya, menikmati indahnya weekend dari balik jendela berkaca tebal panti asuhan. 

Sebelum akhirnya aku melap kaca itu hingga bening dan melanjutkan untuk mengepel lantai.

Namaku Jack. Hampir seperti merk minuman keras, dan aku tak peduli. Sebab sedikit atau banyak seseorang pasti mempunyai alasan khusus mengapa memberiku nama demikian.

Tak perlu juga risau ... sebab sadar atau tidak seseorang pasti akan memegang dan memainkan kartu di hidupnya sendiri. Tak terkecuali diriku ....

Delapan minggu mereka memburuku! Memasukkan nama pada papan atas daftar sosok yang paling dicari.

Itu terjadi pada dua hari setelah bos mafia yang juga tuan pemelihara Karin, tewas mengenaskan.
Tenggorokannya jebol, tertusuk oleh pena berharga jutaan miliknya. Tubuhnya setengah bugil, hanya mengenakan celana dalam dan kaus singlet, dilempar paksa dari lantai sebelas sebuah apartemen mewah di kawasan elit ibu kota.

Kubayangkan tubuh Cabino meluncur deras ke bawah membelah angin, lalu terempas keras di lantai yang terbuat dari beton.

Sampai di bawah tubuh itu seperti rendang dengan kuah darah ...!
Berceceran seluruh bagiannya. Menjijikkan sekali. Semenjijikkan tingkahnya yang kelewat bejat.
Bejat? Apa hakku menghakiminya? Bukankah ia kekasih gelap Karin yang sekaligus bosku juga. Seseorang yang aku harus patuh pun sangat menghormatinya?

Aku melihat berita itu dari siaran berita televisi lokal, dan mengikuti berita itu seterusnya di tiap kesempatan.

Bergidik ngeri! Siapa pembunuh keji yang sanggup melakukannya? Tidakkah mereka tahu, Cabino sang bos yang telah tewas itu adalah orang yang sangat penting dan berpengaruh di lingkar kekuasaan formal dan anggota kumparan bisnis ibu kota.

Kolega dan anak buahnya dengan segala daya, mampu memburu dan mengungkap siapa pelaku dan dalang dibalik peristiwa berdarah yang mengejutkan seantero ibu kota.

Sementara itu Karin terus dijadikan saksi. Ia tak bisa ke mana-mana. Gawainya disadap pun semua gerak-geriknya sangat diawasi dengan seksama.

Ingin sekali aku bertemu dengan Karin dan bertanya banyak hal, sebelum polisi menetapkannya sebagai saksi di antara saksi-saksi lain.

Namun semua telah terlambat! Itu terjadi kukira beberapa jam menjelang kematian si Cabino. Karin beberapa kali meneleponku, tak kuangkat karena sedang berada di kamar mandi.

Ketika aku panggil balik, gawainya sudah tidak aktif.

Ia hanya meninggalkan pesan cukup panjang.

"Thanks, Jack ... kini pergilah! Polisi dan orang-orang sialan Cabino pasti akan memburumu sebentar lagi. Pergilah ke luar kota secepatnya. Semua keperluan ada di dalam tas kulit lusuh dalam almarimu. Maaf, aku menempatkannya kemarin tanpa seizinmu. Sekadar kau tak bertanya lebih jauh lagi ..."

Berterima kasih padaku? Tapi ... apa yang telah kulakukan untuk Karin? Kami tak membuat kesepakatan apa-apa, dan aku tak merasa melakukan apa-apa.

Atau aku memang sudah lupa?

Entahlah, sebab yang kuingat setelah mengantar Karin pulang ke apartemen, aku langsung pergi bersama kendaraan yang kubawa karena tugas untuk Karin sudah selesai juga karena malam sudah larut.

CCTV dari berbagai sudut yang terpasang di lantai basement itu kukira bisa membuktikan. Aku meluncur cepat. Keluar mengendari sedan mewah warna hitam, Benz E 200 hadiah dari Cabino untuk Karin.

Gawaiku berdenyut. Tanda panggil dari Karin, sekilas kulirik arloji. Pukul 02.40 WIB. Malam hampir habis.

"Jack, jemput aku di lobby ya, cepat! Aku tunggu di sofa ..."

Suara Karin tak seperti biasanya. Intuisiku mengatakan demikian. Sebab tak pernah sekasar itu ia memerintah dengan kata yang baru sekali itu kudengar.

"Oke!"

Aku matikan rokokku yang masih tersisa setengah dan bergegas menuju lobby hotel. Tempat party diselenggarakan oleh seorang taipan yang tengah merayakan ulang tahun.

Perihal acara apa pun itu, aku tak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana Karin selamat, merasa nyaman saat berangkat hingga pulang. Memastikan ia baik-baik saja hingga tiba di depan pintu apartemen.

Karena memang itu tugasku.
Dalam lobby kudapati sosok Karin dengan pakaian malam seksinya, namun kali ini tampak lain. Tubuh dan wajah itu tampak cemas, walau pada raut ayunya bersikeras coba mengusir sesuatu yang tengah ia pendam.

Karin, menyambar lenganku! Memaksa dengan kasar meninggalkan lobby hotel. Sekilas aku merasa diperlakukan bak kekasih malamnya, untuk semalam saja! Walau tak mesra ... sementara intuisiku justru berkata sebaliknya.

Ada sesuatu yang tidak beres tengah dialami Karin saat menikmati pesta di dalam sana.
"Biar aku duduk di depan bersamamu, Jack"

"Silakan jika mau"
Aku menyahut tanpa memperhatikan dua kali bagaimana reaksi wajahnya, melukiskan rasa cekam yang kali ini bertambah besar. Semenjak kami tergesa-gesa meninggalkan lobby hotel berbintang lima itu.

Pesta belum lagi usai, namun Karin tak hendak menuntaskannya.
Mobil kukendarai, melesat cepat membelah malam kota Jakarta dengan pedal gas yang kian dalam kuinjak, seiring perpindahan gigi menuju kecepatan puncak. Jakarta, tetap khas dengan lalu lintas yang tak pernah tidur

Karin hanya diam. Menyeduh keheningan yang kutafsirkan begitu hampa. Matanya kaku memandang lintasan lajur tol yang diterangi sepasang lampu depan. Ia sama sekali tak terusik oleh lalu lalang dan bias terang lampu kendaraan, dari arah ruas yang berlawanan. Hatinya seperti padam.
Kulirik. Ia menangis ...!

"Tolong kenakan sabuk pengamanmu, Karin. Ini prosedur standar" kataku tanpa menoleh kepadanya.

Karin geragapan, seperti tersadar. Cepat ia mengkaitkan belt dan memasukkan kepala logam hingga terkunci.

"Maaf, seorang Cabino pun akan kutegur jika ia lalai mengenakannya ..." lanjutku dengan nada datar lagi dingin.

Tapi di luar dugaan. Karin menoleh, menatapku tajam dengan pelupuk matanya yang berat oleh sembab.

"Seharusnya biarkan saja, Jack. Si Cabino binatang itu mampus jika terjadi apa-apa dalam kendaraan ini"

Pancinganku berhasil.

"Kau keliru, Karin. Menyakiti kekasihmu, bukankah sama halnya dengan menyakiti dirimu sendiri? Ia sudah sangat baik dan berhasil membuat hidupmu penuh arti ..."

Karin beringsut. Tubuhnya tak lagi berada pada posisi menghadap ke depan layaknya seseorang pengemudi. Namun malah menghadap kepadaku.

Ekor mataku sempat menelisik. Dadanya kembang kempis mendadak, napasnya mulai memburu dengan tiba-tiba. Karin berubah garang dalam sekejap.

"Dengar Jack, andai Tuhan berkenan mengabulkan doaku malam ini. Aku akan meminta agar Cabino dicabut  nyawanya dalam keadaan sangat regang lagi kesakitan. Aku ingin ia mati, binasa untuk menebus semua kebejatan yang sudah melampau batas. Dan aku, akan bersedia menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika aku harus mendekam dalam penjara seumur hidup ..."

