Penulis : R. Sangaji
Kategori : Cerpen
Kategori : Cerpen
Kini aku merasa waktu benar-benar
nyaris habis. Hanya selangkah dan purna sudah. Diiringi kecipak gerimis
pertengahan Desember, tak sekalipun membuat langkahku surut, meniti rentang
buram garis nasib. Penghujung tahun penuh ratap dalam pelarian.
Menang atau kalah! Dua tebakan
tipis yang saling melekat. Memiliki satu di antaranya, bukan berarti kehilangan
sisi lainnya.
Menang, berarti akan menanggung
kekalahan yang teramat dahsyat. Sementara kalah, tak musti bahagia lesat luput
dari pelukan.
Lalu, apalagi?
Tak perlu memaksa, betapa banyak
nama yang bangkit menelusup di kepalaku. Mereka adalah orang-orang yang baik.
Mereka adalah orang yang layak kukira untuk meneruskan tali-temali hidupnya.
Menuntaskan satu harapan yang
kadang meredup karena ketidakberdayaan. Kerap menanggung kekalahan yang entah
dari mana sebab pastinya.
Joni, bocah delapan tahun yang
tak mampu sekolah karena ayahnya dibui.
Sementara sang ibu, entah ke mana.
Mbok Dimah, perempuan renta yang
selalu menanggung beban dari ketiga anaknya, sedang sang suami lumpuh total tak
berdaya di atas dipan.
Jangkung, perjaka sakit-sakitan
yang bertahan. Mungkin ia tengah menunggu, satu hari tiba. Sang malaikat datang
dan merenggut nyawa. Jangkung, sepertinya sudah pasrah, ia terlalu letih dan
teramat putus asa menanggung rasa sakit yang tiada pernah tersembuhkan. Ia
meras hidupnya telah sekarat. Kata orang-orang, konon ia mengidap HIV.
Karin, wanita lajang yang tak
lagi lajang. Bertempat tinggal di lantai enam sebuah apartemen mewah. Kata
relasi dan partner bisnisnya yang kukenal, Karin menjadi 'piaraan' seorang bos
yang punya puluhan bisnis, sekitar 3 tahun lalu.
Tapi, apakah Karin akhirnya
merasai bahagia seperti yang pernah diimpikan semenjak ia masih kencur?
Tidak!
"Kau tahu, Jack ...! Aku
hanya seekor dara yang cuma hidup di indahnya puisi seseorang. Aku tahu, sudah
tak mampu kembali lagi. Bahagia ini adalah penjara yang memborgolku, dan tidak
cuma itu. Nanti engkau akan paham"
Kalimat itu pernah terlontar dari
mulut Karin, ketika aku mengantarnya pulang dalam keadaan mabuk berat selepas
clubing. Aku, hanya seorang sopir dari banyak pengemudi kendaraan si tuan yang
'memenjarakan' Karin saat itu.
Rasa kasihan dan tidak tega
membekapku ketika Karin akhirnya bercerita lebih mendalam. Mungkin lubuk
hatinya telah bedah ...!
Tak lama berselang, aku memilih
jalanku sendiri. Jalan nafkah yang kubulatkan untuk kuputus, keluar dari
pekerjaan itu.
Metropolitan, adalah rimba yang
membutakan bagi kebanyakan mereka. Ganas, buas, brutal. Kesemena-menaan,
penipuan, penindasan, kesewenangan, keculasan juga rasa tega.
Entah, bagaimana sebagian mereka
mampu mengemas itu semua dan melakoninya dan entah bagaimana pula sebagiannya
lagi, mampu bertahan dengan perasaan kebal yang aku yakini tak tumbuh membebat
secara mendadak.
Aku ada dan hidup di
dalamnya, sepuluh tahun lebih. Mengalami
banyak hal, dan terus bertahan. Impitan perih juga tentu saja berakhir dengan tunduk
kekalahan.
Namun aku, bukan ilalang yang
harus patah atau mati dalam dalam sekali injakan. Hanya seorang lajang yang
telah kehilangan ayah dan ibu, tak ada saudara kandung, hanya secarik surat
yang menerangkan bahwa aku terlahir entah dari rahim perempuan siapa ... juga
bapak siapa.