Nada suaranya tegas. Ada geram yang begitu menggelegak. Dari mulutnya, aku tak mencium bau alkhohol. Tumben ia waras untuk party malam ini.

"Bajingan busuk itu, mampus saja ...!"
Ia seperti belum puas tanpa menutup dengan kalimat makian, jika itu sudah menyangkut nama bos Cabino dalam setiap pembicaraannya, terutama dengan aku. Entah jika dengan orang lain.

"Ucapanmu bisa sangat bermasalah, Karin. Kuharap kau tak berpikir layaknya si cantik Barbie yang sedang patah hati atau putus asa"

Kujawab pertanyaan Karin tanpa menengoknya, dan tetap konsentrasi penuh dengan kendaraan dan jalan yang sedang kulintasi dengan kecepatan tinggi.

Kubiarkan ia menatapku dalam keadaan utuh dan puas. Mungkin, ini jalan terbaik baginya untuk menimpakan kekesalan yang menyedak di dada. Melampiaskan barang sekejap kepada lelaki yang berada di sebelahnya.

"Kau pikir aku bodoh, Jack! Karena tak ada yang kupercayai selama ini, selain dirimu ... dan aku tak pernah mengucap apa pun di luar sana. Aku bukan perempuan dungu yang tidak tahu resiko"

Kuinjak rem, kecepatan turun mendadak. Aku bahkan tanpa sadar telah melakukannya. Cepat-cepat kukembalikan mobil ke posisi kecepatan semula.

Melaju tenang membelah jalan tol sepanjang malam yang terus menghunjam ke waktu dini hari.

"Kenapa Jack? Kau grogi? Kau lupa betapa dekatnya kita?"
"Aku hanya kacung rendahan suruhan si hebat Cabino, harus paham derajatku ..."

Getir kujawab, dan berharap ia tak berkelanjutan meracau lagi dengan kalimat-kalimat lain yang lebih menusuk.

"Manusia, berderajat sama Jack. Hanya apa yang ia punya dan ia kenakan saja, akhirnya membedakan ia di mata manusia lain"

Karin diam, lalu menghela napas sangat dalam. Matanya mengelana jauh. Menerobos langit gelap yang tak tersentuh oleh jagad dirinya saat ini.

"Walau ia seorang lelaki peranakan Eropa-Indonesia yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Hidup tanpa kasih sejati bertahun di panti asuhan, mengenaskan ...! Rajin mengelap kaca dan mengepel lantai, mengorek toilet. Membekap rasa rindu yang terus terkatung-katung, kala kerap melihat bocah seusianya, ceria bermain di pantai indah berpasir lembut, dari balik kaca jendela. Dia sering melongo, kasihan ...! Berharap dalam andai jika ia adalah bocah itu, menggenggam ronce nasib yang sangat berbeda ..."

Entah dari mana datangnya refleks ini. Secepat kilat kucabut Glock 17 dalam sepersekian detik dan ketempelkan ke pelipis kiri Karin!

Aku sangat tersinggung. Ucapan Karin membuat perasaan ini begitu berdarah.

"Katakan sesuatu sekali lagi, hei cantik ...! Kupastikan isi kepalamu akan berceceran menempel pada kaca jendela di sampingmu ... dan kupastikan pula tubuhmu akan kulempar bagai bangkai anjing dari kabin ini ...!"

Entahlah, aku seperti mendadak kesurupan! Darah dari jantungku meledak terpompa. Serasa melonjak penuh hingga ke kepala tanpa melewati dada.

Karin malah tersenyum. Sama sekali tak ada gemetar yang menjalari tubuhnya. Ia tampak tenang tanpa ada perasaan takut sedikit pun.

"Aku lapar ...! Butuh kopi dan menghisap rokok. Bisa kita keluar tol di pintu berikut?" ucapnya santai.

Pistolku masih menempel lekat di pelipis kiri Karin.

Kukuh lurus dalam titik bidik, dengan telunjuk kiriku yang sudah siap melingkar penuh di pelatuk.
Napasku terus memburu. Menghirup udara dari semburan double blower perangkat mewah AC yang sekejap kurasai tak lagi mampu mengatupkan pori-pori dengan suhu rendahnya.

Namun, secara tiba-tiba sudah berubah bak kepulan hawa panas dari tungku yang mengangakan seonggok bara.

Kami saling diam! Detik berlalu beberapa loncatan. Menunggu ...!
"Sudah kukatakan sebuah kalimat seperti pinta ancammu, Jack? Kenapa tak jadi menembakku ...?"

Perasaanku mereda, perlahan pistol kutarik menjauh dari pelipis lembutnya itu. Memindahkan laju kendaraan ke lajur kiri setelah menyarungkan Glock 17 di balik jaket.

Perlahan kukurangi kecepatan. Tampak gerbang tol di depan dengan tanda dan terang isyarat lampunya.

Entahlah, di hadapan Karin kerap aku menjelma menjadi sosok bodoh atau bertindak bodoh. Dua-duanya tetap hal yang sama bagiku.
Sial ...!

"Berhati-hatilah dengan dendammu, Karin. Ia bisa terwujud kapan saja. Kau telah meletakkan satu pengharapan gelap yang tak biasa, tanpa tersadari"

Karin melengos! Mendengus sinis.

Melemparkan tatapannya beralih ke kaca samping. Tak ada yang bisa tertangkap sempurna oleh lensa matanya, aku yakin itu. Kecuali gelap yang melaju dengan kilatan lampu yang menyilaukan dari laju berbagai kendaraan yang melintas.

"Sejak sore aku belum makan, Jack. Sebaiknya kita sedikit cepat"

Karin tak menggubrisku ketika aku mulai menyeriusi ucapannya. Hatiku serasa terbang ....!
Apakah selalu demikian ketika seorang perempuan ingin memainkan hati seorang pria? Entahlah. Bahkan aku teramat awam untuk merasai bagaimana seluk-beluk jatuh cinta. Mempertaruhkan segala hidupnya isi hati dan tumpah-ruahnya perasaan.

Bagiku, perempuan ibarat angsa cantik yang tengah berenang dan menari di tengah kolam. Sangat berisiko tenggelam ketika aku atau siapapun berusaha untuk menggapai. Ingin menegaskan dengan telapak tangan sendiri.

Betapa indah, cantik dan lembut bulu-bulu itu.

Resiko!

Mungkin aku akan mengulas ulang lebih dalam tentang kata dasar ini. Tapi bisa jadi ... aku termasuk lelaki yang membutakan resiko. Terhadap hidup sekali yang kerap kuberontaki.
Bukankah aku juga berhak menyisipkan sedikit bahagia atasnya?

Malam terus bergerak, kurasai melaju begitu tergesa. Mendendangkan awal sebuah lakon petualangan, pengorbanan, ketulusan juga perihnya pengkhianatan.
Cinta ... ternyata masih mampu menyelamatkan segalanya.

Hikmah Dibalik Selembar Uang




Penulis : R. Sangaji
Dikategorikan : Cerpen 

Tak bisa dipungkiri, sebagian dari kita ibu rumah tangga pasti pernah ada di posisi tokoh. Saat dompet benar-benar sepi tak berpenghuni, sedangkan suami yang harusnya bertanggung jawab atas kehidupan kita dan anak-anak tidak bisa menjalankan fungsinya sebagai tulang punggung keluarga karena alasan tertentu. Sementara anak-anak tetap harus makan dan mirisnya tidak ada yang dimakan.

Sebagai ibu apa yang kita rasakan? Pasti sangat sedih. Apalagi mendengar rengekannya yang kelaparan, "Bu, lapar, makan."

Andai daging kita halal untuk dimakan, mungkin sebagai ibu tanpa berfikir panjang, langsung deh daging paha kita iris lalu kita goreng untuk lauk makan mereka.

Saking besarnya rasa cinta kita kepada anak, hingga sering tak memikirkan diri kita sendiri. Namun, itu tetaplah bukanlah solusi.

Bingung? pasti. Pusing? sangat. Rasanya bagai ingin pulang ke rahim ibu sambil sekalian mengajak cucunya.

Mau minta orang tua atau saudara sungkan, karena kondisi mereka pun bukan orang berada. Mau hutang di warung malu, mau minta tetangga apalagi, takut jadi bahan omongan.

Di situlah ketangguhan dan kesabaran kita sebagai seorang ibu benar-benar di uji. Harus bisa mencari jalan keluar, supaya anak-anak tetap bisa makan.

Dulu (sekarang pun masih cuma tak terlalu parah he he he), aku pernah ada di posisi si tokoh. Saat itu adalah titik terendah kehidupan rumah tanggaku.

Kami sedang disayang Allah dengan ujian yang luar biasa. Suamiku kecelakaan, kapal yang dia awaki terbakar di perairan Bangka Belitung dalam perjalanan Jakarta-Aceh, ketika hendak mengedrop bantuan buat para korban Tsunami.

Suamiku menjadi satu-satunya korban yang terbakar. Kejadiannya sangat tragis. Saat itu kapal sedang lego jangkar, menunggu kapal bantuan datang karena ada kerusakan mesin.

Posisi sebagian besar kru sedang beristirahat karena kelelahan. Hanya beberapa yang terjaga karena waktunya piket. Bahkan posisi kru yang seharusnya berjaga di ruang mesin pun juga terlelap saking lelahnya.

Bayangkan, kru yang bertugas di kapal itu hanya beristirahat ketika proses menurunkan dan menaikkan bantuan atau saat pengisian bahan bakar. Sejak  bencana tsunami melanda, kapal nyaris tak beristirahat, bolak balik antara Jakarta-Aceh.

Belum lagi ketika di Aceh mereka harus membantu proses evakuasi pengangkatan jenazah para korban. Makanya tidak heran jika mereka tertidur sangat pulas hingga tak menyadari jika ada bahaya yang mengancam nyawa mereka.

Alhamdulillahnya, suamiku yang saat itu sedang berjaga di anjungan turun karena hendak mengambil sesuatu di ruang mesin.

Dia mengetahui kebakaran itu dari asap yang keluar dari sela-sela pintu ruang mesin. Tanpa berfikir panjang dia langsung masuk ke ruang mesin untuk membangunkan teman-temannya. Mereka selamat, namun sayang justru suamiku terjebak di kobaran api.

Ah … jika membayangkan kejadian saat itu, betapa aku semakin bersyukur akan kasih Allah. Tanpa pertolongan-Nya, mungkin suamiku sudah habis terbakar dan aku menjadi janda muda.

Singkat cerita, suamiku dirawat di Rumah Sakit. Alhamdulillah,  biaya perawatan ditanggung dinas, namun tetap saja ada banyak biaya yang harus kami keluarkan untuk menunjang kesembuhannya.

Tabungan yang kami kumpulkan sedikit demi sedikit ludes tak bersisa. Gaji suamiku sudah mepet, belum lagi harus membayar kontrakan rumah yang kami tempati setiap bulannya. Usaha jahitku belum berjalan, karena di Jakarta kami orang baru.

Hampir dua bulan suamiku dirawat dan menjalani serangkaian pengobatan yang panjang dan melelahkan. Siang malam aku selalu setia mendampingi, padahal saat itu anak kami masih bayi dan masih menyusu.

Terpaksa dia kutitipkan pada simbahnya di kampung. Sering aku mengalami panas dingin, karena payudaraku sakit penuh dengan ASI.

Sekeluarnya dari rumah sakit,  suamiku masih harus istirahat kurang lebih tiga bulan lamanya untuk memulihkan kondisi fisik dan psikisnya. Selama itu pula kami harus bolak balik ke rumah sakit untuk control. Mata dan telinganya terganggu.

Bukan hanya menghadapi kesulitan ekonomi, aku pun harus menghadapi perubahan sikap suamiku yang dulunya sangat penyabar menjadi temperamental karena perubahan kondisi fisiknya yang sebelumnya tampan rupawan menjadi (maaf) buruk rupa.

Telinganya kanan kiri cuil karena gosong dan terpaksa dipotong. Wajahnya jangan tanya seremnya kayak apa. Memang suamiku tidak pernah main tangan, tapi cemburunya Subhanallah, bawaannya curiga melulu. Selalu ketakutan tak jelas. Khawatir aku selingkuh. Setiap berkata selalu menusuk bikin hati panas. Dilawan jadi ribut, didiamkan sakit hati.

Sampai pada suatu hari, aku berada dalam posisi yang tak enak tersebut. Beras tinggal segelas belimbing. Uang serupiah pun tak punya, sementara anak dan suamiku yang saat itu masih cuti pemulihan harus tetap makan.

Mau minta abang tak berani (padahal abang suamiku tinggal beda gang dengan kami). Sebelah saudara sebelah bukan. Mau minta kiriman orang tua tak tega, karena mereka pun bukan orang berada. Mau pinjam tetangga? malu, sama sekali aku tak memiliki keberanian.
Otakku langsung berputar, bagaimana caranya aku secepatnya dapat duit agar anak dan suamiku tetap bisa makan.

Teman-teman tahu apa yang aku lakukan? Aku ngojek. Dari pagi jam delapan sampai sekitar jam sebelasan. Dengan terpaksa kutinggalkan anakku di rumah dengan ayahnya. Pamit hanya keluar sebentar cari sayuran.

Alhamdulillah hari itu aku dapat uang sekitar dua puluh delapan ribu. Begitu aku pulang habis aku dimaki-maki suami. Ha ha ha. Dia bilang aku perempuan tak tahu dirilah, seenaknya keluyuran ninggal anak lah, bla  bla bla endesbra endesber.

Apakah aku melawan? Tidak. Cukup diam mendengarkan dia mengeluarkan semua uneg-unegnya.
Akhirnya aku jujur, “Mas, maaf, aku pergi kelamaan, aku ngojek. Di rumah gak ada lauk. Aku sama sekali gak megang duit, lha nanti Mas makan pakai apa? kan Mas harus makan yang bergizi biar cepat sehat. Biar cepet bisa dinas lagi.”

Begitu tahu apa yang aku lakukan, suamiku langsung menangis. Memeluk sambil terus meminta maaf berulang-ulang, karena merasa sudah gagal jadi suami.

Peristiwa tersebut membuatku banyak belajar. Sesayang apapun suami pada kita, sebaik apapun dia, sebesar apapun penghasilannya akan ada titik di mana kita mau tidak mau, suka tidak suka, siap tidak siap harus bisa mengambil alih tanggung jawab suami sebagai tulang punggung keluarga.

Sebisa mungkin, walaupun kita hanya seorang ibu rumahtangga usahakan memiliki ketrampilan dan penghasilan sendiri. Apalagi jika penghasilan suami kita pas-pasan.

Tak ada salahnya kita membantu meringankan bebannya. Yakin deh, suami akan semakin bertambah sayang kepada kita. Yang terpenting jika kita memiliki penghasilan sendiri, jangan lalu congkak, sombong, lalu meremehkan dan menginjak harga diri suami. Jika demikian, bukan berkah yang akan kita dapat, tapi musibah.

Tak perlu malu tak usah gengsi, jika kita mau, banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan tanpa harus meninggalkan rumah dan anak-anak.

Entah itu menerima jasa cuci gosok atau laundry kiloan, menjahit, merias, menjual sayuran matang yang kita titipkan di warung, membuat kue, jualan pulsa, menerima les calistung, jualan online, dan masih banyak lagi pilihan yang lain. Yang penting halal.

Mungkin penghasilan yang kita dapat tidak besar. Tak apa. Walaupun hanya dapat sepuluh ribu rupiah sehari, percayalah. Suatu ketika di saat kita kepepet, uang sepuluh ribu itu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga, bermanfaat dan akan sangat menolong kita.

"Ah ngapain kerja, Mbak Nir. Wong suamiku melarang dan bisa memenuhi semua kebutuhanku kok!"