Panti asuhan yang lumayan bagus,
aku tinggal di sana hingga masa remajaku. Sampai ketua yayasan menawariku untuk
bekerja di Jakarta.
Pada sebuah perusahaan besar yang
dimiliki oleh seorang bos.
Aku masih ingat kenangan itu.
Begitu legit tersisip di setiap sepi yang merajahi hati.
Ada banyak pura menjulang, asap
dupa, sesaji dan orang-orang asing. Mereka menyebutnya sebagai tanah para dewa.
Sebuah panti asuhan yang berada di bawah sebuah yayasan internasional, menjadi
kediaman hangat walau tak mampu mengusir rindu.
Rindu pada siapa? Ayah, ibu,
saudara ...? Atau barangkali kekasih?
Sekali lagi kukatakan tidak! Aku,
cukup bersyukur, tumbuh dan mulai terbiasa dengan perasaan payau itu.
Tak kudapati hal lebih jika ingin
membaca riwayat diri ini. Aku hanya tahu, terlahir di box bayi pada panti
asuhan daerah Nusa Dua.
Kerap aku melihat sepasang bule.
Terlihat bahagia memanggul seorang anak lelaki mereka. Bocah itu sebayaku.
Bermain dengan kedua orang tuanya di pantai berpasir lembut. Menikmati sunrise,
menikmati sunset. Bermanja-manja ...
Sekilas ... kubandingkan tubuhku.
Sama persis dengan bocah itu. Tapi nasib tak persis sama. Memandangi bocah itu
bersama kedua orang tuanya, menikmati indahnya weekend dari balik jendela
berkaca tebal panti asuhan.
Sebelum akhirnya aku melap kaca
itu hingga bening dan melanjutkan untuk mengepel lantai.
Namaku Jack. Hampir seperti merk
minuman keras, dan aku tak peduli. Sebab sedikit atau banyak seseorang pasti
mempunyai alasan khusus mengapa memberiku nama demikian.
Tak perlu juga risau ... sebab
sadar atau tidak seseorang pasti akan memegang dan memainkan kartu di hidupnya
sendiri. Tak terkecuali diriku ....
Delapan minggu mereka memburuku!
Memasukkan nama pada papan atas daftar sosok yang paling dicari.
Itu terjadi pada dua hari setelah
bos mafia yang juga tuan pemelihara Karin, tewas mengenaskan.
Tenggorokannya jebol, tertusuk
oleh pena berharga jutaan miliknya. Tubuhnya setengah bugil, hanya mengenakan
celana dalam dan kaus singlet, dilempar paksa dari lantai sebelas sebuah
apartemen mewah di kawasan elit ibu kota.
Kubayangkan tubuh Cabino meluncur
deras ke bawah membelah angin, lalu terempas keras di lantai yang terbuat dari
beton.
Sampai di bawah tubuh itu seperti
rendang dengan kuah darah ...!
Berceceran seluruh bagiannya.
Menjijikkan sekali. Semenjijikkan tingkahnya yang kelewat bejat.
Bejat? Apa hakku menghakiminya?
Bukankah ia kekasih gelap Karin yang sekaligus bosku juga. Seseorang yang aku
harus patuh pun sangat menghormatinya?
Aku melihat berita itu dari
siaran berita televisi lokal, dan mengikuti berita itu seterusnya di tiap kesempatan.
Bergidik ngeri! Siapa pembunuh
keji yang sanggup melakukannya? Tidakkah mereka tahu, Cabino sang bos yang
telah tewas itu adalah orang yang sangat penting dan berpengaruh di lingkar
kekuasaan formal dan anggota kumparan bisnis ibu kota.
Kolega dan anak buahnya dengan
segala daya, mampu memburu dan mengungkap siapa pelaku dan dalang dibalik
peristiwa berdarah yang mengejutkan seantero ibu kota.
Sementara itu Karin terus
dijadikan saksi. Ia tak bisa ke mana-mana. Gawainya disadap pun semua gerak-geriknya
sangat diawasi dengan seksama.
Ingin sekali aku bertemu dengan
Karin dan bertanya banyak hal, sebelum polisi menetapkannya sebagai saksi di
antara saksi-saksi lain.
Namun semua telah terlambat! Itu
terjadi kukira beberapa jam menjelang kematian si Cabino. Karin beberapa kali
meneleponku, tak kuangkat karena sedang berada di kamar mandi.