“Yo Alhamdulillah kalau begitu, Bu. Manfaatkan kesempatan ini buat menabung, mempersiapkan segalanya. Ibuku pernah berpesan, suami istri itu ibarat kran dan ember. Walaupun krannya deras mengalirkan air, tapi jika embernya bocor ya percuma, sia-sia.

Satu yang tidak boleh kita lupa, Bu. Batas antara cinta dan benci setipis batas antara hidup dan mati. Apa yang terjadi dengan kehidupan kita di kemudian hari hanya Allah Subhanallahu Wa Ta'ala  yang tahu.

Hari ini mungkin kita lah satu-satunya wanita yang dia cintai, tapi besok siapa yang tahu? Raganya bisa kita kendalikan, tapi hatinya? Tetap suamilah penguasanya.

Pagi ini suami masih bersama kita, tapi siang nanti siapa yang bisa menduga? Banyak kejadian suami berangkat kerja segar bugar, namun ketika pulang sudah terbujur berbalut kain kafan.  Lalu apa kita harus terus terpuruk? Sedangkan ada anak-anak yang harus kita fikirkan dan perjuangkan masa depannya.

Mungkin jika suami meninggalkan warisan, kita tidak terlalu pusing. Tapi bagaimana jika tidak?sementara kita selama ini tak terbiasa hidup susah karena selalu dimanja suami dan selalu  berada di posisi nyaman.

"Ah Mbak Nir, fikiranmu terlalu jauh. Apa yang terjadi besok ya fikir besok. Masak iya Allah akan membiarkan kita tak bisa makan? Toh semua mahkluk sudah dijamin rejekinya oleh Allah!"

Mungkin ada salah satu dari Njenengan berfikir begitu, Bu.
Itu betul, sangat betul. Allah sudah menjamin rejeki setiap Mahkluk-Nya. Tapi tetap harus disertai usaha, to? Burung pun harus keluar meninggalkan sarang untuk mendapatkan makan. Ayam pun harus mengais tanah dulu untuk mendapatkan cacing atau semut.

"Halah Mboyak, Mbak Nir. Sak karepmulah!"

Nah kalau udah ada tanggapan seperti ini, baru saya bingung mau jawab apa. Ha ha ha ....
Semoga Allah Subhanallahu Wa Ta'ala selalu melindungi kita semua nggih, Bu. Selalu melimpahkan rahmad dan kasih-Nya untuk kita semua. Semoga rumah tangga kita selalu sakinah, mawadah, warohmah.

Yang paling utama, semoga Allah mencukupkan umur kita hingga kita bisa menyelesaikan tugas dan tanggung jawab  sebagai orang tua, untuk mengantarkan anak-anak ke gerbang kemandirian dan menjadikan mereka anak-anak yang benar-benar beriman, berahklak, berilmu dan berharta. Amin.
Salam sayang untuk Njenengan semua. Cerdas harus, tangguh wajib, cengeng jangan.

Sunday, July 28, 2019

Taman Yang Tandus Berbuah Jeruk Yang Segar

Ditulis Oleh : Aljufri
Kategori : Cerpen | Fiksi

Inilah aku Rinto, seorang pekerja kantoran disebuah perusahaan yang penuh dengan banyak aktifitas diluar kota hingga jarang pulang kerumah, berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan.

Dingin pagi diwaktu subuh, terbangunkan diriku dari tidur malam yang lelap, suasana yang segar dan tenang pagi itu, aku menatap ke pekarangan rumah yg sudah tak terurus selama tiga bulan lebih karena sering tugas diluar kota, tanah yang tandus dihiasi bunga-bunga yang layu, seraya memanggil hatiku tergerak untuk memasng selang air di kran lalu kusemprotkan taman hingga basah kuyup membasahi taman yang tandus dan sudah tak sedap dipandang itu.

Tak lama keluarlah bibi dari dalam rumah yang pada saat itu baru selesai sholat subuh "Rin lagi ngapain?",  bertanya dengan nada heran sang bibi karena kaget melihatku dengan tumben-tumbennya menyiram taman yang tandus dan telah layu rumput dan bunga-bunganya.

Tak aku hiraukan sedikitpun sahutan pertanyaan dari bibi  yang dilontarkan kepadaku pagi itu, hingga yang kedua kali beliau melontarkan bahasa yang sama "Rin lagi ngapain?",
sambil asyik menyiram taman yang tandus, kemudian serentak aku merespon kalimat bibi dan akupun menjawab, "Aku lagi siram taman yang sudah kering tandus dan layu bunganya Bi" jawab aku kepada sang bibi.

Kemudian aku bercerita kepada bibi, "sudah cukup lama aku jarang pulang kerumah dan fokus dengan pekerjaan hingga taman ini tak lagi terurus",

Kemudian bibi pun kembali bertanya "emang dahulu sering dirawat taman ini?",  tanya bibi karena bibi baru saja tinggal dirumah ku.

 "iya bi, dulu taman ini sering ku urus, hingga kini jarang terurus karena aku lagi banyak kerjaan diluar kota", jawab ku kepada bibi

Tanpa banyak berkata-kata Bibi pun menyahut ceritaku "ohh yaa, selamat mengurus taman tandus ya Rin...!!!", sahut bibi spontan kepadaku, aku terdiam, tanpa ada balasan kata buat sang bibi, sambil fokus menyiram taman itu, karena aku tahu bibi tidak bakalan mengurusunya bahkan bibi sendiri tidak yakin aku akan mengurusnya sampai menjadi taman yang indah, tetapi aku tetap konsisten tetap akan kuurus taman ini hingga suatu ketika akan subur dan membuat mata semua orang yang tak sepaham denganku sadar bahwa dibalik sibuknya aku ada setitik keindahan yang kugambarkan dipandangan mereka diatas taman ini yang dianggap tandus dan jelek tak terurus.

Tak lama terfikirkan didalam benakku  bunga apa yang akan kutanam lagi diatas taman yang telah tandus itu, akhirnya aku menemukan ide untuk menanam jeruk dapur setelah aku menjelajahi dunia maya.

Tak luput semangatku, akhirnya ku praktekkan buat menanam jeruk, diatas taman itu dan setiap hari aku selalu rajin menyiram taman tersebut.

Setelah tiga bulan kemudian, ternyata apa yang dipikirkan diluar dari dugaan, taman tersebut yang tadi tandus memberikan hasil tanaman jeruk dengan buah yang lebat dan subur, hingga bukan hanya sekedar cerita bahwa sedap dipandang mata saja, tapi memberi hasil dari buah jeruk tersebut buat dimakan.

Suatu ketika bibi menghampiri aku disore hari yang lagi menyiram tanaman jeruk, bibi pun kaget apa yang telah kulakukan selama ini tidak sia-sia “wah,,, Rin, ternyata kamu konsisten apa yang kamu lakukan hingga akhirnya taman ini yang tadinya tandus bisa memberi hasil tanaman jeruk yang segar dan buahnya bisa dimakan”, sahut kaget dan keheranan sang bibi kepadaku.

Aku pun dengan sedikit egonya karena awalnya bibi tidak pernah yakin apa yang aku lakukan akan memberikan dampak sehebat ini, akhirnya dengan spontan dan nada sedikit sombong aku pun berkata kepada bibi “Ah biasa aja,,, kebetulan aja Bi, karena saya serius maka hasil yang saya dapatkan juga serius donk”, sahut aku kepada bibi sambil memetik buah jeruk.

Setelah kejadian itu bibi sering membantuku mengurus taman Jeruk bahkan ketika aku lagi bertugas diluar kota bibi masih tetap mengurus dan merawat tanaman itu bahkan beliau sempat merekrut karyawan yang bertugas memetik buah dan mendistribusi penjualan dari hasil buah jeruk ke pasar-pasar dikota.


Saturday, July 27, 2019

Siksaan Negara Didalam Jeruji


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Fiksi | Cerpen

Saudaraku dibalik jeruji besi, kau sudah sekian kalinya nyaris tak melihat indahnya matahari terbit dan tenggelam dari balik ruang dua kali dua yang di sekat penuh lembab tersebut.

Pastinya aku tau, kau enggan menghitungnya seberapa banyak bola api raksasa itu, luput dan berlalu dari pandanganmu.

Saudaraku, kuberitahu padamu Matahari tak pernah berubah. Ia senantiasa terbit dan tenggelam. Tapi, ada narasi yang harus kau ketahui. Sebuah narasi yang liris tentang perjalanan hidup. Sebuah narasi tentang penderitaan yang teramat sangat.

Terakhir, tahun 2016, seroang kawan datang padaku dan menyampaikan kabar bahwa kau menanggung sakit usai dikeroyok sesama tahanan perkara tempat tidur. Sekejap perasaan antara sedih dan marah berkecamuk di jiwaku. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya membayangkan betapa perihnya luka di sekujur tubuh. Dari wajah hingga kaki. Lima orang bukanlah jumlah yang sedikit. Dan sebagai sebuah konsekuensi, kau harus menerimanya.

Dua tahun sudah kini. Bagaimana kabarmu? Siapa yang tahu? Kawan itu sudah pergi. Entah di mana kini ia. Kau tahu, Saudara, Mamak mulai sakit-sakitan. Ia menjatuhkan air matanya ketika membaca tulisanku tentangmu. Maka tahulah aku, betapa Mamak merindukanmu. Sebusuk-busuknya daging busuk, kau tetaplah anaknya! Bukan begitu?

Aku bukan saudara kecilmu lagi. Aku sudah tumbuh menjadi apa yang kukehendaki. Tak perlu kau tahu apa itu. Namun meski aku sudah begini adanya, memoar-memoar yang pernah terjadi di hidup kita tak pernah berhenti datang.

Kadang ketika aku melihat seorang anak kecil bersama sang abang, aku ingat satu memoar ini:
Ingat kau? Kalau suatu kali kita pernah lari tergapah-gopoh karena dikejar beberapa ekor anjing yang sedang lapar, yang hendak mengambil ikan yang kita jual? Masih ingat kau? Kadang kalau ingat memoar itu aku tertawa. Namun setelah itu, aku kembali menghela napas. Karena sepulang dari jual ikan, Mamak tak ada di rumah. Ia sedang pergi ke rumah Nenek mengambil beras. Saat itu senja dan hujan. Dan kita sama-sama menanggung lapar.

Tapi memoar tetaplah memoar, Saudara. Ada yang liris. Ada yang manis. Bukankah memang begitu bunga kehidupan?

Waktu dewasa ini, Saudara, rupanya apa yang kubayangkan sejak kecil--bahwa kehidupan akan indah pada waktunya, semuanya takhayul. Tak ada keindahan yang kutemukan. Hanya ada penderitaan yang jauh lebih lengkap dari yang pernah kurasakan. Dan sekarang aku hidup di kota. Tempat paling suram dan mengerikan.

Kau bayangkan saja, Saudara. Nyaris setiap menit ada saja penderitaan yang tiba dengan wajah lain. Perampasan lahan, pembunuhan, pembantaian orang oleh orang, pelacuran identitas, pemerkosaan anak perempuan dan perempuan remaja, dan seterusnya. Dan seterusnya.

Dan Mama, Saudaraku, dan Mama, makin jarang kulihat ia tersenyum. Terlalu masak pikiran dan tubuhnya dihajar penderitaan baik oleh keadaan (kekacauan ekonomi-politik) dan perampasan hak bertahan hidup. Kupikir itulah penyebab ia sakit-sakitan kini. Tapi diam-diam aku kerap berdoa untuknya. Tanpa Mamak apalah hidup ini artinya.

Saudaraku, selama aku hidup di kota tua yang kelam dan mengerikan ini, aku semacam berada dalam lingkaran setan. Ya, seperti ceritamu! Kau masih ingat? Ah, jangan bilang kau lupa! Lingkaran setan yang kau ceritakan malam-malam sepulang kita jualan bibit cengkeh

Begini ceritamu kalau aku tak salah ingat :

Malam itu angin dingin berhembus. Suara dedaunan yang digesek angin, menyerupai suara manusia yang memanggil. Malam itu aku kedinginan. Dan betul, aku mendengar suara gelak tawa orang banyak. Namun jauh.

Aku bangkit dan menyusul suara itu. Suara itu makin jauh, makin jauh, hingga akhirnya aku sampai di sebuah kolam yang merah airnya. Di situlah aku melihat orang melingkariku. Orang-orang yang tak menginjak bumi. Dan wajah mereka menyerupai binatang.

Lututku bergetar. Suaraku tak mampu keluar. Energiku seakan habis. Akhirnya aku tak sadarkan diri.
Nah, Saudaraku. Kini aku merasakan hal yang sama. Aku berada dalam lingkaran setan. Lingkaran setan berwujud manusia yang dengan kekuasaannya menindas manusia lainnya yang dimiskinkan yang hidup di jantung kota atau di pinggiran kota. Dan di antara orang yang dimiskinkan itu, aku melihat keluarga kita. Ada Mama, kau, dan dua adik kita.

Lututku bergetar. Aku marah. Tapi tak mampu berbuat apa-apa. Tubuhku seakan kehilangan daya dan upaya. Aku hanya melihat. Dan melihat! Ah, Saudaraku Jika kau ada di sini tentu sudah kau hantam aku dengan kepalan tanganmu!

"Bahkan, dalam keramaian yang paling riuh,

selalu dapat kudengar derit daun jendela penderitaan, yang terayun-ayun angin rindu Keadilan. Sesekali, kutuliskan derita cinta dan perjuangan pada jalan sunyi. Biar kelak di suatu ketika, cinta dan perjuangan anak jalanan mekar di sepanjang musim.

Kusudahi dulu surat ini, Saudaraku.Jika masih ada umur, akan kutulis surat selanjutnya untukmu

Kenangan Itu Sakit

Penulis : Rahmat Sangadji
Kategori : Cepen |Fiksi

Dentuman, hingar bingar musik dan manusia memenuhi ruangan menulikan ratusan pasang rungu pada keadaan di luar. Tatapan liar mendamba dan membara terpancar dari setiap pasang mata yang memandang.

Lekukan tubuh mengiringi musik dari negara barat. Tidak ada yang berkedip melihat pemandangan indah sempurna bagi laki-laki tak beriman. Yang lebih memilih merasakan api membara dan tusukan ribuan jarum panas dari Rabb.

Gelengan kepala seorang wanita menjawab tanya barista berambut perak dengan penampilan kemayu. Tangan wanita itu menyampirkan clutch di bahunya yang terbuka.

Hanya dehaman yang diterima lelaki kemayu itu seiring langkah kaki wanita  yang meninggalkannya dalam kebisingan teramat.
Wanita cantik dengan penampilan glamour itu keluar dari sebuah kelab malam dengan diiringi tatapan liar dari kaum adam.
Mengibaskan rambut rambut panjang kemerahannya hasil catokan tata rias ternama ketika melewati pria mata keranjang.

"Jesica Ahmad." wanita itu menyandarkan punggungnya dengan nyaman di jok mobil setelah memberitahu sopir taksi alamat apartemennya.
Waktu satu jam dipergunakan wanita itu untuk memejamkan matanya. Mengistirahatkan otot sementara menunggu tiba di apartemen. Ingatannya menerawang dikala mata itu terpejam. Mengenang apa yang selama ini tidak pantas dikenang.
Wanita berusia 30 tahun yang selalu dibayangi masa lalu yang membuatnya sulit lepas dan terbebas dari masa kelam.
Wanita cantik itu turun setelah membayar ketika sopir memberitahunya sudah sampai di tempat tujuan dan segera masuk ke lobi apartemen.
Melempar asal clutch setelah sampai di kamar sebelum masuk ke kamar mandi. Namun, bunyi bip di gawai menghentikan langkahnya.
Sebuah pesan dari orang yang selalu memperhatikannya tanpa sama sekali diharapkan wanita itu.
'Besok ibu tunggu, pulanglah.'
Pulang?
Bahkan ia lupa kapan terakhir pulang.
Tidak berniat membalas, wanita itu melanjutkan niatnya. Berendam seperti biasa sampai satu jam lebih menikmati busa wangi memanjakan tubuhnya. Setelah puas, baru wanita itu keluar dan membalut tubuhnya dengan bathrobe.