Ketika aku panggil balik,
gawainya sudah tidak aktif.
Ia hanya meninggalkan pesan cukup
panjang.
"Thanks, Jack ... kini
pergilah! Polisi dan orang-orang sialan Cabino pasti akan memburumu sebentar
lagi. Pergilah ke luar kota secepatnya. Semua keperluan ada di dalam tas kulit
lusuh dalam almarimu. Maaf, aku menempatkannya kemarin tanpa seizinmu. Sekadar
kau tak bertanya lebih jauh lagi ..."
Berterima kasih padaku? Tapi ...
apa yang telah kulakukan untuk Karin? Kami tak membuat kesepakatan apa-apa, dan
aku tak merasa melakukan apa-apa.
Atau aku memang sudah lupa?
Entahlah, sebab yang kuingat
setelah mengantar Karin pulang ke apartemen, aku langsung pergi bersama
kendaraan yang kubawa karena tugas untuk Karin sudah selesai juga karena malam
sudah larut.
CCTV dari berbagai sudut yang
terpasang di lantai basement itu kukira bisa membuktikan. Aku meluncur cepat.
Keluar mengendari sedan mewah warna hitam, Benz E 200 hadiah dari Cabino untuk
Karin.
Gawaiku berdenyut. Tanda panggil
dari Karin, sekilas kulirik arloji. Pukul 02.40 WIB. Malam hampir habis.
"Jack, jemput aku di lobby
ya, cepat! Aku tunggu di sofa ..."
Suara Karin tak seperti biasanya.
Intuisiku mengatakan demikian. Sebab tak pernah sekasar itu ia memerintah
dengan kata yang baru sekali itu kudengar.
"Oke!"
Aku matikan rokokku yang masih
tersisa setengah dan bergegas menuju lobby hotel. Tempat party diselenggarakan
oleh seorang taipan yang tengah merayakan ulang tahun.
Perihal acara apa pun itu, aku
tak peduli. Yang kupedulikan adalah bagaimana Karin selamat, merasa nyaman saat
berangkat hingga pulang. Memastikan ia baik-baik saja hingga tiba di depan
pintu apartemen.
Karena memang itu tugasku.
Dalam lobby kudapati sosok Karin
dengan pakaian malam seksinya, namun kali ini tampak lain. Tubuh dan wajah itu
tampak cemas, walau pada raut ayunya bersikeras coba mengusir sesuatu yang
tengah ia pendam.
Karin, menyambar lenganku!
Memaksa dengan kasar meninggalkan lobby hotel. Sekilas aku merasa diperlakukan
bak kekasih malamnya, untuk semalam saja! Walau tak mesra ... sementara
intuisiku justru berkata sebaliknya.
Ada sesuatu yang tidak beres
tengah dialami Karin saat menikmati pesta di dalam sana.
"Biar aku duduk di depan
bersamamu, Jack"
"Silakan jika mau"
Aku menyahut tanpa memperhatikan
dua kali bagaimana reaksi wajahnya, melukiskan rasa cekam yang kali ini
bertambah besar. Semenjak kami tergesa-gesa meninggalkan lobby hotel berbintang
lima itu.
Pesta belum lagi usai, namun
Karin tak hendak menuntaskannya.
Mobil kukendarai, melesat cepat
membelah malam kota Jakarta dengan pedal gas yang kian dalam kuinjak, seiring
perpindahan gigi menuju kecepatan puncak. Jakarta, tetap khas dengan lalu
lintas yang tak pernah tidur
Karin hanya diam. Menyeduh
keheningan yang kutafsirkan begitu hampa. Matanya kaku memandang lintasan lajur
tol yang diterangi sepasang lampu depan. Ia sama sekali tak terusik oleh lalu
lalang dan bias terang lampu kendaraan, dari arah ruas yang berlawanan. Hatinya
seperti padam.
Kulirik. Ia menangis ...!
"Tolong kenakan sabuk
pengamanmu, Karin. Ini prosedur standar" kataku tanpa menoleh
kepadanya.
Karin geragapan, seperti
tersadar. Cepat ia mengkaitkan belt dan memasukkan kepala logam hingga
terkunci.