"Kamu selalu cantik."
Bibir wanita itu melengkung, senyum manis terukir di bibir tipisnya yang mulai pucat karena terlalu lama berendam mengingat ucapan lelaki yang pernah membuat hatinya berbunga.
Tangannya mengusap rambut panjang yang basah dengan handuk seraya menatap intens bayangan dirinya di kaca.

"Rambut ini yang membuatku gila."

Lagi bibir itu menyunggingkan senyum. Kala wajah lelaki itu memenuhi ruangan memory-nya.
Dan seketika, senyum miris dan sinis dengan tatapan tajam mengancam menggantikan ketulusannya, ketika mengingat kalimat yang membuat wanita itu sakit hingga luka di sudut hatinya dipastikan tak akan sembuh.

"Maaf, aku akan segera menjadi Ayah."

Iya, dia lelaki yang sudah membuat wanita itu gila. Gila dengan perasaan yang sudah membuatnya jatuh. Menjatuhkan hati pada lelaki yang salah.

Hati wanita itu terluka, ketika cintanya di hempas tak bersisa. Meninggalkan kenangan mendalam yang menghancurkan hatinya.

Kesakitan yang mendalam, menyisakan luka yang menganga. Ketika hidupnya sudah disandarkan pada seorang pria dewasa yang mengkhianatinya, setelah lima tahun manjalin hubungan, hingga satu kenyataan pahit didapatkan wanita tersebut.

Deringan gawai membawa wanita itu kembali berpijak pada dunia nyata. Menatap datar nama penelpon, tanpa berniat mengangkat.

Satu nama yang selalu tertera di layar gawainya. Pagi, siang dan malam. Ibunya seakan tidak pernah bosan melakukan hal yang tidak pernah akan di sambut wanita itu dengan baik.
Persetan dengan semuanya, ia hanya akan menjadi dirinya yang sekarang. Selama tiga tahun ini hidupnya baik-baik saja tanpa orang terdekatnya.

Menolak semua kebaikan orang lain yang membuatnya hanya merasa dikasihani.

"Begini lebih baik. Tanpa ada dia ..." meski hati ini tak akan pernah melupakan pengkhianatanmu.
Setelah deringan berhenti dan berganti dengan bunyi bip tanda pesan masuk, wanita itu membuka pesan tersebut.

'Hanya kali ini. Ibu tidak akan mengganggumu lagi.'
Tidak cukupkah dengan kepergiannya selama ini? Kenapa seolah orang-orang ingin menjadi lebih dekat dengannya setelah kejadian itu?

Begitu miriskah keadaannya? Padahal, kehidupannya teramat baik tanpa sepeserpun saham orang tuanya yang menghidupinya selama ini.

Kenapa setelah kejadian yang menimpanya, orang tua itu semakin gencar menunjukkan peran nyata sebagai sosok orang tua.

Kepulan asap rokok, terhembus dari bibir pucat itu. Jari lentiknya menekan beberapa deretan angka di gawai. Ketika panggilan tersambung dengan seseorang di seberang.

"Besok aku akan ke Ternate." satu kalimat terucap, selanjutnya bantingan gawai terdengar memenuhi ruangan apartemennya.

Kepingan itu hancur bersama dengan kepingan hatinya yang kembali retak ketika ia memutuskan kembali ke kota yang menjadikan dirinya seperti sekarang. 

Mimpi Anak Pinggiran Kota

Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori   : Cerpen, Artikel



Para pedagang dari seantero penjuru kota yang jauh akan membangun lapak di sepetak tanah milik negara di perkampungan kumuh pinggir kota Sabtu malam. Pasar Malam, begitulah kebenyakan orang menyebutnya. Pasar Malam itu tak pernah sekali pun sepi. Orang-orang pinggir kota itu akan memakai pakaian terbaik mereka sebelum berduyun-duyun pergi ke sana. Bagi paramuda, Pasar Malam itu adalah gelanggang mencari pasangan atau menunjukan taji, karenanya mereka akan berdandan sebaik menurutnya. Agar tampak elok dipandang tak jarang mereka mengoleskan minyak goreng ke kepalanya. Bahkan, tak jarang pula paramuda itu menyemprotkan pewangi pakaian begitu banyak, hingga bau badannya betul-betul hilang. Dan, bagi paramuda yang lain mereka akan bersikap acuh!

“Sebagai bunga pinggiran, kita mesti pandai menempatkan diri di antara bunga kota dan taman!” Begitulah semboyan hidup yang mereka tanamkan dalam diri masing-masing.

Di Pasar Malam itu semuanya serba ada. Di sudut kiri, para pedagang buah-buahan sibuk membelah buah pepaya yang ternyata kuning isinya. Di sudut kanan, para pedegang pakaian tampak sibuk tawar-menawar hingga menemu harga pas. Di tengah-tengah para pedagang kaset saling beradu nyaring-nyaringan pengeras suara sembari hidung mereka dimanjakan bau wangi dari pedagang parfum di sebelahnya. Paling belakang kursi-kursi pedagang nasi goreng dipenuhi pembeli yang tak sabar menunggu.

Thursday, July 25, 2019

Ibuku Adalah Surgaku

(Sepenggal Kisah Renungan dari Negeri Sakura)
Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori : Inspiratif

Di Jepang dahulunya pernah ada tradisi membuang orang yang sudah tua ke belantara hutan. Mereka yang dibuang tak lain adalah orang tuanya yang sudah tidak berdaya sehingga tidak memberatkan kehidupan anak-anaknya

Di suatu hari ada seorang pemuda yang berkeinginan membuang ibunya ke hutan, sebab si Ibu telah tua, lumpuh dan pikun.

Si pemuda tampak bergegas menyusuri hutan sambil menggendong ibunya. Si Ibu yang kelihatan tak berdaya berusaha menggapai setiap ranting pohon yang bisa diraihnya lalu mematahkannya dan menaburkannya di sepanjang jalan yang mereka lalui.

Sesampai di dalam hutan yang sangat lebat, si anak menurunkan Ibu tersebut dan mengucapkan kata perpisahan sambil berusaha menahan sedih karena ternyata dia tidak menyangka tega melakukan perbuatan ini terhadap Ibunya.

Justru si Ibu yang tampak tegar, dalam senyumnya dia berkata: “Anakku, Ibu sangat menyayangimu. Sejak kau kecil sampai dewasa Ibu selalu merawatmu dengan segenap cintaku. Bahkan sampai hari ini rasa sayangku tidak berkurang sedikitpun. Tadi Ibu sudah menandai sepanjang jalan yang kita lalui dengan ranting-ranting kayu. Ibu takut kau tersesat, ikutilah tanda itu agar kau selamat sampai dirumah”

Setelah mendengar kata-kata tersebut, si anak menangis dengan sangat keras, kemudian langsung memeluk ibunya dan kembali menggendongnya untuk membawa si Ibu pulang ke rumah.

Pemuda tersebut akhirnya merawat Ibu yang sangat mengasihinya sampai Ibunya meninggal.

_‘Orang tua’ bukan barang rongsokan yang bisa dibuang atau diabaikan setelah terlihat tidak berdaya. Karena pada saat engkau sukses atau saat engkau dalam keadaan susah, hanya ‘orang tua’ yang mengerti kita dan batinnya akan menderita kalau kita susah. ‘Orang tua’ kita tidak pernah meninggalkan kita, bagaimanapun keadaan kita, walaupun kita pernah kurang ajar kepada orang tua. 

Namun Bapak dan Ibu kita akan tetap mengasihi kita

Infrastruktur Papua Untuk Siapa?


Penulis : Rahmat Sangaji
Kategori  : Artikel

Pembangunan Infrastruktur di Papua selama pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla berjalan masif dan cepat. Ribuan kilometer jalan baru berhasil dibangun di Papua dalam waktu kurang dari lima tahun. Pertanyaannya benar-benar kah pembangunan infrastruktur itu untuk menyejahterakan rakyat Papua? Rasanya ungkapan atau janji demi rakyat Papua hanya akan menjadi pepesan kosong. Seperti pada kasus kasus sebelumnya didaerah lain. Pembangunan infrastruktur jalan biasanya lebih banyak untuk memenuhi kepentingan dari pengusaha besar. Jalan yang dibuat itu hanya untuk memperlancar arus keluar masuk barang milik pengusaha besar atau konglomerat.

Di papua setelah jalannya mulus, saya perkirakan dalam waktu dekat jumlah perkebunan sawit yang saat ini menurut sawit watch mencapai 958.094,2 hektar dengan 79 korporasi perkebunan, akan meningkat pesat. Kehadiran perkebunan sawit biasanya memunculkan konflik pertanahan, mata pencaharian masyarakat adat berkurang, kriminalisasi oleh korporasi terhadap masyarakat, muncul bencana alam berupa banjir, kebakaran hutan dan lahan dan lain lain. Pembukaan perkebunan kelapa sawit berarti akan ada penebangan atau pembabatan hutan secara masif, berarti sebentar lagi ribuan, ratusan ribu, bahkan mungkin jutaan hektar hutan Papua akan digunduli demi perkebunan yang hanya menguntungkan segelintir pengusaha.

Pembabatan hutan akan berdampak pada rusaknya ekosistem atau lingkungan, terpinggirkannya keragaman hayati. Satwa -satwa menghilang dan berlahan-lahan mulai punah, dan hidup rakyat Papua yang sudah sengsara akan makin menderita.

Itu semuanya bisa terjadi bila pembangunan yang dilakukan hanya untuk mengeruk keuntungan ekonomi dan menggendutkan perut segelintir pengusaha serakah dan culas.

Maka pemerintah dan pengusaha yang melakukan ekstraksi sumber daya alam ditanah Papua perlu melihat dan tidak mengorbankan hak hak masyarakat adat. Kalau tidak nantinya hutan yang lebat dan segala kekayaan alam Papua akan di keruk habis hingga kelak nantinya hanya menyisakan tanah kering kerontang.


Wednesday, July 24, 2019

Lantunan Dabus Dalam Hiruk Pikuk Kehidupan Aswita


Penulis : R.Wijaya
Kategori : Cerpen

 Aku tidak digariskan oleh langit tuk menjadi sesosok lelaki semenjak masih di alam rahim ibuku, tapi, entah mengapa dengan diriku,?!" Perkembangan buah dadaku amat lama membesar seperti biasanya perempuan pada umumnya."Kata ibuku itu hal wajar sambil mengulas kepalaku.

Tidak semua  perempuan mengalami pembesaran buah dada di usianya tujuh belas tahun. Adapun yang dua puluh tahun baru benar-benar kelihatan menonjol buah dadanya. Meski terdengar gelisah, 
"aku memilih percaya pada omongan ibuku.

Sejak itu lah rabutku selalu di potong pendek, tapi tidak cepak seperti teman laki-lakiku. Pakaian yang kukenakan selalu bernuansa gelap. Sebab Aku tidak terlalu suka warna cerah, seperti merah muda atau ungu.begitu juga dengan Celanaku tidak ada yang di bawah lutut, karena akan mengangguku saat berlari atau bermain bola

Ketiadaan buah dadaku telah menyeretku pada dunia para lelaki yg membuatku lupa kodratku.
pernah ibuku memberiku obat pembesar payudara. Aku tidak tahu dari mana dia mendapatkannya. Rasanya persis kunyit rebus yang dicampur perasan parutan batang jambu biji. Pada umumnya ini merupakan ramuan saat dilanda datang bulan dan hampir Semua teman perempuanku pernah meminumnya, bahkan ada yang rutin sebulan sekali, sehabis haid. Tapi ibuku bilang itu ramuan pembesar payudara. Rasanya pahit, tapi aku tetap menenggaknya.

Tiga bulan sudah kuminum ramuan yang di berikan oleh ibuku, tapi tidak memberikan efek.

Hanya menyisakan Kencingku beroma  kunyit,  begitu pula keringatku. Banyak temanku yang enggan duduk bersama karena keringatku yang berbau itu.

Mereka bilang baunya seperti telur busuk, padahal aku tak pernah memakan telur busuk. Hanya ramuan kunyit untuk membesarkan payudaraku.

Seumur- umurnya hidupku nyaris tak pernah aku bertemu dengan perempuan berpayudara kecil. Paling kecil ya seukuran batok kelapa muda.disamping itu, Aku juga belum pernah dibelikan beha oleh ibuku, hanya kutang dan miniset, kaos dalam seukuran dada. Kata ibuku, kelak nanti  bila dadaku benar-benar telah menunjukkan pertumbuhan, aku akan dibelikan lima belas pasang BH sebagai kado kecil untukku.

Genap sudah usia ku di penghujung tahun ini. Ritual gata-gata yang pernah ibuku ceritakan di Tahun 1960an, bahwasanya hampir semua gadis di pesisir Tidore harus melakukan ritual gata-gata, menahan sakit saat payudaranya ditekan dengan bambu panas, konan katanya ritual itu untuk mengecilkan payudara anak gadis, agar para gadis tidak segampang- gampang nya menggoda dan menaklukan pria kala itu, dan ibuku adalah korban dari ritual gata- gata.

Meski begitu, punya ibu lebih besar dibanding buah dadaku. 

Tiga puluh tahun telah berjalan ritual gata- gata kian mulai lenyap berlahan-lahan, akibat penyuluhan kesehatan membeberkan segala macam penyakit mematikan, termasuk kanker payudara.

Tidak heran,  jikalau gadis zaman sekarang memiliki payudara sebesar mangkok bakso, kecuali aku," Aswita Goslaow.

Banyak sekali gurauan dan dugaan yang mereka katakan padaku.Tapi tak ada satu pun yang kupedulikan. Aku bukan laki-laki yang terperangkap dalam jasmani perempuan. Aku tetaplah perempuan, kemaluanku tidak memanjang, meski payudaraku tidak kunjung membesar.

Pernah pun kutanya pada ibuku dan ayahku, apa benar mereka menantikan anak perempuan saat menunggu kelahiranku. Dua-duanya menjawab tidak. Karena bagi mereka, anak adalah anugrah dan titipan terindah dari Tuhan, tak peduli kelamin apa yang Ia berikan. Semenjak mendengar jawaban itu, aku tak lagi peduli perkataan tetangga dan teman-temanku. Karena sejak kecil, aku memang perempuan, dan aku akan selalu ingin menjadi perempuan.

Malam telah tiba, cahaya bulan tampak bersinar terang di langit Zajirah Al- Muluk, menandakan sebentar lagi Tidore akan berumur 112 tahun. Dan di Tanggal dua belas nanti akan diadakan upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Setiap kampung diharuskan mengadakan upacara adatnya sendiri- sendiri serta turut mengikutkan dua pemudanya dalam arak-arakan pawai obor kesultanan nantinya.

Setiap tahun acara ini begitu diminati warga. Bahkan, selain ramadhan, inilah momen ketika semua kampung bisa berkumpul dan silaturahmi.

Biasanya para gadis diwajibkan memakai kebaya adat berwarna putih dan jarik cokelat bercorak batik. Tidak boleh memakai bedak, pengharum, atau pewarna bibir; kecuali bagi mereka yang menari. Semuanya diharuskan mengikuti model tempo dulu. Bahkan tepat pada tanggal 12 April, semua listrik sengaja dipadamkan hingga esok hari.