"Maaf, seorang Cabino pun
akan kutegur jika ia lalai mengenakannya ..." lanjutku dengan nada
datar lagi dingin.
Tapi di luar dugaan. Karin
menoleh, menatapku tajam dengan pelupuk matanya yang berat oleh sembab.
"Seharusnya biarkan saja,
Jack. Si Cabino binatang itu mampus jika terjadi apa-apa dalam kendaraan
ini"
Pancinganku berhasil.
"Kau keliru, Karin.
Menyakiti kekasihmu, bukankah sama halnya dengan menyakiti dirimu sendiri? Ia
sudah sangat baik dan berhasil membuat hidupmu penuh arti ..."
Karin beringsut. Tubuhnya tak
lagi berada pada posisi menghadap ke depan layaknya seseorang pengemudi. Namun
malah menghadap kepadaku.
Ekor mataku sempat menelisik.
Dadanya kembang kempis mendadak, napasnya mulai memburu dengan tiba-tiba. Karin
berubah garang dalam sekejap.
"Dengar Jack, andai Tuhan
berkenan mengabulkan doaku malam ini. Aku akan meminta agar Cabino dicabut nyawanya dalam keadaan sangat regang lagi
kesakitan. Aku ingin ia mati, binasa untuk menebus semua kebejatan yang sudah
melampau batas. Dan aku, akan bersedia menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika
aku harus mendekam dalam penjara seumur hidup ..."
Nada suaranya tegas. Ada geram
yang begitu menggelegak. Dari mulutnya, aku tak mencium bau alkhohol. Tumben ia
waras untuk party malam ini.
"Bajingan busuk itu, mampus
saja ...!"
Ia seperti belum puas tanpa
menutup dengan kalimat makian, jika itu sudah menyangkut nama bos Cabino dalam
setiap pembicaraannya, terutama dengan aku. Entah jika dengan orang lain.
"Ucapanmu bisa sangat
bermasalah, Karin. Kuharap kau tak berpikir layaknya si cantik Barbie yang
sedang patah hati atau putus asa"
Kujawab pertanyaan Karin tanpa
menengoknya, dan tetap konsentrasi penuh dengan kendaraan dan jalan yang sedang
kulintasi dengan kecepatan tinggi.
Kubiarkan ia menatapku dalam
keadaan utuh dan puas. Mungkin, ini jalan terbaik baginya untuk menimpakan
kekesalan yang menyedak di dada. Melampiaskan barang sekejap kepada lelaki yang
berada di sebelahnya.
"Kau pikir aku bodoh, Jack!
Karena tak ada yang kupercayai selama ini, selain dirimu ... dan aku tak pernah
mengucap apa pun di luar sana. Aku bukan perempuan dungu yang tidak tahu
resiko"
Kuinjak rem, kecepatan turun
mendadak. Aku bahkan tanpa sadar telah melakukannya. Cepat-cepat kukembalikan
mobil ke posisi kecepatan semula.
Melaju tenang membelah jalan tol
sepanjang malam yang terus menghunjam ke waktu dini hari.
"Kenapa Jack? Kau grogi? Kau
lupa betapa dekatnya kita?"
"Aku hanya kacung rendahan
suruhan si hebat Cabino, harus paham derajatku ..."
Getir kujawab, dan berharap ia
tak berkelanjutan meracau lagi dengan kalimat-kalimat lain yang lebih menusuk.
"Manusia, berderajat sama
Jack. Hanya apa yang ia punya dan ia kenakan saja, akhirnya membedakan ia di
mata manusia lain"
Karin diam, lalu menghela napas
sangat dalam. Matanya mengelana jauh. Menerobos langit gelap yang tak tersentuh
oleh jagad dirinya saat ini.
"Walau ia seorang lelaki
peranakan Eropa-Indonesia yang tak tahu siapa ayah dan ibunya. Hidup tanpa
kasih sejati bertahun di panti asuhan, mengenaskan ...! Rajin mengelap kaca dan
mengepel lantai, mengorek toilet. Membekap rasa rindu yang terus
terkatung-katung, kala kerap melihat bocah seusianya, ceria bermain di pantai
indah berpasir lembut, dari balik kaca jendela. Dia sering melongo, kasihan
...! Berharap dalam andai jika ia adalah bocah itu, menggenggam ronce nasib
yang sangat berbeda ..."