Ibuku bilang suasana seperti itu mengingatkannya tentang masa kecil. Saat cerita tentang Nuku dan panglima-panglima tempur masih dijadikan dongeng pengantar tidur. Saat nasi adalah makanan paling mahal. Dikala sarapan dan makan malam selalu dihiasi menu yang sama; ubi jalar dan singkong rebus. Atau menikmati senja dengan sepiring pisang rebus dan air guraka saat menjelang sore.

Itulah sebabnya saat perayaan ulang tahun kota, ibuku enggan memasak nasi. Meja makan kami akan dipenuhi sayuran dari kebun.

“Hanya setahun sekali kita bisa mengulang kenangan, ” ujar ibuku padaku.

Dia adalah satu-satunya orang yang tetap memanggilku dengan nama," Ewi. Semenjak papaku telah mengubah namaku tujuh tahun lalu.

Salah satu pertunjukkan tradisional yang akan diselenggarakan adalah badabus. Kami menyebutnya ratib badabus. Upacara ini dilaukan untuk mengirimkan salawat kepada nabi dan para sahabatnya, serta meneruskan budaya yang diwariskan oleh Syeikh Abdul Kadir Djaelani. Semua orang boleh mengikuti badabus. Satu hal yang menarik dari badabus adalah proses menikam dada. Ada satu alat khusus yang dibuat besi untuk menikam dada. Upacara ini sangat bergengsi di kalangan lelaki.

“Kau ikut badabus nanti, as?” tanya Rian temanku, saat kami sudah berkumpul di balai.

Aku tak tahu. Rian masih memandang, menunggu jawaban. Tapi aku diam saja. Ketidaktahuanku bukan sesuatu yang dia harapkan. Semua pemuda kampung wajib berpartisipasi dalam upacara adat dan pertunjukkan tradisional.

Dan aku tak tahu tempat apa yang pantas aku isi.

“Ikut, mungkin,” jawabku kurang yakin.
“Atau jangan-jangan kau akan menari,” Rian curiga.

Aku menjauh, lalu menggeleng. “Aku pulang dulu. Ibuku sendiri di rumah. Kabarkan aku besok, ya.

Dalam perjalanan pulang, aku bergelut dengan pikiranku. Dulu, saat aku tidak begitu memikirkan pengaruhku pada lingkungan sekitar, aku tidak pernah berpikir bahwa pertunjukkan tradisional mampu membuatku bimbang. Aku tidak pandai menari, badanku terlalu kaku untuk gerakkan mendayu-dayu. Pun aku tidak mungkin turut dalam badabus. Walaupun tidak diharuskan membuka baju, tetap aneh rasanya bila menusuk-nusuk dadaku yang rata ini dengan besi.

Aku menangis, lima ratus meter dari rumah. Perjanalan tidak kuteruskan. Aku tidak mau bertemu ibu dalam keadaan menangis. Jika saja aku adalah Ewi, Aswita Goslaow, bukan As, menangis adalah hal yang wajar bagi perempuan.

“Kau menari saja, As,” kata Ami, salah satu teman perempuanku.

Ami pandai sekali menari. Sudah empat tarian tradisional yang ia kuasai. Guru kampung gemar sekali membanggakannya setiap kali membuka kelas tari di balai. Setiap kali melihatku duduk di barisan belakang, guru kampung akan melengos tak senang. Karena kehadiranku akan merusak pemadangan tarian. Jadilah aku sering dibiarkan jadi penabuh tifa atau pesorak di pinggiran.

“Jangan. Aku tidak sepandai kau.”
“Kalau begitu penabuh tifa saja. Seperti biasa.”
“Tarian apa yang akan kalian bawakan?”
“Lalayon.”

Aku kembali menggeleng. Tarian lalayon memerlukan irama yang khas dan senada dengan penyanyi. Aku belum terbiasa menyeimbangkan kedua hal itu. Karena setiap kali menabuh tifa di balai, guru kampung tidak pernah menghadirkan seorang penyanyi untuk berlatih bersama. Kutolak tawaran Ami, aku takut kehadiranku justru mengganggu seluruh penari dan penyanyi sekaligus.

“Atau kau bisa bergabung dengan adik kelas kau. Mereka akan menari dana-dana.”

Sejak pertama kali mengikuti kelas tari di balai, aku senang betul dengan dana-dana. Gerakkannya mudah, musiknya pun tidak lama. Tapi, tarian itu hanya boleh untuk pemula. Bila sudah enam bulan mengikuti kelas, jenis tarian harus diganti yang lebih sulit.

“Aku tidak yakin guru kampung mau memberiku tempat.”
Saat aku berulang kali meragukan tawaran Ami, anak-anak yang lain sudah bersiap-siap dan bersolek. Pakaian adat yang disewa dari salon para banci terlihat pas di tubuh mereka yang berisi. Terlebih lagi pupur dan pewarna bibir dari daun delima.
Aku iri. Tanpa pikir panjang aku menghampiri guru kampung. Aku ingin menari. Apa saja. Asalkan aku berada di antara para perempuan. Asalkan aku memakai baju adat putih, pupur, dan pewarna bibir daun delima. Asalkan aku tidak menjadi as malam itu. Cukup Ewi.Aswita Goslaow
Tapi guru kampung menggeleng cepat. Bahkan ia tak melihat tekad dalam mataku. Dia sibuk menyiapkan keperluan tarian. Waktu pertunjukkan sudah dekat. Wajar bila dia tidak mempedulikan permintaanku. Aku masih berdiri di sampingnya, hingga dia berjalan ke ruang rias. Aku tak mau badabus, tapi aku ingin bergabung dalam pertunjukkan tradisional.

Aku kembali pulang dalam keadaan menangis. Rumah kosong, sepi. Ibu dan papaku sedang berada di kursi penonton. Hanya satu lampu yang menyala di rumah. Aku masuk dengan lunglai. Deru tifa terdengar dari jauh. Salawat terdengar samar-samar. Langkahku langsung menuju kamar.
Aku mulai bersolek. Baju hitam dan celana jeans corak tentara sudah kutanggalkan. Kuganti dengan baju adat ibu. Aku tidak memakai pewarna bibir daun delima. Ibuku punya seperangkat alat rias yang dibeli dari pasar kaget dua bulan lalu. Aku berdandan menor. Tak peduli bila riasan itu tak rata atau tak senada warnanya. Yang penting riasan itu mampu memperlihatkan sisi kewanitaanku. Tidak peduli bila aku lebih mirip banci salon dibanding Ami dan para penari itu.

Papaku pernah menyimpan dua alat badabus di gudang rumah. Waktu remaja papa adalah pemimpin ratib badabus. Seminggu sekali ia selalu bertandang dari satu rumah ke rumah untuk memimpin kegiatan adat itu. Pernah beberapa kali ayah mengajarkanku bagaimana badabus dengan baik, agar rasa sakit tidak terlalu mengganggu konsentrasi.
Dengan dandanan menor, dengan baju adat ibuku, dengan alat badabus ayahku, aku berdiri di teras rumah. Berusaha mengikuti irama tabur tifa dan salawat dari kejauhan. Di ketukan kelima, aku mulai menusuk dadaku sendiri. Aku larut dalam penyerahan diri yang memabukkan. Darah mulai menetes ke lantai. Baju putih mulai bernoda. Aku menangis. Samar-samar kurasakkan payudaraku membesar, mendesak kancing kebaya. Ada buncah bahagia di hati. Kuberikan tekanan yang lebih besar setiap kali badabus. Bila rasa sakit yang ditimbulkan bisa membesarkan payudaraku, aku tak peduli bila dadaku dipenuhi luka tusukkan. Aku tak peduli bila sakit yang kurasakan bisa mencandukkan

Aku hanya ingin menyerahkan diriku dalam sebagai perempuan seutuhnya. Saat guru kampung tidak menerima kehadiranku di antara para penari berbibir merah delima, saat masyarakat masih memandang tabu kehadiran seorang perempuan di antara para pedabus lelaki, di sinilah aku. Di teras rumah. Mempersembahkan dua pertunjukkan tradisional dalam wujud seutuhnya.