Entah dari mana datangnya refleks
ini. Secepat kilat kucabut Glock 17 dalam sepersekian detik dan ketempelkan ke
pelipis kiri Karin!
Aku sangat tersinggung. Ucapan
Karin membuat perasaan ini begitu berdarah.
"Katakan sesuatu sekali
lagi, hei cantik ...! Kupastikan isi kepalamu akan berceceran menempel pada
kaca jendela di sampingmu ... dan kupastikan pula tubuhmu akan kulempar bagai
bangkai anjing dari kabin ini ...!"
Entahlah, aku seperti mendadak
kesurupan! Darah dari jantungku meledak terpompa. Serasa melonjak penuh hingga
ke kepala tanpa melewati dada.
Karin malah tersenyum. Sama
sekali tak ada gemetar yang menjalari tubuhnya. Ia tampak tenang tanpa ada
perasaan takut sedikit pun.
"Aku lapar ...! Butuh kopi
dan menghisap rokok. Bisa kita keluar tol di pintu berikut?"
ucapnya santai.
Pistolku masih menempel lekat di
pelipis kiri Karin.
Kukuh lurus dalam titik bidik,
dengan telunjuk kiriku yang sudah siap melingkar penuh di pelatuk.
Napasku terus memburu. Menghirup
udara dari semburan double blower perangkat mewah AC yang sekejap kurasai tak
lagi mampu mengatupkan pori-pori dengan suhu rendahnya.
Namun, secara tiba-tiba sudah
berubah bak kepulan hawa panas dari tungku yang mengangakan seonggok bara.
Kami saling diam! Detik berlalu
beberapa loncatan. Menunggu ...!
"Sudah kukatakan sebuah
kalimat seperti pinta ancammu, Jack? Kenapa tak jadi menembakku ...?"
Perasaanku mereda, perlahan
pistol kutarik menjauh dari pelipis lembutnya itu. Memindahkan laju kendaraan
ke lajur kiri setelah menyarungkan Glock 17 di balik jaket.
Perlahan kukurangi kecepatan.
Tampak gerbang tol di depan dengan tanda dan terang isyarat lampunya.
Entahlah, di hadapan Karin kerap
aku menjelma menjadi sosok bodoh atau bertindak bodoh. Dua-duanya tetap hal
yang sama bagiku.
Sial ...!
"Berhati-hatilah dengan
dendammu, Karin. Ia bisa terwujud kapan saja. Kau telah meletakkan satu
pengharapan gelap yang tak biasa, tanpa tersadari"
Karin melengos! Mendengus sinis.
Melemparkan tatapannya beralih ke
kaca samping. Tak ada yang bisa tertangkap sempurna oleh lensa matanya, aku
yakin itu. Kecuali gelap yang melaju dengan kilatan lampu yang menyilaukan dari
laju berbagai kendaraan yang melintas.
"Sejak sore aku belum makan,
Jack. Sebaiknya kita sedikit cepat"
Karin tak menggubrisku ketika aku
mulai menyeriusi ucapannya. Hatiku serasa terbang ....!
Apakah selalu demikian ketika
seorang perempuan ingin memainkan hati seorang pria? Entahlah. Bahkan aku
teramat awam untuk merasai bagaimana seluk-beluk jatuh cinta. Mempertaruhkan
segala hidupnya isi hati dan tumpah-ruahnya perasaan.
Bagiku, perempuan ibarat angsa
cantik yang tengah berenang dan menari di tengah kolam. Sangat berisiko
tenggelam ketika aku atau siapapun berusaha untuk menggapai. Ingin menegaskan
dengan telapak tangan sendiri.
Betapa indah, cantik dan lembut
bulu-bulu itu.
Resiko!
Mungkin aku akan mengulas ulang
lebih dalam tentang kata dasar ini. Tapi bisa jadi ... aku termasuk lelaki yang
membutakan resiko. Terhadap hidup sekali yang kerap kuberontaki.
Bukankah aku juga berhak
menyisipkan sedikit bahagia atasnya?
Malam terus bergerak, kurasai
melaju begitu tergesa. Mendendangkan awal sebuah lakon petualangan,
pengorbanan, ketulusan juga perihnya pengkhianatan.
Cinta ... ternyata masih mampu
menyelamatkan segalanya.